Perkataan Bohong ; "Aku Telah Mentalaknya" Menyebabkan Jatuhnya Talak ?
HASIL KAJIAN BM NUSANTARA
(Tanya Jawab Hukum Online)
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
DESKRIPSI
Badrun (nama samaran) merupakan suami Badriah. Setelah beberapa tahun pernikahan keduanya, Badrun menikah lagi dengan Rosyidah (nama samaran) tanpa sepengetahuan Badriah yang merupakan istri pertamanya. Qomar yang merupakan tetangga Badrun mendengar kabar pernikahan Badrun dengan Rosyidah, lalu Qomar mengkonfirmasi kepada Badrun tentang kabar tersebut, namun Badrun mengatakan pada Qomar dengan maksud berbohong ; "Aku telah mentalak Rosyidah". Hal ini dilakukan Badrun untuk menutupi dirinya bahwasanya dirinya telah benar-benar menikah dengan Rosyidah. Hal ini terbukti atas pengakuan tetangga Rosyidah bahwasanya Badrun masih sering ke rumah Rosyidah dan menginap di sana.
PERTANYAAN
Apakah perkataan Badrun dalam deskripsi di atas dengan maksud berbohong ; "Aku telah mentalak Rosyidah" menyebabkan jatuhnya talak, sedangkan Badrun tidak mengucapkan di depan Rosyidah atau tanpa sepengetahuannya ?
JAWABAN :
Ucapan Badrun, sebagaimana dijelaskan dalam uraian di atas, menyebabkan Rosidah tertalak secara lahir (zhahir) saja, bukan secara batin (hakikatnya). Artinya, status Rosidah masih sebagai istri sah Badrun, sehingga masih halal untuk digauli dan tetap berada dalam tanggung jawab Badrun terkait nafkah.
Namun, jika perkara ini dibawa ke hadapan hakim atau pengadilan, dan hakim menjatuhkan talak berdasarkan pengakuan palsu tersebut, maka:
Menurut Imam Nawawi, talaknya tetap berlaku secara lahiriah saja.
Menurut Imam Ar-Rofi'i, terdapat dua pendapat:
1) Talak hanya berlaku secara zhahir (lahiriah), sehingga secara agama Rosidah tetap berstatus sebagai istri.
2) Talak berlaku secara zhahir dan batin, sehingga pernikahan dianggap telah benar-benar berakhir.
Catatan: Apabila terjadi perbedaan pendapat antara Imam Nawawi dan Imam Ar-Rofi'i, maka pendapat yang dianggap kuat (mu’tamad) adalah pendapat Imam Nawawi.
REFERENSI :
مغني المحتاج إلى معرفة معاني ألفاظ المنها، الجزء ٤ الصحفة ٥٢٧ — الخطيب الشربيني (ت ٩٧٧)
٠(وَلَوْ قِيلَ لَهُ اسْتِخْبَارًا أَطَلَّقْتهَا) أَيْ زَوْجَتَك (فَقَالَ نَعَمْ) أَوْ نَحْوَهَا مِمَّا يُرَادِفُهَا كَأَجَلْ وَجَيْرٍ (فَإِقْرَارٌ) صَرِيحٌ (بِهِ) أَيْ الطَّلَاقِ؛ لِأَنَّ التَّقْدِيرَ نَعَمْ طَلَّقْتُهَا، فَإِنْ كَانَ كَاذِبًا فَهِيَ زَوْجَتُهُ بَاطِنًا (فَإِنْ قَالَ أَرَدْت) طَلَاقًا (مَاضِيًا وَرَاجَعْت) بَعْدَهُ (صُدِّقَ بِيَمِينِهِ) فِي ذَلِكَ لِاحْتِمَالِهِ وَاحْتَرَزَ بِقَوْلِهِ: وَرَاجَعْت عَمَّا إذَا قَالَ أَبَنْتهَا وَجَدَّدْت النِّكَاحَ فَإِنَّ حُكْمَهُ كَمَا مَرَّ، فِيمَا لَوْ قَالَ: أَنْتِ طَالِقٌ أَمْسِ وَفُسِّرَ بِذَلِكَ (وَإِنْ قِيلَ) لَهُ (ذَلِكَ) الْقَوْلُ الْمُتَقَدِّمُ وَهُوَ أَطَلَّقْت زَوْجَتَك (الْتِمَاسًا لِإِنْشَاءٍ فَقَالَ نَعَمْ) أَوْ نَحْوَهَا مِمَّا يُرَادِفُهَا (فَصَرِيحٌ) فِي الْإِيقَاعِ حَالًا؛ لِأَنَّ نَعَمْ وَنَحْوَهُ قَائِمٌ مَقَامَ طَلَّقْتُهَا الْمُرَادِ لِذِكْرِهِ فِي السُّؤَالِ (وَقِيلَ) هُوَ (كِنَايَةٌ) يَحْتَاجُ لِنِيَّةٍ؛ لِأَنَّ نَعَمْ لَيْسَتْ مَعْدُودَةً مِنْ صَرَائِحِ الطَّلَاقِ
Artinya : Jika ada seseorang di tanya dalam bentuk istifhām (pertanyaan) 'Apakah kamu telah menceraikannya?' (yakni: istrimu), lalu dia menjawab 'Ya' atau dengan kata lain yang sepadan seperti 'Ajal' (ya) atau 'Jair' (ya), maka itu merupakan pengakuan secara tegas terhadap adanya perceraian, karena arti dari pengakuan dia adalah : "Ya, saya telah menceraikannya." Sehingga jika dia berdusta, maka secara batin (antara dia dengan Alloh swt ) perempuan tersebut masih istrinya.
Jika dia mengatakan : 'Yang saya maksud adalah perceraian yang telah lampau dan saya telah merujuknya kembali setelah itu,' maka dia dibenarkan dengan sumpahnya, karena itu merupakan hal yang mungkin terjadi. Penulis membatasi dengan perkataan: "dan saya telah merujuknya kembali " untuk membedakan dari keadaan jika seseorang berkata: "Saya telah menceraikannya lalu saya menikahinya kembali dengan akad baru", maka hukumnya seperti yang telah disebutkan sebelumnya dalam kasus jika seseorang berkata: 'Kamu telah tertalak kemarin' dan ditafsirkan seperti itu.
Adapun jika seseorang ditanya dengan kalimat tadi ('Apakah kamu mau menceraikan istrimu?') dalam bentuk permintaan untuk melakukan talak (bukan pertanyaan tentang masa lalu), lalu dia menjawab 'Ya' atau kata lain yang sama artinya, maka itu dianggap sebagai lafaz sharih (tegas) dalam menjatuhkan talak secara langsung di saat itu juga, karena kata "ya" atau yang semisalnya telah menggantikan "Saya menceraikannya", yang dimaksud dalam pertanyaan.
Namun, ada pendapat lain yang mengatakan bahwa itu adalah kinayah (lafaz tidak tegas dalam talaq) yang harus disertai niat, karena kata "ya" tidak termasuk dalam lafaz-lafaz yang secara eksplisit menunjukkan perceraian secara tegas.
فتاوى الرملي، الجزء ٣ الصحفة ٣٢٣ — شهاب الدين الرملي (ت ٩٥٧)
وَلَا وَجْهَ لِلْقَوْلِ بِعَدَمِ الْوُقُوعِ فِي مَسْأَلَتِنَا فَفِي فَتَاوَى الْقَفَّالِ لَوْ قِيلَ لَهُ: مَا تَصْنَعُ بِهَذِهِ الزَّوْجَةِ طَلِّقْهَا فَقَالَ: طَلُقَتْ وَقَعَ الطَّلَاقُ؛ لِأَنَّهُ يَتَرَتَّبُ عَلَى السُّؤَالِ وَالتَّعْوِيضِ وَقَدْ قَالُوا: لَوْ قِيلَ لِرَجُلٍ اسْتِخْبَارًا أَوْ الْتِمَاسًا لِلْإِنْشَاءِ أَطَلَّقْت امْرَأَتَك أَوْ فَارَقْتهَا أَوْ سَرَّحْتهَا أَوْ زَوْجَتُك طَالِقٌ فَقَالَ: طَلُقَتْ وَقَعَ الطَّلَاقُ؛ لِأَنَّهُ صَرِيحٌ قَطْعًا فِي الِاسْتِخْبَارِ وَالِالْتِمَاسِ وَلَوْ أَقَرَّ بِالطَّلَاقِ كَاذِبًا لَمْ تَطْلُقْ بَاطِنًا وَطَلُقَتْ ظَاهِرًا وَيَجِبُ عَلَى الْحَاكِمِ أَنْ يُفَرِّقَ بَيْنَهُمَا
Artinya : Tidak ada alasan untuk mengatakan bahwa talak tidak jatuh dalam masalah kita ini. Dalam Fatawa al-Qaffal disebutkan: Jika dikatakan kepada seseorang: ‘Apa yang akan kamu lakukan terhadap istri ini? Ceraikanlah dia,’ lalu dia menjawab: ‘Aku ceraikan, maka talak jatuh, karena hal itu merupakan respon terhadap pertanyaan atau permintaan. Dan para ulama telah mengatakan : "Jika dikatakan pada seseorang, (baik ungkapan tersebut sebagai bentuk pertanyaan atau permintaan agar menjatuhkan talak). Contoh bentuk pertanyaan seperti : ‘Apakah kamu telah menceraikan istrimu?’, atau: ‘Apakah kamu telah berpisah dengannya?’, atau: ‘Apakah kamu telah melepaskannya?’, atau: apakah Istrimu tertalak’ ? dan contoh bentuk permohonan talaq seperti : Maukah kamu menceraikan istrimu? atau : "Maukah kamu berpisah dengannya?’, atau: ‘Maukah kamu melepaskannya?’, atau: Maukah Istrimu tertalak’ ?"
Lalu dia menjawab: "Aku telah menceraikan, maka jatuhlah talak, karena itu secara tegas merupakan lafaz sharih (eksplisit), baik dalam konteks pertanyaan ataupun permintaan.
Dan jika seseorang mengakui bahwa dia telah menjatuhkan talak, padahal dia berdusta, maka talak tidak jatuh secara batin (antara dia dengan Alloh swt), tetapi talak jatuh secara lahir (di pengadilan), dan hakim wajib untuk memisahkan antara keduanya (suami-istri itu).
الوسيط في المذهب، الجزء ٥ الصحفة ٤٦٨ — أبو حامد الغزالي (ت ٥٠٥)
الصُّورَة الْخَامِسَة النزاع مَعَ قيام الْعدة ؛
فَإِذا قَالَ : رَاجَعتك أمس فأنكرت فَالْقَوْل قَوْله ، لِأَنَّهُ قَادر على الْإِنْشَاء . فَيقبل قَوْله ، كَقَوْل الْوَكِيل قبل الْعَزْل ٠
وَقيلَ : الأَصْلُ عدمُ الرّجْعَة ، فَالْقَوْل قَوْلهَا . فَإِن أَرَادَ الْإِنْشَاء فلينشأ . وَالصَّحِيحُ : أَن إخْبَاره لَا يَجْعَل إنْشَاء ٠
وَحكي عَن الْقفال : إِنَّه إنْشَاء . وَهُوَ بعيد ، لِأَن الشَّافِعِي قَالَ إِن مَنْ أقرّ بِالطَّلَاق كَاذِبًا لم يكن إِنشَاءَ ٠
فرع : إِذا أنْكرت الرّجْعَة ثمَّ أقرَّت قَالَ الشَّافِعِي لم تمنع عَنهُ . فَهُوَ كمن أقرّ بِحَق بعد الْجُحُود . وَهَذَا فِيهِ إِشْكَال ، لِأَنَّهَا أقرَّت بِالتَّحْرِيمِ على نَفسهَا ثمَّ رجعت ٠
وَلَو أقرَّت بِتَحْرِيم رضَاع أَو نسب لم تمكن من الرُّجُوع ، وَلَكِن الْفرق أَن الرّجْعَة تصح دونهَا ٠
Artinya : Gambaran Kelima : Perselisihan Ketika Masa 'Iddah Masih Berlaku.
Jika seorang suami berkata kepada istrinya : "Aku telah merujukmu kemarin," lalu si istri mengingkarinya, maka pendapat (yang diterima) di pengadilan adalah pendapat suami, karena ia masih mampu melakukan ruruk sekarang, maka ucapannya yang diterima dipengadilan, sebagaimana diterimanya ucapan seorang wakil sebelum diberhentikan (dari tugasnya).
Namun, ada juga pendapat lain yang mengatakan bahwa asal dasar hukumnya adalah tidak ada rujuk, maka ucapan istri yang diterima dipengadilan. Dan jika suami ingin melakukan rujuk, maka hendaknya dia langsung mengucapkan lafaz rujuk secara eksplisit (inshā’).
Dan Pendapat yang shahih adalah bahwa pemberitahuan/pengakuan rujuk dia (yakni: “Aku telah merujukmu kemarin”) tidak dianggap sebagai inshā’ (tidak sah sebagai rujuk saat ini). Dan dinukil dari Imam al-Qaffāl bahwa itu dianggap sebagai inshā’. Namun itu pendapat yang lemah, karena Imam Syāfi‘ī berkata: “Barangsiapa mengaku telah menjatuhkan talak padahal ia berdusta, maka itu tidak dianggap sebagai inshā’ (menjatuhkan talaq sekarang).”
Cabang Masalah (Far‘):
Jika si istri awalnya mengingkari rujuk, lalu kemudian ia mengakuinya, maka Imam Syāfi‘ī berkata: “Hal itu tidak mencegah si suami dari (kembali) kepadanya”, artinya: Rujuk tetap sah, dan kasus ini seperti orang yang mengakui suatu hak setelah sebelumnya mengingkarinya.
Namun, dalam masalah ini ada sisi problematik, karena si wanita itu pada awalnya mengakui bahwa dirinya telah menjadi haram bagi suaminya, lalu ia menarik kembali pengakuan tersebut.
Jika seorang wanita mengakui keharaman dia karena suatu sebab, seperti persusuan atau nasab, maka ia tidak diperbolehkan menarik kembali pengakuannya. Akan tetapi, perbedaannya dengan masalah rujuk adalah bahwa rujuk masih bisa sah tanpa adanya pengakuan atau ridho dari pihak istri.
النووي، شرح النووي على مسلم، الجزء ٦ الصحفة ١٢
وَفِي هَذَا الْحَدِيثِ دَلَالَةٌ لِمَذْهَبِ مَالِكٍ وَالشَّافِعِيِّ وَأَحْمَدَ وَجَمَاهِيرِ عُلَمَاءِ الْإِسْلَامِ وَفُقَهَاءِ الْأَمْصَارِ مِنَ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِينَ فَمَنْ بَعْدَهُمْ أَنَّ حُكْمَ الْحَاكِمِ لَا يُحِيلُ الْبَاطِنَ وَلَا يُحِلُّ حَرَامًا فَإِذَا شَهِدَ شَاهِدَا زُورٍ لِإِنْسَانٍ بِمَالٍ فَحَكَمَ بِهِ الْحَاكِمُ لَمْ يَحِلَّ لِلْمَحْكُومِ لَهُ ذَلِكَ الْمَالُ وَلَوْ شَهِدَا عَلَيْهِ بِقَتْلٍ لَمْ يَحِلَّ لِلْوَلِيِّ قَتْلُهُ مَعَ عِلْمِهِ بِكَذِبِهِمَا وَإِنْ شَهِدَا بِالزُّورِ أَنَّهُ طَلَّقَ امْرَأَتَهُ لَمْ يَحِلَّ لِمَنْ عَلِمَ بِكَذِبِهِمَا أَنْ يَتَزَوَّجَهَا بَعْدَ حُكْمِ الْقَاضِي بِالطَّلَاقِ وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ رضي الله عنه يُحِلُّ حُكْمُ الْحَاكِمِ الْفُرُوجَ دُونَ الْأَمْوَالِ فَقَالَ يَحِلُّ نِكَاحُ الْمَذْكُورَةِ وَهَذَا مُخَالِفٌ لِهَذَا الْحَدِيثِ الصحيح ولإجماع مَنْ قَبْلَهُ وَمُخَالِفٌ لِقَاعِدَةٍ وَافَقَ هُوَ وَغَيْرُهُ عَلَيْهَا وَهِيَ أَنَّ الْأَبْضَاعَ أَوْلَى بِالِاحْتِيَاطِ مِنَ الْأَمْوَالِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ
Artinya : Dan di dalam hadits ini terdapat petunjuk jelas yang mendukung madzhab Malik, Syafi’i, Ahmad, dan mayoritas ulama Islam serta para ahli fikih dari berbagai negeri islam, baik dari kalangan sahabat, tabi’in, maupun generasi setelah mereka : bahwa keputusan hakim tidak dapat mengubah hakikat (sesuatu) yang batil dan tidak bisa menghalalkan sesuatu yang haram. Maka jika ada dua orang saksi palsu memberikan kesaksian bahwa seseorang memiliki harta, lalu hakim memutuskan untuk menyerahkan harta itu kepadanya, maka harta tersebut tidak menjadi halal bagi orang yang menerima putusan itu.
Dan jika keduanya bersaksi palsu bahwa seseorang telah melakukan pembunuhan, maka tidak halal bagi wali/keluarga korban untuk membunuhnya, sebab ia mengetahui bahwa kesaksian mereka berdua adalah dusta.
Dan jika keduanya bersaksi palsu bahwa seorang pria telah menceraikan istrinya, maka tidak halal bagi siapa pun yang mengetahui kesaksian palsu & kebohongan keduanya untuk menikahi wanita tersebut setelah hakim memutuskan adanya perceraian.
Adapun Abu Hanifah radhiyallahu ‘anhu berpendapat bahwa keputusan hakim dapat menghalalkan farji (hubungan suami-istri) saja, tetapi tidak menghalalkan harta. Sehingga menurutnya boleh menikahi wanita tersebut (berdasarkan putusan hakim meskipun saksi dusta). Hanya saja pendapat ini bertentangan dengan hadits shahih di atas dan juga bertentangan dengan ijma' (kesepakatan) ulama sebelumnya, serta bertentangan dengan kaidah yang telah disepakati oleh beliau dan selainnya, yaitu bahwa kehormatan (farji) lebih patut dijaga kehati-hatiannya dibandingkan dengan harta. Dan Allah-lah yang Maha Mengetahui.
المهمات في شرح الروضة والرافعي، الجزء ٨ الصحفة ٢١ — الإسنوي (ت ٧٧٢)
قوله: وإذا حكم الحاكم بالفرقة فهل تعتد ظاهرًا وباطنًا أم ظاهرًا فقط؟ وجهان، أو قولان. انتهى٠
هذه المسألة فرد من أفراد قاعدة وهي ما إذا حكم الحاكم في المسائل المختلف فيها، فهل ينفذ حكمه ظاهرًا وباطنًا حتى يحل للمحكوم له ذلك أم لا ؟ وجهان، والأكثرون مائلون إلى النفوذ في الباطن أيضًا، كذا ذكره الرافعي في كتاب دعوى الدم، وفي كتاب الدعاوى، وقد جزم الرافعي في الموضعين المذكورين وفي غيرهما بأن الخلاف وجهان، فعلم منه الراجح مما تردد فيه الرافعي هنا، وذكر في «الروضة» هنا مثل ما ذكر الرافعي، ثم شرع من زوائده في ذكر الأصح من الخلاف فلم يتجوز له لكونه مذكورًا في غير مظنته فلم يكمل الكلام، وذكر مبتدأ بلا خبر وترك بياضًا ليلحقه إن يحرر له -رحمه الله تعالى
Artinya : Pernyataan Mushonnif : "Jika hakim memutuskan perpisahan (antara suami istri), apakah si wanita menjalani masa iddah secara lahiriah dan batiniah, ataukah hanya secara lahiriah saja? Maka di dalam masalah ini ada dua pendapat Imam Syafii atau dua pendapat ashabus Syafii ( Ulama Pengikut madzhab Syafii ) ." Selesai
Permasalahan ini adalah salah satu cabang dari kaidah umum, yaitu: apabila seorang hakim memutuskan suatu perkara yang diperselisihkan (oleh para ulama), maka apakah keputusannya berlaku secara lahiriah dan batiniah, sehingga menjadi halal bagi pihak yang diputuskan untuknya (untuk mengambil manfaat dari putusan itu), ataukah tidak ? Maka ada dua pendapat : Dan mayoritas ulama cenderung pada pendapat bahwa krputusan tersebut berlaku secara batin juga.
Demikian disebutkan oleh Imam ar-Rafi’i dalam kitab Da‘wā ad-Dam (Gugatan Darah) dan dalam kitab ad-Da‘āwī (Gugatan-gugatan). Imam Rafi’i menegaskan di kedua tempat tersebut dan juga di tempat lainnya, bahwa perbedaan pendapat dalam masalah ini memang terdapat dua pendapat ashabus Syafii. Maka dari pernyataan beliau ini dapat diketahui mana pendapat yang lebih kuat dibandingkan pernyataan beliau yang lain yang bersifat ragu-ragu dalam bagian sebelumnya.
Dan dalam kitab Ar Raudhah Imam Nawawi juga menyebutkan hal yang sama seperti yang disebutkan oleh Imam Rafi’i. Kemudian beliau (an-Nawawi) mulai menyebutkan tambahan-tambahan dari dirinya mengenai mana pendapat yang lebih shahih di antara dua pendapat tersebut. Namun beliau tidak melanjutkan pembahasannya karena pembahasan itu muncul di tempat yang bukan tempat biasanya (tidak sesuai konteks utama bab nya). Maka beliau tidak menyelesaikan ucapannya, dan menyebutkan kalimat awal tanpa menyebutkan khabarnya (bagian akhirnya), serta membiarkan ruang kosong (dalam naskahnya) agar bisa dilengkapi nanti jika beliau sempat mentahqiqnya. Semoga Allah merahmati beliau.
إعانة الطالبين على حل ألفاظ فتح المعين، الجزء ٤ الصحفة ٢٦٨ — البكري الدمياطي (ت ١٣١٠)
قوله: فما جزم به النووي) يعني إذا اختلف كلام النووي والرافعي، فالمعتمد ما جزم به النووي
Artinya : Perkataan Mushonnif: 'Maka pendapat yang telah di pastikan oleh Imam Nawawi' " maksudnya adalah jika terdapat perbedaan pendapat antara Imam Nawawi dan Imam Rafi'i, maka pendapat yang dipegang (di gunakan untuk memutuskan hukum dimahkamah atau dijadikan rujukan dalam berfatwa) adalah apa yang di tarjih/ diunggulkan oleh Imam Nawawi.
والله أعلم بالصواب
والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته
PENANYA :
Nama : Taufik Hidayat
Alamat : Pegantenan, Pamekasan, Madura
__________________________________
MUSYAWWIRIN
Anggota Grup BM Nusantara (Tanya Jawab Hukum Online)
PENASIHAT
Habib Ahmad Zaki Al-Hamid (Kota Sumenep, Madura)
PENGURUS
Ketua: Ustadz Zainullah Al-Faqih (Umbul Sari, Jember, Jawa Timur)
Wakil: Ustadz Taufik Hidayat (Pegantenan, Pamekasan, Madura)
Sekretaris: Ustadz Moh. Kholil Abdul Karim (Karas, Magetan, Jawa Timur)
Bendahara: Ustadz Supandi (Pegantenan, Pamekasan, Madura)
TIM AHLI
Kordinator Soal: Ustadz Qomaruddin (Umbul Sari, Jember, Jawa Timur), Ustadz Faisol Umar Rozi (Proppo, Pamekasan, Madura)
Deskripsi Masalah: Ustadz Faisol Umar Rozi (Proppo, Pamekasan, Madura)
Moderator: Ustadz Hosiyanto Ilyas (Jrengik, Sampang, Madura)
Perumus: Ustadz Ahmad Marzuki (Cikole, Sukabumi, Jawa Barat)
Muharrir: Kyai Mahmulul Huda (Bangsal Sari, Jember, Jawa Timur), K.H. Abdurrohim (Maospati, Magetan, Jawa Timur)
Editor: Ustadz Taufik Hidayat (Pegantenan, Pamekasan, Madura)
Terjemah Ibarot : Ustadz Rahmatullah Metuwah (Babul Rahmah, Aceh Tenggara, Aceh), Ustadz Masruri Ainul Khayat (Kalimantan Barat), Ustadz Ahmad Marzuki (Cikole, Sukabumi, Jawa Barat), Kyai Muntahal 'Ala Hasbullah (Giligenting, Sumenep, Madura), Gus Robbit Subhan (Balung, Jember, Jawa Timur), Ustadz Ahmad Alfadani (Balongbendo, Sidoarjo, Jawa Timur), Ustadz Abdurrozaq (Wonokerto, Pekalongan, Jawa Tengah), Ustadzah Lusy Windari (Jatilawang, Banyumas, Jawa Tengah)
Mushohhih terjemahan : K.H. Abdurrohim (Maospati, Magetan, Jawa Timur), Kyai Mahmulul Huda (Bangsal Sari, Jember, Jawa Timur)
________________________________________
Keterangan:
1) Pengurus adalah orang yang bertanggung jawab atas grup ini secara umum.
2) Tim ahli adalah orang yang bertugas atas berjalannya grup ini.
3) Bagi para anggota grup yang memiliki pertanyaan diharuskan untuk menyetorkan soal kepada koordinator soal dengan via japri, yakni tidak diperkenankan -sharing- soal di grup secara langsung.
4) Setiap anggota grup boleh usul atau menjawab walaupun tidak berreferensi. Namun, keputusan tetap berdasarkan jawaban yang berreferensi.
5) Dilarang -posting- iklan/video/kalam-kalam hikmah/gambar yang tidak berkaitan dengan pertanyaan, sebab akan mengganggu berjalannya diskusi.
Komentar
Posting Komentar