Sahkan Sholat Dengan Ruku' dan Sujud Pada Punggung dan Pantat Makmum di Depannya ?
HASIL KAJIAN BM NUSANTARA
(Tanya Jawab Hukum Online)
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
DESKRIPSI
Badrun (nama samaran) suatu ketika pergi Umroh. Serta banyak kejadian janggal yang terjadi padanya, mulai dari pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan olehnya seperti memakai sempak, terbukanya aurat di depan umum, dll sedangkan dirinya dalam keadaan ihram umroh, padahal pembimbing sudah memperingatkan tentang larangan-larangan saat ihram.
Selain itu, karena banyaknya jama'ah yang sholat di Masjid Haram Mekkah, Badrun saat sholat tidak bisa rukuk dan sujud dengan sempurna, dan kadang harus sujud di pantat makmum yang ada di depannya.
PERTANYAAN :
Sahkan sholat Badrun dengan ruku' dan sujud seperti deskripsi di atas ?
JAWABAN :
Sah apabila memenuhi syarat-syarat sujud yang benar. Diantaranya pantat dia harus lebih tinggi daripada kepala dan pundaknya. Jika kepala sejajar atau lebih tinggi dari pantatnya, maka pendapat yang kuat tidak sah. Tetapi ada satu pendapat lemah yang mengatakan sah.
REFERENSI :
المجموع شرح المهذب - ط المنيرية، الجزء ٤ الصحفة ٥٦٣ — النووي (ت ٦٧٦)
قَالَ أَصْحَابُنَا : إذَا مَنَعَتْهُ الزَّحْمَةُ مِنْ السُّجُودِ عَلَى الْأَرْضِ فِي الرَّكْعَةِ الْأُولَى مِنْ الْجُمُعَةِ مَعَ الْإِمَامِ : فَإِنْ أَمْكَنَهُ أَنْ يَسْجُدَ عَلَى ظَهْرِ إنْسَانٍ أَوْ رِجْلِهِ أَوْ غَيْرِ ذَلِكَ مِنْ أَعْضَائِهِ ( قَالَ الشَّيْخُ نَصْرٌ الْمَقْدِسِيُّ وَغَيْرُهُ أَوْ ظَهْرِ بَهِيمَةٍ ) لَزِمَهُ ذَلِكَ عَلَى الصَّحِيحِ الَّذِي قَطَعَ بِهِ الْجُمْهُورُ وَنَصَّ عَلَيْهِ الشَّافِعِيُّ . وَمِنْ أَصْحَابِنَا مَنْ قَالَ فِيهِ قَوْلَانِ : (أَحَدُهُمَا) هَذَا (وَالثَّانِي) قَالَهُ فِي الْقَدِيمِ : يَتَخَيَّرُ إنْ شَاءَ سَجَدَ عَلَى الظَّهْرِ وَإِنْ شَاءَ صَبَرَ لِيَسْجُدَ عَلَى الْأَرْضِ . وَهَذَا الطَّرِيقُ حَكَاهُ الْمُصَنِّفُ وَآخَرُونَ٠
Artinya : Para ulama pengikut madzhab Syafii berkata : Jika seseorang terhalang oleh ramainya jamaah, sehingga ia tidak bisa sujud ke tanah pada rakaat pertama sholat Jumat bersama imam, maka jika memungkinkan baginya untuk sujud di atas punggung seseorang, atau kakinya, atau anggota tubuh lainnya (Syaikh Nashr al-Maqdisi dan selainnya menambahkan : atau di atas punggungnya hewan), maka ia wajib melakukannya. Ini adalah pendapat yang benar, yang di sebutkan tanpa adanya perbedaan pendapat oleh mayoritas ulama dan juga di tegaskan oleh Imam Syafi’i. Namun, di antara ulama pengikut madzhab Syafii ada juga yang menyebutkan bahwa dalam masalah ini terdapat dua pendapat :
(Pertama) adalah : Pendapat di atas (yaitu wajib sujud di atas apa yang memungkinkan, meski bukan tanah).
(Kedua) : disebutkan dalam pendapat lama Imam Syafi’i — bahwa ia boleh memilih : jika ia mau, ia sujud di atas punggung (seseorang atau hewan), dan jika ia mau, ia menunggu hingga bisa sujud ke tanah.
Pendapat kedua ini disebutkan oleh penyusun kitab muhadzab (Syekh Abu Ishaq As Syaerozi ) dan ulama lainnya.
وَاتَّفَقُوا عَلَى أَنَّ الْمَذْهَبَ : وُجُوبُ السُّجُودِ عَلَى الظَّهْرِ وَنَحْوِهِ ، لِلْحَدِيثِ الصَّحِيحِ " وَإِذَا أَمَرْتُكُمْ بِأَمْرٍ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ " وَلِأَثَرِ عُمَرَ ، وَلِأَنَّهُ مُتَمَكِّنٌ مِنْهُ٠ ثُمَّ قَالَ الْجُمْهُورُ : إنَّمَا يَسْجُدُ عَلَى الظَّهْرِ وَنَحْوِهِ إذَا أَمْكَنَهُ رِعَايَةُ هَيْئَةِ السُّجُودِ بِأَنْ يَكُونَ عَلَى مَوْضِعٍ مُرْتَفِعٍ. فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فَالْمَأْتِيُّ بِهِ لَيْسَ بِسُجُودٍ. فَلَا يَجُوزُ فِعْلُهُ٠ وَفِيهِ وَجْهٌ ضَعِيفٌ أَنَّهُ لَا يَضُرُّ هُنَا ارْتِفَاعُ رَأْسِهِ وَخُرُوجُهُ عَنْ هَيْئَةِ السَّاجِدِ لِلْعُذْرِ . حَكَاهُ الرَّافِعِيُّ وَغَيْرُهُ٠ وَالْمَذْهَبُ الْأَوَّلُ. فَإِذَا أَمْكَنَهُ السُّجُودُ عَلَى ظَهْرٍ وَنَحْوِهِ ، فَلَمْ يَسْجُدْ فَهُوَ مُتَخَلِّفٌ بِلَا عُذْرٍ . هَذَا هُوَ الصَّحِيحُ ، وَبِهِ قَطَعَ الْمُتَوَلِّي وَالْبَغَوِيُّ . وَفِيهِ وَجْهٌ : أَنَّهُ مُتَخَلِّفٌ بِعُذْرٍ ، حَكَاهُ الرَّافِعِيُّ٠
Para ulama pengikut mazhab (Syafi'i) telah sepakat bahwa : Riwayat madzhab yang paling kuat adalah : dia wajib sujud di atas punggung (seseorang) atau semisalnya, karena berdasarkan hadits shahih: 'Jika aku memerintahkan kalian suatu perkara, maka kerjakanlah semampu kalian,' serta perkataan Umar bin Khottob, dan juga karena dia mampu melakukannya.
Kemudian mayoritas ulama mengatakan : Seseorang hanya boleh sujud di atas punggung atau yang semisalnya, jika memungkinkan baginya untuk menjaga (tata cara) sujud yang benar, misalnya dengan sujud di atas tempat yang lebih tinggi. Jika cara ini tidak memungkinkan, maka apa yang dilakukan itu bukanlah sujud yang sah, sehingga tidak boleh dia kerjakan.
Tetapi ada satu pendapat lemah yang mengatakan bahwa dalam kondisi seperti ini, tidak mengapa kepala dia terangkat (lebih tinggi darpada pantatnya) dan dia keluar dari bentuk sujud yang semestinya, dikarenakan ada uzur (halangan), sebagaimana disebutkan oleh Imam Ar-Rafi’i dan ulama lainnya. Namun riwayat mazhab yang paling kuat adalah pendapat pertama. Maka, jika seseorang mampu sujud di atas punggung atau yang semisalnya, namun tidak melakukannya, berarti telah tertinggal dari imam tanpa ada uzur. Dan inilah pendapat yang benar, sebagaimana ditegaskan oleh Al-Mutawalli dan Al-Baghawi.
Namun, ada pendapat lemah lain yang mengatakan bahwa ia boleh tertinggal dari Imam (sampai 2 rukun) dikarenakan uzur, sebagaimana diriwayatkan oleh Ar-Rafi’i.
العزيز شرح الوجيز = الشرح الكبير للرافعي - ط العلمية، الجزء ١ الصحفة ٥٢٢ — الرافعي، عبد الكريم (ت ٦٢٣)
الثالثة: إذا هوى من الاعتدال ووضع الجبهة وسائر أعضائه على الأرض ، فَلِوَضْع أعالي أعضائه مع الأسافل ثلاث هيئات ؛
احداها: أن تكون الأعالي أعلى ، كما لو وضع رأسه على شيء مرتفع ، وكان رأسه أعلى من حقوه . فلا يجزئه ذلك ، لأن اسم السجود لا يقع على هذه الهيئة . فصار كما لو أكب ومد رجليه ٠
والثانية: أن تكون الأسافل أعلى . فهذه هيئة التنكس ، وهي المطلوبة . ومهما كان المكان مستويًا فيكون الحقو أعلى لا محالة . وإن كان موضع الرأس مرتفعًا قليلًا فقد ترتفع أسافله . وتحصل هذه الهيئة أيضًا٠
والثالثة: أن يتساوى الأعالي والأسافل ، لارتفاع موضع الجبهة وعدم رفعة الأسافل . ففيها تردد للشيخ أبي محمد وغيره٠
Artinya : Ketiga: Jika seseorang turun dari posisi i'tidal dan sudah bisa meletakkan dahinya serta seluruh anggota tubuhnya di tanah, maka dalam meletakkan bagian atas tubuhnya bersama bagian bawahnya ada tiga macam bentuk :
Pertama : Bagian atas tubuh lebih tinggi, seperti jika ia meletakkan kepalanya di sesuatu yang tinggi, sehingga kepala lebih tinggi dari pinggang atau pantatnya, maka sujud semacam ini tidak sah, karena nama sujud tidak berlaku pada posisi seperti ini, maka keadaannya seperti orang yang tengkurap dengan membentangkan kedua kakinya.
Kedua: Bagian bawah tubuh lebih tinggi, ini adalah posisi (menukikkan tubuh), dan inilah posisi yang di perintahkan dalam sujud. Selama tempatnya rata, maka pinggang atau pantat akan lebih tinggi secara otomatis. Meskipun tempat kepala sedikit lebih tinggi, bagian bawah tubuh tetap bisa terangkat, dan posisi ini tetap dapat tercapai. Ketiga: Bagian atas dan bagian bawah tubuh berada pada posisi sama rata, yaitu ketika tempat dahi agak tinggi dan bagian bawah tubuh tidak terangkat. Dalam hal ini, terdapat keraguan menurut Imam Abu Muhammad dan ulama lainnya.
والأظهر : أنها غير مجزئة أيضًا؛ وهذا هو المذكور في الكتاب٠ وكذلك أورد صاحب «التهذيب» حيث قال: وحد السجود أن تكون أسافل بدنه أعلى من أعاليه . فلو تعذرت هذه الهيئة لمرض أو غيره ، فهل يجب وضع وسادة ونحوها ليضع الجبهة عليها؟ أم يكفي إنهاء الرأس إلى الحد الممكن من غير وضع الجبهة على شيء؟ فيه وجهان حكاهما في "النهاية" ؛ أظهرهما ؛ عند صاحب الكتاب: أنه يجب وضع شيء ليضع الجبهة عليه ، لأن الساجد يلزمه هيئة التنكس ووضع الجبهة . فإذا تعذر أحد الأمرين يأتي بالثاني ، محافظة على الواجب بقدر الإمكان
Dan pendapat Imam Syafii yang lebih kuat adalah : Posisi ketika bagian atas dan bawah tubuh sejajar utu tidak sah. Dan inilah yang disebutkan dalam kitab. Demikian pula disebutkan oleh penulis at-Tahdzīb, di mana ia berkata: Batasan sahnya sujud adalah ketika bagian bawah tubuh lebih tinggi daripada bagian atasnya. Jika posisi ini tidak mungkin dilakukan karena sakit atau sebab lain, maka apakah wajib meletakkan bantal atau semacamnya agar dahi bisa diletakkan di atasnya? Ataukah cukup dengan menundukkan kepala sebisanya tanpa meletakkan dahi pada sesuatu ?
Dalam hal ini terdapat dua pendapat dan keduanya telah dikutip oleh Imam Haramain dalam kitab Nihāyatul Mathlab :
Pendapat Imam Syafii yang lebih kuat menurut penulis kitab adalah : wajib meletakkan sesuatu (seperti bantal) agar dahi bisa diletakkan di atasnya, karena orang yang sujud diwajibkan melakukan posisi menukikkan tubuhnya, dan meletakkan dahi di tanah. Jika salah satu dari keduanya tidak bisa dilakukan, maka wajib melaksanakan yang lain yang mampu mengerjakannya, demi menjaga kewajiban semampu mungkin.
والثاني: أنه لا يجب ذلك ، لأن هيئة السجود فاتته
وإن وضع الجبهة على شيء فيكفيه الانحناء بالقدر الممكن . وهذا أشبه بكلام الأكثرين٠ ولا خلاف أنه لو عجز عن وضع الجبهة على الأرض وقدر على وضعها على وسادة مع رعاية هيئة التنكس يلزمه ذلك٠ وإن عجز عن الانحناء أشار بالرأس، ثم بالطرف كما تقدم نظيره٠ هذا شرح مسائل الكتاب
Pendapat kedua : Tidak wajib melakukannya, karena posisi sujud telah terlewatkan darinya. Dan jika dia meletakkan dahinya di atas sesuatu, maka cukup baginya untuk membungkuk sebisanya. Pendapat ini lebih sesuai dengan pendapat mayoritas ulama. Tidak ada perbedaan pendapat bahwa jika seseorang tidak mampu meletakkan dahinya di atas tanah, tetapi mampu meletakkannya di atas bantal dengan tetap menjaga posisi menukik, maka itu wajib dilakukannya. Jika ia tidak mampu membungkuk, maka cukup baginya memberi isyarat dengan kepala, lalu dengan pandangan mata, sebagaimana telah disebutkan sebelumnya. Ini adalah penjelasan mengenai masalah-masalah dalam kitab ini.
والله أعلم بالصواب
و السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
PENANYA
Nama : Fika Maulani Rahmah
Alamat : Sumber Sari, Jember , Jawa Timur
__________________________________
MUSYAWWIRIN
Anggota Grup BM Nusantara (Tanya Jawab Hukum Online)
PENASIHAT
Habib Ahmad Zaki Al-Hamid (Kota Sumenep, Madura)
PENGURUS
Ketua: Ustadz Zainullah Al-Faqih (Umbul Sari, Jember, Jawa Timur)
Wakil: Ustadz Taufik Hidayat (Pegantenan, Pamekasan, Madura)
Sekretaris: Ustadz Moh. Kholil Abdul Karim (Karas, Magetan, Jawa Timur)
Bendahara: Ustadz Supandi (Pegantenan, Pamekasan, Madura)
TIM AHLI
Kordinator Soal: Ustadz Qomaruddin (Umbul Sari, Jember, Jawa Timur), Ustadz Faisol Umar Rozi (Proppo, Pamekasan, Madura)
Deskripsi Masalah: Ustadz Faisol Umar Rozi (Proppo, Pamekasan, Madura)
Moderator: Ustadz Hosiyanto Ilyas (Jrengik, Sampang, Madura)
Perumus: Kyai Mahmulul Huda (Bangsal Sari, Jember, Jawa Timur)
Muharrir: Kyai Mahmulul Huda (Bangsal Sari, Jember, Jawa Timur), K.H. Abdurrohim (Maospati, Magetan, Jawa Timur)
Editor: Ustadz Taufik Hidayat (Pegantenan, Pamekasan, Madura)
Terjemah Ibarot : Ustadz Taufik Hidayat (Pegantenan, Pamekasan, Madura)
Mushohhih terjemahan : K.H. Abdurrohim (Maospati, Magetan, Jawa Timur)
________________________________________
Keterangan:
1) Pengurus adalah orang yang bertanggung jawab atas grup ini secara umum.
2) Tim ahli adalah orang yang bertugas atas berjalannya grup ini.
3) Bagi para anggota grup yang memiliki pertanyaan diharuskan untuk menyetorkan soal kepada koordinator soal dengan via japri, yakni tidak diperkenankan -sharing- soal di grup secara langsung.
4) Setiap anggota grup boleh usul atau menjawab walaupun tidak berreferensi. Namun, keputusan tetap berdasarkan jawaban yang berreferensi.
5) Dilarang -posting- iklan/video/kalam-kalam hikmah/gambar yang tidak berkaitan dengan pertanyaan, sebab akan mengganggu berjalannya diskusi.
Komentar
Posting Komentar