Hukum Menentukan Awal Bulan Ramadhan dengan Hanya Menggunakan Salah Satu Metode

HASIL KAJIAN BM NUSANTARA
(Tanya Jawab Hukum Online)

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته

DESKRIPSI

Ada seorang muslim yang taat bernama Badrun (nama samaran). Dia rajin mempelajari ilmu agama terutama fiqih lintas mazhab. Kebetulan dia tinggal di lingkungan yang warganya banyak mengikuti ormas Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah. Badrun tidak mengikuti ormas apapun dengan alasan netral dan berpikir bahwa semua ormas keagamaan itu baik.

Menjelang bulan Ramadhan, ormas Muhammadiyah mengumumkan bahwa mereka akan melaksanakan puasa mendahului pemerintah dan NU, sementara warga NU akan memulai puasa pada hari berikutnya. Begitu pula dengan pelaksanaan Hari Raya Idul Fitri, Muhammadiyah akan mendahului pemerintah dan NU.

Perbedaan penentuan awal Ramadhan dan Syawal antara NU dan Muhammadiyah tersebut karena metode yang digunakan oleh kedua Ormas ini berbeda. Pemerintah dan NU menggunakan metode rukyatul hilal (terlihatnya bulan pada ketinggian tertentu), sedangkan Muhamadiyah menggunakan hisab (meskipun Bulan tidak nampak oleh mata, tapi pada hakikatnya bulan tersebut sudah ada). 

Badrun memutuskan untuk memulai puasa mengikuti NU dan melaksanakan Hari Raya Idul Fitri menurut Muhammadiyah.


PERTANYAAN

Apakah dibenarkan dalam penentuan awal bulan ramadhan atau syawal hanya menggunakan metode hisab saja tanpa rukyatul hilal ? 

JAWABAN :

Tidak dibenarkan apabila hasil dari hisab tersebut dipergunakan dalam rangka istbat awal Romadhon atau Awal Syawal. Tetapi boleh dipergunakan untuk seseorang yang melakukan hisab itu sendiri atau orang yang mempercayainya.

REFERENSI :

البيان في مذهب الشافعي، الجزء ٣ الصحفة ٤٧٥

ولا يجب صوم رمضان إلا بدخول الشهر، ودخول الشهر يعلم بأمرين: إما برؤية الهلال، أو باستكمال شعبان ثلاثين يومًا، هذا قول كافة الفقهاء٠ وقال بعض الناس: يعلم دخوله بذلك، ويعلم بالحساب والنجوم: أن الهلال قد أهل، فيلزمه، وهذا ليس بصحيح، لما روى ابن عباس - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا -: أن النبي - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - قال: «صوموا لرؤيته، وأفطروا لرؤيته، فإن غم عليكم.. فأكملوا العدة ثلاثين يومًا»٠ وروي عنه - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -: أنه قال: «لا تصوموا حتى تروا الهلال، أو تكملوا العدة، ولا تفطروا حتى تروا الهلال، أو تكملوا العدة ثلاثين»٠


Artinya : Puasa Ramadhan tidak wajib kecuali sebab masuknya Bulan (Romadlon), dan masuknya Bulan tersebut diketahui dengan dua hal : adakalanya dengan melihat hilal (bulan sabit tanggal 1) atau dengan menyempurnakan bilangan bulan Sya'ban menjadi 30 hari. Ini merupakan pendapat semua Ulama' Fiqih. Dan sebagian Manusia berkata : Masuknya Bulan tersebut diketahui dengan melihat hilal (bulan sabit tanggal 1) atau dengan menyempurnakan bulan Sya'ban dengan 30 hari. Dan diketahui dengan ilmu hisab atau melihat bintang (rasi bintang) : sesungguhnya hilal sungguh sesuai atau cocok, maka mereka (Manusia tersebut) menetapkan hilal (tanggal 1). Dan pendapat ini (menetapkan hilal dengan hisab dan melihat bintang) merupakan pendapat yang tidak benar, karena ada sebuah hadits riwayat Ibnu Abbas bahwasanya Nabi SAW bersabda : "Berpuasalah kalian karena melihat hilal (Bulan sabit tanggal 1 Romadlon) dan berbukalah (berhenti berpuasa) karena melihat hilal (Bulan sabit tanggal 1 Syawal), maka apabila Hilal tertutup awan dari penglihatan kalian, maka sempurnakanlah bilangan Sya'ban menjadi 30 hari. Dan juga diriwayatkan oleh Ibnu Abbas, bahwasanya Nabi SAW bersabda : "Janganlah kalian berpuasa sehingga melihat Hilal (tanggal 1 Romadlon) atau menyempurnakan bilangan Sya'ban menjadi 30 hari. Dan janganlah kalian berbuka (berhenti berpuasa) sehingga kalian melihat hilal (tanggal 1 Syawal) atau menyempurnakan bilangan (Sya'ban menjadi 30 hari) 


بغية المسترشدين في تلخيص فتاوى بعض الأئمة المتأخرين، الجزء ١ الصحفة ٢٢٧

٠(مسألة : ي ك) ؛ 

Masalah yang dikutip dari fatwa Sayyid Abdulloh bin Umar bin Abu Bakar bin Yahya dan Syekh Muhammad bin Sulaiman al-Kurdi. 

يجوز للمنجم وهو من يرى أن أوّل الشهر طلوع النجم الفلاني ، والحاسب وهو من يعتمد منازل القمر وتقدير سيره العمل بمقتضى ذلك ، لكن لا يجزيهما عن رمضان لو ثبت كونه منه ، بل يجوز لهما الإقدام فقط ، قاله في التحفة والفتح ، وصحح ابن الرفعة في الكفاية الإجزاء وصوبه الزركشي والسبكي ، واعتمده في الإيعاب والخطيب ، بل اعتمده (م ر) تبعاً لوالده الوجوب عليهما وعلى من اعتقد صدقهما

Bagi seseorang yang ahli ilmu Astronomi ( yaitu orang yang berpendapat bahwa awal bulan tertentu berdasarkan terbit nya bintang tertentu), dan begitu juga bagi Ahli ilmu Hisab (yaitu orang yang berpegangan pada terbit nya bulan dan perkiraan perjalanannya), mereka berdua boleh beramal berdasarkan keilmuan mereka masing-masing. Namun hal itu tidak mencukupi bagi keduanya untuk berpuasa romadlon seandainya romadlon tersebut ditetapkan berdasarkan hal itu. Tetapi kebolehan tersebut hanya berlaku untuk mengerjakan puasa romadlon saja (yakni bukan untuk sah nya puasa). Hal ini di nyatakan oleh Ibnu Hajar dalam kitab At-Tuhfah dan Al-Fath. Namun Ibnu Rif'ah didalam kitab al-Kifayah mendukung pendpat yng mengatakan sah nya puasa mereka berdua. Dan pendapat ini dibenarkan oleh Az-Zarkasyi dan As-Subki، dan pendapat ini juga dipegang oleh Ibnu Hajar dalam kitab Al-I'ab dan juga oleh Al-Khotib As-Syirbiny. Bahkan pendpat yg muktamad menurut Imam Romli yang mengikuti pendapat ayah nya adalah: Wajib bagi ahli Astronomi maupun hisab dan orang yang meyakini kebenarannya untuk berpuasa romadlon berdasarkan ilmu hisab tersebut. 

وعلى هذا يثبت الهلال بالحساب كالرؤية للحاسب ومن صدقه ، فهذه الآراء قريبة التكافؤ فيجوز تقليد كل منها ، والذي يظهر أوسطها وهو الجواز والإجزاء ، نعم إن عارض الحساب الرؤية فالعمل عليها لا عليه على كل قول 

Berdasarkan pendapat ini, maka Hilal Romadlon itu ditetapkan dengan ilmu Hisab sebagaimana hilal ditetapkan dengan metode ru'yah. Hanya saja pendapat ini hanya berlaku bagi Ahli ilmu Hisab teraebut dan orang-orang yang meyakini kebenarannya saja. 

Maka pendapat-pendapat ini sebenarnya mendekati kesetaraan, sehingga boleh untuk mengikuti masing-masing dari metode tersebut, namun yang jelas pendapat yang menengahi adalah yang menyatakan bahwa mengikuti metode tersebut boleh dan puasanya mencukupi (sah). Namun Apabila hasil perhitungan Hisab bertentangan dengan hasil ru'yah, maka yang wajib digunakan adalah metode ru'yah, bukan metode hisab berdasarkan masing-masing pendapat diatas.


فتح الباري بشرح البخاري، الجزء ٤ الصحفة ١٢٢

وَرَوَى النَّسَائِيُّ مِنْ طَرِيقِ مُحَمَّدِ بْنِ حُنَيْنٍ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ بِلَفْظِ: فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا الْعِدَّةَ ثَلَاثِينَ. قَوْلُهُ: (فَاقْدُرُوا لَهُ) تَقَدَّمَ أَنَّ لِلْعُلَمَاءِ فِيهِ تَأْوِيلَيْنِ، وَذَهَبَ آخَرُونَ إِلَى تَأْوِيلٍ ثَالِثٍ، قَالُوا: مَعْنَاهُ فَاقْدُرُوهُ بِحِسَابِ الْمَنَازِلِ

Artinya : Imam an-Nasa'i meriwayatkan dari jalur sanad Muhammad bin Hunain dari sayyidina Ibnu Abbas RA. dengan lafadz "jika hilal tidak terlihat oleh kalian sebab tertutup awan, maka sempurnakanlah bulan sya'ban menjadi 30 hari". Adapun sabda Nabi saw "maka hitunglah bulan tersebut ..." telah disebutkan bahwa para ulama memiliki dua takwilan mengenai lafadz ini. Dan sebagian ulama yang lain berpendapat kepada takwilan yang ketiga. Mereka mengatakan : "makna hadits ini adalah maka hitunglah bulan tersebut sesuai dengan hitungan fase-fase bulan"

قَالَهُ أَبُو الْعَبَّاسِ بْنُ سُرَيْجٍ مِنَ الشَّافِعِيَّةِ ، وَمُطَرِّفُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ مِنَ التَّابِعَيْنَ ، وَابْنُ قُتَيْبَةَ مِنَ الْمُحَدِّثِينَ. قَالَ ابْنُ عَبْدِ الْبَرِّ: لَا يَصِحُّ عَنْ مُطَرِّفٍ، وَأَمَّا ابْنُ قُتَيْبَةَ فَلَيْسَ هُوَ مِمَّنْ يُعَرَّجُ عَلَيْهِ فِي مِثْلِ هَذَا

Pendapat ini adalah pendapatnya Abul Abbas bin Suraij dari kalangan ulama Syafi'iyah dan Mutorrif bin Abdillah dari kalangan tabiin dan Ibnu Qutaibah dari kalangan muhadditsin. Ibnu Abdil Barr mengatakan "Tidaklah benar pendapat yang diriwayatkan dari Mutorrif. Adapun Ibnu Qutaibah maka dia tidak termasuk orang yang dapat dijadikan panutan dalam masalah ini".


قَالَ: وَنَقَلَ ابْنُ خُوَيْزَ مِنْدَادٌ، عَنِ الشَّافِعِيِّ مَسْأَلَةَ ابْنِ سُرَيْجٍ، وَالْمَعْرُوفُ عَنِ الشَّافِعِيِّ مَا عَلَيْهِ الْجُمْهُورُ، وَنَقَلَ ابْنُ الْعَرَبِيِّ، عَنِ ابْنِ سُرَيْجٍ أَنَّ قَوْلَهُ: فَاقْدُرُوا لَهُ خِطَابٌ لِمَنْ خَصَّهُ اللَّهُ بِهَذَا الْعِلْمِ، وَأَنَّ قَوْلَهُ: فَأَكْمِلُوا الْعِدَّةَ خِطَابٌ لِلْعَامَّةِ. قَالَ ابْنُ الْعَرَبِيِّ: فَصَارَ وُجُوبُ رَمَضَانَ عِنْدَهُ مُخْتَلِفَ الْحَالِ يَجِبُ عَلَى قَوْمٍ بِحِسَابِ الشَّمْسِ وَالْقَمَرِ، وَعَلَى آخَرِينَ بِحِسَابِ الْعَدَدِ، قَالَ: وَهَذَا بَعِيدٌ عَنِ النُّبَلَاءِ٠

Ibnu Abdil Barr mengatakan "Ibnu khuwaiz Mindad menukil dari Imam Syafi'i permasalahan Ibnu Suraij ini. Dan pendapat yang di kenal dari Imam Syafi'i adalah pendapat yang telah disepakati oleh jumhur ulama.Dan dinukil oleh Imam Ibnul arabi dari Ibnu Juraij bahwa sabda nabi "Maka hitunglah bulan tersebut" adalah khitob untuk orang-orang khusus yang faham ilmu astronomi dan hisab.

Sedangkan sabda beliau : Sempurnakanlah 30 hari adalah khitob yang ditujukan untuk umum. Ibnul arobi mengatakan "maka kewajiban Ramadan menurut beliau bisa berbeda-beda keadaannya. Yakni terkadang diwajibkan atas suatu kaum dengan penghitungan matahari dan bulan, dan sedangkan bagi kaum yang lain diwajibkan dengan menghitung jumlah hari saja". Ibnu Aroby mengatakan "Dan pendapat ini sangat jauh dari pendapatnya para ulama-ulama senior yang jadi panutan".


الموسوعة الفقهية الكويتية، الجزء ٢٢ الصحفة ٣٤

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَكَرَ رَمَضَانَ فَقَال: لاَ تَصُومُوا حَتَّى تَرَوُا الْهِلاَل، وَلاَ تُفْطِرُوا حَتَّى تَرَوْهُ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوا لَهُ (١)٠

Artinya : Dari Abdullah bin Umar r.a. bahwa Rasulullah saw. menyebutkan tentang Ramadan dan beliau bersabda: "Janganlah kalian berpuasa hingga kalian melihat hilal, dan janganlah kalian berhari-raya sehingga kalian melihatnya juga. Jika hilal tertutup atas kalian oleh awan, maka hitunglah."

عَلَّقَ الْحَدِيثُ بِدَايَةَ صِيَامِ رَمَضَانَ وَالشُّرُوعِ فِي الإِْفْطَارِ بِرُؤْيَةِ الْهِلاَل، وَأَمَرَ عِنْدَ تَعَذُّرِهَا فِي حَالَةِ الْغَيْمِ بِالتَّقْدِيرِ، فَقَال صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوا لَهُ، وَقَدِ اخْتُلِفَ فِي الْمُرَادِ مِنْ هَذِهِ الْعِبَارَةِ

Hadis ini telah mengaitkan penentuan awal puasa Ramadan dan awal syawal dengan melihat hilal, dan juga memerintahkan ketika tidak dapat melihatnya karena mendung untuk melakukan taksir (perhitungan). Rasulullah saw. bersabda: "Jika hilal tertutup atas kalian oleh awan, maka perkirakanlah." Dan telah terjadi perbedaan pendapat mengenai maksud dari ungkapan ini.

رَأْيُ الْقَائِلِينَ بِالْحِسَابِ؛
١٢ - تَضَمَّنَ هَذَا الرَّأْيُ الْقَوْل بِتَقْدِيرِ الْهِلاَل بِالْحِسَابِ الْفَلَكِيِّ وَنُسِبَ إِلَى مُطَرِّفِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الشِّخِّيرِ مِنَ التَّابِعِينَ وَأَبِي الْعَبَّاسِ بْنِ سُرَيْجٍ مِنَ الشَّافِعِيَّةِ وَابْنِ قُتَيْبَةَ مِنَ الْمُحَدِّثِينَ (٢) . وَقَال ابْنُ عَبْدِ الْبَرِّ: لاَ يَصِحُّ عَنْ مُطَرِّفٍ، وَنَفَى نِسْبَةَ مَا عُرِفَ عَنْ ابْنِ سُرَيْجٍ إِلَى الشَّافِعِيِّ لأَِنَّ الْمَعْرُوفَ عَنْهُ مَا عَلَيْهِ الْجُمْهُورُ (٣) . وَنَقَل ابْنُ رُشْدٍ عَنْ مُطَرِّفٍ قَوْلَهُ: " يُعْتَبَرُ الْهِلاَل إِذَا غُمَّ بِالنُّجُومِ وَمَنَازِل الْقَمَرِ وَطَرِيقِ الْحِسَابِ، قَال: وَرُوِيَ مِثْل ذَلِكَ عَنِ الشَّافِعِيِّ فِي رِوَايَةٍ، وَالْمَعْرُوفُ لَهُ الْمَشْهُورُ عَنْهُ أَنَّهُ لاَ يُصَامُ  إِلاَّ بِرُؤْيَةٍ فَاشِيَةٍ أَوْ شَهَادَةٍ عَادِلَةٍ كَالَّذِي عَلَيْهِ الْجُمْهُورُ (١) ". وَعَنْ مُطَرِّفٍ أَيْضًا أَنَّ الْعَارِفَ بِالْحِسَابِ يَعْمَل بِهِ فِي نَفْسِهِ (٢)٠

Pendapat Para Pengusul Perhitungan sesuai ilmu hisab :

12 - Pendapat ini mencakup pernyataan tentang memperkirakan hilal dengan ilmu hisab (perhitungan astronomi). Pendapat ini dinisbatkan kepada Mutharif bin Abdullah bin Shikhir dari kalangan Tabi'in, Abu Abbas bin Suraij dari kalangan Syafi'iyyah, dan Ibn Qutaybah dari kalangan para ahli hadis.

Ibn Abdil-Barr mengatakan: "Pendapat ini tidak benar dari Mutharif," dan beliau juga menolak penisbatan pendapat yang dikenal dari Ibn Suraij yang dinisbatkan kepada Imam Syafi'i, karena yang masyhur dari Imam Syafi'i adalah sebagai pendapat mayoritas ulama. (Yakni harus melihat hilal).

Ibn Rusd mengutip dari Mutharif pernyataannya: "Ketika kondisi langit tertutup oleh awan, maka penentuan hilal bisa di gantikan dengan metode ilmu Astronomi dan kedudukan bulan serta ilmu hisab". Ibnu Rusydi  juga menyatakan bahwa pendapat serupa diriwayatkan dari Imam Syafi'i dalam satu riwayat, tetapi yang terkenal dari beliau adalah bahwa puasa tidak bisa diputuskan kecuali dengan melihat hilal secara  umum atau kesaksian yang adil seperti yang dipegang oleh mayoritas ulama.

Dan ada riwayat dari Mutharif juga : bahwa orang yang mengetahui perhitungan hisab dapat menggunakannya untuk dirinya sendiri.

أَمَّا ابْنُ سُرَيْجٍ فَاعْتَبَرَ قَوْلَهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: فَاقْدُرُوا لَهُ: خِطَابًا لِمَنْ خَصَّهُ اللَّهُ تَعَالَى بِعِلْمِ الْحِسَابِ، وَقَوْلَهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْحَدِيثِ الآْخَرِ: فَأَكْمِلُوا الْعِدَّةَ خِطَابًا لِلْعَامَّةِ (٣)  وَبَيَّنَ ابْنُ الصَّلاَحِ مَا قَصَدَهُ ابْنُ سُرَيْجٍ مِنَ الْمَعْرِفَةِ بِالْحِسَاب فَقَال: " مَعْرِفَةُ مَنَازِل الْقَمَرِ هِيَ مَعْرِفَةُ سَيْرِ الأَْهِلَّةِ، وَأَمَّا مَعْرِفَةُ الْحِسَابِ فَأَمْرٌ دَقِيقٌ يَخْتَصُّ بِمَعْرِفَتِهِ الآْحَادُ. فَمَعْرِفَةُ مَنَازِل الْقَمَرِ تُدْرَكُ بِأَمْرٍ مَحْسُوسٍ يُدْرِكُهُ مَنْ يُرَاقِبُ النُّجُومَ، وَهَذَا هُوَ الَّذِي أَرَادَهُ ابْنُ سُرَيْجٍ، وَقَال بِهِ فِي حَقِّ الْعَارِفِ بِهَا فِيمَا يَخُصُّهُ (٤) "٠

Adapun Ibnu Suraij maka beliau menganggap bahwa sabda Rasulullah saw.: "Maka perkirakanlah," itu hanya ditujukan kepada orang-orang yang Allah swt menganugerahkan kepadanya ilmu hisab. 
Adapun perkataan beliau dalam hadis lainnya: "Maka sempurnakanlah bilangan," maka itu ditujukan untuk masyarakat umum.

Ibn Salah menjelaskan maksud Ibn Suraij tentang pengetahuan perhitungan, ia berkata: "Pengetahuan tentang fase-fase bulan adalah pengetahuan tentang perjalanan hilal. Sedangkan pengetahuan tentang ilmu hisab adalah sesuatu yang rumit dan hanya diketahui oleh segelintir orang saja. Pengetahuan tentang fase-fase bulan dapat dipahami melalui hal-hal yang nyata yang dapat diamati oleh pengamat bintang, dan inilah yang dimaksudkan oleh Ibn Suraij, dan ia menyatakan hal ini terkait dengan orang yang menguasai ilmunya."


وَقَدِ اخْتَلَفَ النَّقْل عَنِ ابْنِ سُرَيْجٍ فِي حُكْمِ صِيَامِ الْعَارِفِ بِالْحِسَابِ عِنْدَ ثُبُوتِ الْهِلاَل عِنْدَهُ، فَفِي رِوَايَةٍ عَنْهُ أَنَّهُ لَمْ يَقُل بِوُجُوبِ ذَلِكَ عَلَيْهِ، وَإِنَّمَا قَال بِجَوَازِهِ، وَفِي رِوَايَةٍ أُخْرَى عَنْهُ لُزُومُ الصِّيَامِ فِي هَذِهِ الصُّورَةِ (١) . وَعَنْ بَعْضِ الْحَنَفِيَّةِ قَوْل: لاَ بَأْسَ بِالاِعْتِمَادِ عَلَى قَوْل الْمُنَجِّمِينَ (٢) . وَقَال الْقُشَيْرِيُّ: " إِذَا دَل الْحِسَابُ عَلَى أَنَّ الْهِلاَل قَدْ طَلَعَ مِنَ الأُْفُقِ عَلَى وَجْهٍ يُرَى لَوْلاَ وُجُودُ الْمَانِعِ كَالْغَيْمِ مَثَلاً، فَهَذَا يَقْتَضِي الْوُجُوبَ لِوُجُودِ السَّبَبِ الشَّرْعِيِّ، وَلَيْسَ حَقِيقَةُ الرُّؤْيَةِ مَشْرُوطَةً فِي اللُّزُومِ، فَإِنَّ الاِتِّفَاقَ عَلَى أَنَّ الْمَحْبُوسَ فِي الْمَطْمُورَةِ إِذَا عَلِمَ بِإِتْمَامِ الْعِدَّةِ أَوْ بِالاِجْتِهَادِ أَنَّ الْيَوْمَ مِنْ رَمَضَانَ وَجَبَ عَلَيْهِ الصَّوْمُ (٣) ". 

Sungguh telah terjadi perbedaan dalam riwayat mengenai hukum puasa bagi orang yang mengetahui perhitungan ilmu hisab, disaat yang sama dia juga mengakui bahwa hilal juga telah terlihat oleh orang yang diterima persaksiannya di depan hakim. Dalam satu riwayat : ia tidak pernah mengatakan bahwa puasa wajib atasnya, tetapi hanya memperbolehkannya. Sedangkan dalam riwayat lain, ia menyatakan bahwa puasa menjadi wajib dalam gambaran kejadian diatas. Dari beberapa kalangan ulama pengikut madzhab Hanafi ada yang berpendapat bahwa : "Tidak ada masalah untuk bergantung pada perkataan para ahli astronomi."

Al-Qushayri berkata: "Jika perhitungan menunjukkan bahwa hilal telah muncul dari ufuk dalam ketinggian derajat yang bisa dipastikan akan bisa dilihat seandainya tidak ada penghalang seperti awan, maka ini mewajibkan puasa, karena adanya sebab secara syar'i, dan melihat hilal sungguhan itu tidak disyaratkan dalam wajibnya puasa. Karena kesepakatan menyatakan bahwa orang yang terkurung dalam kegelapan, jika ia mengetahui bahwa bilangan telah sempurna atau dengan ijtihad bahwa hari tersebut adalah Ramadan, maka puasa menjadi wajib baginya."

آرَاءُ الْقَائِلِينَ بِعَدَمِ إِثْبَاتِ الأَْهِلَّةِ  بِالْحِسَابِ وَأَدِلَّتُهُمْ؛ 
١٣ - الْمُعْتَمَدُ فِي الْمَذْهَبِ الْحَنَفِيِّ أَنَّ شَرْطَ وُجُوبِ الصَّوْمِ وَالإِْفْطَارِ رُؤْيَةُ الْهِلاَل، وَأَنَّهُ لاَ عِبْرَةَ بِقَوْل الْمُؤَقِّتِينَ وَلَوْ عُدُولاً، وَمَنْ رَجَعَ إِلَى قَوْلِهِمْ فَقَدْ خَالَفَ الشَّرْعَ، وَذَهَبَ قَوْمٌ مِنْهُمْ إِلَى أَنَّهُ يَجُوزُ أَنْ يُجْتَهَدَ فِي ذَلِكَ، وَيُعْمَل بِقَوْل أَهْل الْحِسَابِ (٤) 

Pandangan Para Ulama yang menolak penetapan Hilal di depan Hakim dengan perhitungan hisab serta Dalil-Dalil Mereka:

Pendapat yang kuat dalam Mazhab Hanafi: syarat wajibnya puasa dan berhari-raya adalah melihat hilal. Dan dalam hal ini tidak boleh berparokan kepada perkataan para ahli perhitungan hisab, walaupun mereka orang-orang yang diterima persaksiannya. Siapa pun yang merujuk pada pendapat mereka berarti telah menyelisihi dan melanggar syariat. Tetapi ada juga beberapa di antara mereka yang berpendapat bahwa diperbolehkan untuk berijtihad dalam hal ini dan mengikuti perkataan para ahli hisab.


وَمَنَعَ مَالِكٌ مِنَ اعْتِمَادِ الْحِسَابِ فِي إِثْبَاتِ الْهِلاَل، فَقَال: " إِنَّ الإِْمَامَ الَّذِي يَعْتَمِدُ عَلَى الْحِسَابِ لاَ يُقْتَدَى بِهِ، وَلاَ يُتَّبَعُ ". وَبَيَّنَ أَبُو الْوَلِيدِ الْبَاجِيُّ حُكْمَ صِيَامِ مَنِ اعْتَمَدَ الْحِسَابَ فَقَال: " فَإِنْ فَعَل ذَلِكَ أَحَدٌ فَالَّذِي عِنْدِي أَنَّهُ لاَ يُعْتَدُّ بِمَا صَامَ مِنْهُ عَلَى الْحِسَابِ وَيَرْجِعُ إِلَى الرُّؤْيَةِ وَإِكْمَال الْعَدَدِ، فَإِنِ اقْتَضَى ذَلِكَ قَضَاءَ شَيْءٍ مِنْ صَوْمِهِ قَضَاهُ (١) ". وَذَكَرَ الْقَرَافِيُّ قَوْلاً آخَرَ لِلْمَالِكِيَّةِ بِجَوَازِ اعْتِمَادِ الْحِسَابِ فِي إِثْبَاتِ الأَْهـلّةِ (٢)٠ 

Pendapat Imam Malik: 
Imam Malik melarang berpegang pada perhitungan ilmu hisab untuk menetapkan hilal. Ia mengatakan: "Seorang pemimpin negara yang berpegang pada perhitungan hisab dalam menetapkan hilal, tidak boleh diikuti dan tidak boleh diteladani." Abu al-Walid al-Baji menjelaskan hukum puasa bagi orang yang berpegang pada perhitungan hisab, ia berkata: "Jika seseorang melakukan hal itu, maka menurut saya, puasa yang dilakukannya berdasarkan perhitungan hisab itu tidak sah, dan ia harus kembali kepada melihat hilal dan menyempurnakan bilangan 30 hari. Jika hal itu mengharuskan dia untuk mengqodho' sebagian dari puasanya, maka ia harus mengqadhanya."

Pendapat Mazhab Maliki Lainnya: Al-Qarafi menyebutkan pendapat lain dari kalangan Maliki yang memperbolehkan bergantung pada perhitungan hisab untuk membuktikan hilal.

أَمَّا الشَّافِعِيَّةُ فَقَال النَّوَوِيُّ: قَال أَصْحَابُنَا وَغَيْرُهُمْ: " لاَ يَجِبُ صَوْمُ رَمَضَانَ إِلاَّ بِدُخُولِهِ، وَيُعْلَمُ دُخُولُهُ بِرُؤْيَةِ الْهِلاَل، فَإِنْ غُمَّ وَجَبَ اسْتِكْمَال شَعْبَانَ ثَلاَثِينَ، ثُمَّ يَصُومُونَ سَوَاءٌ كَانَتِ السَّمَاءُ مُصْحِيَةً أَوْ مُغَيِّمَةً غَيْمًا قَلِيلاً أَوْ كَثِيرًا ". وَفِي هَذَا حَصْرُ طُرُقِ إِثْبَاتِ هِلاَل رَمَضَانَ فِي الرُّؤْيَةِ وَإِكْمَال شَعْبَانَ ثَلاَثِينَ، وَفِي هَذَا الْحَصْرِ نَفْيٌ لاِعْتِمَادِ الْحِسَابِ، وَقَدْ صَرَّحَ فِي مَوْضِعٍ آخَرَ بِرَفْضِهِ؛ لأَِنَّهُ حَدْسٌ وَتَخْمِينٌ وَرَأَى اعْتِبَارَهُ فِي الْقِبْلَةِ وَالْوَقْتِ (٣) . نَقَل الْقَلْيُوبِيُّ عَنِ الْعَبَّادِيِّ قَوْلَهُ: إِذَا دَل الْحِسَابُ الْقَطْعِيُّ عَلَى عَدَمِ رُؤْيَةِ الْهِلاَل لَمْ يُقْبَل قَوْل الْعُدُول بِرُؤْيَتِهِ، وَتُرَدُّ شَهَادَتُهُمْ. ثُمَّ قَال الْقَلْيُوبِيُّ: وَهُوَ ظَاهِرٌ جَلِيٌّ، وَلاَ يَجُوزُ الصَّوْمُ حِينَئِذٍ وَمُخَالَفَةُ ذَلِكَ مُعَانَدَةٌ وَمُكَابَرَةٌ (١)

Adapu pendapat ulama Mazhab Syafi'i, maka Imam Nawawi menyatakan bahwa para ulama madzhab kami dan lainnya berpendapat: "Puasa Ramadan tidak wajib kecuali setelah masuknya romadhon, dan masuknya Ramadan diketahui dengan melihat hilal. Jika hilal tertutup oleh mendung, maka wajib menyempurnakan bulan Sya'ban menjadi tiga puluh hari. Kemudian mereka wajib berpuasa romadhon, baik kondisi langit cerah ataupun mendung, baik mendungnya tebal ataupun tipis."

Dalam pernyataan ini, terdapat pembatasan dalam tata cara penetapan hilal Ramadan, yaitu harus dengan melihat hilal dan menyempurnakan Sya'ban menjadi tiga puluh hari. Dan dalam pembatasan ini juga terdapat penegasan terhadap penolakan memakai perhitungan hisab. Ia juga menyatakan di bab yang lain, bahwa ia menolak perhitungan hisab, karena itu hanya dugaan dan perkiraan. Adapun dalam menetapkan arah qiblat dan waktu sholat, maka dia berpandangan untuk membolehkan perhitungan ilmu hisab sebagai pedoman.

Pendapat Al-Qalyubi: Al-Qalyubi mengutip dari Syekh al-Abbadi: "Jika perhitungan hisab memastikan bahwa hilal tidak bisa terlihat, maka tidak boleh menerima persaksian orang-orang yang mengaku telah melihatnya, dan kesaksian mereka wajib ditolak." Ia kemudian menyatakan bahwa hal ini sudah jelas dan tidak diperbolehkan untuk berpuasa pada saat itu. Dan melanggar keputusan ini, berarti penetangan dan menantang secara terang-terangan.

 وَلاَ يَعْتَمِدُ الْحَنَابِلَةُ الْحِسَابَ الْفَلَكِيَّ فِي إِثْبَاتِ هِلاَل رَمَضَانَ، وَلَوْ كَثُرَتْ إِصَابَتُهُ (٢)

Pendapat Mazhab Hanbali: Para ulama madzhab Hanbali tidak mengandalkan perhitungan astronomi untuk membuktikan hilal Ramadan, meskipun banyak kesesuaian dengan yang terjadi dilapangan.


والله أعلم بالصواب

 و السلام عليكم ورحمة الله وبركاته


PENANYA

Nama: Zahira
Alamat: Candi Mulyo, Madiun, Jawa Timur
__________________________________

MUSYAWWIRIN

Anggota Grup BM Nusantara (Tanya Jawab Hukum Online)

PENASIHAT

Habib Ahmad Zaki Al-Hamid (Kota Sumenep, Madura)

PENGURUS

Ketua: Ustadz Zainullah Al-Faqih (Umbul Sari, Jember, Jawa Timur)
Wakil: Ustadz Taufik Hidayat (Pegantenan, Pamekasan, Madura)
Sekretaris: Ustadz Moh. Kholil Abdul Karim (Karas, Magetan, Jawa Timur)
Bendahara: Ustadz Supandi (Pegantenan, Pamekasan, Madura)

TIM AHLI

Kordinator Soal: Ustadz Qomaruddin (Umbul Sari, Jember, Jawa Timur), Ustadz Faisol Umar Rozi (Proppo, Pamekasan, Madura) 
Deskripsi Masalah: Ustadz Faisol Umar Rozi (Proppo, Pamekasan, Madura), Ustadzah Nuurul Jannah (Tegalrejo, Magelang, Jawa Tengah) 
Moderator: Ustadz Hosiyanto Ilyas (Jrengik, Sampang, Madura)
Perumus: Kyai Mahmulul Huda (Bangsal Sari, Jember, Jawa Timur)
Muharrir: Kyai Mahmulul Huda (Bangsal Sari, Jember, Jawa Timur), K.H. Abdurrohim (Maospati, Magetan, Jawa Timur)
Editor: Ustadz Taufik Hidayat (Pegantenan, Pamekasan, Madura), Ustadzah Nuurul Jannah (Tegalrejo, Magelang, Jawa Tengah) 
Terjemah Ibarot : Ustadz Rahmatullah Metuwah (Babul Rahmah, Aceh Tenggara, Aceh), Ustadz Masruri Ainul Khayat (Kalimantan Barat), Gus Robbit Subhan (Balung, Jember, Jawa Timur)
Mushohhih terjemahan : K.H. Abdurrohim (Maospati, Magetan, Jawa Timur)

________________________________________

Keterangan:

1) Pengurus adalah orang yang bertanggung jawab atas grup ini secara umum.

2) Tim ahli adalah orang yang bertugas atas berjalannya grup ini.

3) Bagi para anggota grup yang memiliki pertanyaan diharuskan untuk menyetorkan soal kepada koordinator soal dengan via japri, yakni tidak diperkenankan -sharing- soal di grup secara langsung.

4) Setiap anggota grup boleh usul atau menjawab walaupun tidak berreferensi. Namun, keputusan tetap berdasarkan jawaban yang berreferensi.

5) Dilarang -posting- iklan/video/kalam-kalam hikmah/gambar yang tidak berkaitan dengan pertanyaan, sebab akan mengganggu berjalannya diskusi.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Profil Group BM Nusantara (Tanya Jawab Hukum Online)

Hukum Anak Zina Lahir 6 Bulan Setelah Akad Nikah Apakah Bernasab Pada Yang Menikai Ibunya ?

Hukum Menjima' Istri Sebelum Mandi Besar ?