Hukum Mendaki Gunung yang Beresiko Besar
HASIL KAJIAN BM NUSANTARA
(Tanya Jawab Hukum Online)
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
DESKRIPSI :
Bilal adalah santri salah satu pondok pesantren salaf di daerah Magelang. Sejak dulu ia dikenal sebagai santri yang tekun, tapi juga punya jiwa petualang. Menurutnya, berada di ketinggian membuat hati lebih mudah ingat ALLAH. Ia sering mengajak teman"nya bahkan beberapa adik kelasnya untuk ikut mendaki bersama saat libur.
Saat musim liburan, Bilal merencanakan pendakian ke Gunung Slamet. Ia mengajak tiga temannya. Semua berjalan lancar sampai malam kedua, ketika cuaca tiba" berubah drastis. Hujan lebat turun,kabut tebal menutupi jalur, dan suhu anjlok. Salah satu temannya, Iqbal, mengalami hipotermia berat. Tubuhnya menggigil hebat, dan mereka tidak bisa segera turun karna kondisi sangat berbahaya.
Selama beberapa jam mereka berjuang menyelamatkan Iqbal, sambil menunggu bantuan dari pendaki lain. ALHAMDULILLAH, nyawanya selamat. Tapi kejadian itu membuat semuanya syok. Keluarga Iqbal menyesalkan keputusan pendakian tersebut. Beberapa orang mulai menyalahkan Bilal karna di anggap terlalu memaksakan kegiatan yang beresiko besar tanpa keperluan penting.
Sejak saat itu, Bilal jarang mendaki lagi. Ia lebih sering menyendiri, merenungi apakah selama ini hobi yang ia banggakan benar-benar sejalan dengan nilai-nilai islam, atau justru menjerumuskannya dalam kelalaian.
PERTANYAAN :
Apa hukum mendaki gunung yang beresiko besar ?
JAWABAN :
Boleh asalkan ada dugaan kuat akan selamat. Dan haram jika diyakini atau disangka kuat akan beresiko buruk atau membahayakan dirinya.
REFERENSI :
المجموع شرح المهذب - ط المنيرية، الجزء ٧ الصحفة ٨٥ — النووي (ت ٦٧٦)
(فرع)
إذا كان البحر مفرقا أَوْ كَانَ قَدْ اغْتَلَمَ وَمَاجَ حَرُمَ رُكُوبُهُ لِكُلِّ سَفَرٍ لِقَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى (وَلا تُلْقُوا بايديكم إلى التهلكة) ولقوله تعالي (ولا تقتلوا أنفسكم) هَكَذَا صَرَّحَ بِهِ إمَامُ الْحَرَمَيْنِ وَالْأَصْحَابُ
Artinya : (Cabang pembahasan) Apabila laut sedang bergelombang besar atau sedang bergelora dan ombaknya tinggi, maka haram hukumnya berlayar di laut tersebut untuk tujuan perjalanan apa pun. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta‘ala: “Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan.” (QS. Al-Baqarah: 195) dan firman-Nya pula: “Dan janganlah kamu membunuh dirimu sendiri.” (QS. An-Nisā’: 29)
Demikianlah telah ditegaskan oleh Imam Haromain dan ulama-ulama madhzab Syafii.
(فَرْعٌ)
مَذْهَبُ أَبِي حَنِيفَةَ وَمَالِكٍ وَأَحْمَدَ أَنَّهُ يَجِبُ الْحَجُّ فِي الْبَحْرِ إنْ غَلَبَتْ فِيهِ السَّلَامَةُ وَإِلَّا فَلَا وَهَذَا هُوَ الصَّحِيحُ عِنْدَنَا كَمَا سَبَقَ وَمِمَّا جَاءَ فِي هَذِهِ الْمَسْأَلَةِ مِنْ الاحاديث حديث ابن عمر وبن الْعَاصِ إنَّ النَّبِيَّ ﷺ قَالَ (لا يركبن أحد بَحْرًا إلَّا غَازِيًا أَوْ مُعْتَمِرًا أَوْ حَاجًّا وَإِنَّ تَحْتَ الْبَحْرِ نَارًا وَتَحْتَ النَّارِ بَحْرًا) رَوَاهُ أَبُو دَاوُد وَالْبَيْهَقِيُّ وَآخَرُونَ قَالَ الْبَيْهَقِيُّ وَغَيْرُهُ قَالَ البخاري هذا الحديث ليس بصحيح رواه البيهقى من طرق عن ابن عمرو وموقوفا وَاَللَّهُ أَعْلَمُ
(Cabang pembahasan)
Adapun Mazhab Abu Hanifah, Malik, dan Ahmad berpendapat bahwa ibadah haji melalui jalur laut hukumnya wajib apabila keselamatan lebih dominan (di duga kuat aman). Namun, jika dikhawatirkan bahaya lebih besar, maka tidak wajib. Inilah pendapat yang shohih menurut kami (ulama madzhab Syafii), sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya.
Dan di antara hadis yang berkaitan dengan masalah ini adalah hadis dari Ibnu Umar dan Ibnu al-‘Ash, bahwa Nabi ﷺ bersabda: “Janganlah seseorang menaiki lautan kecuali untuk berjihad di jalan Allah, atau untuk umrah, atau untuk haji. Dan sesungguhnya di bawah laut itu ada api, dan di bawah api itu ada laut.”
Hadis ini diriwayatkan oleh Abu Dawud, al-Baihaqi, dan yang lainnya. Al-Baihaqi dan selainnya berkata: Al-Bukhari mengatakan bahwa hadis ini tidak sahih. Al-Baihaqi meriwayatkannya melalui beberapa jalur dari Ibnu ‘Amr dalam bentuk mauquf (terhenti pada sahabat). Dan Allah-lah Yang Maha Mengetahui.
نهاية المطلب في دراية المذهب، الجزء ٤ الصحفة ١٥٣ — الجويني، أبو المعالي (ت ٤٧٨)
وإن لم نوجب ركوبَ البحر، ولم يكن البحر معروفًا بالإهلاك، فلا يُنكر الأمر بركوبه استحبابًا، ولا نرى الأمر ينتهي إلى دفع ذلك
ولو كان مُخْطِرًا (١)، فإن غلب [على] (٢) الظن الهلاكُ، حرم الركوب، وفاقًا، وتأسيًا بقوله تعالى: ﴿وَلَا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ﴾ [البقرة: ١٩٥]٠
وإن استوى الأمران، ولم يقض العقل بتغليب الهلاك، أو السلامة، فقد كان شيخي يقطع بتحريم الركوب أيضًا. وفيه نظر. وللأصحاب مرامز إلى نفي التحريم في مثل ذلك. أما الكراهيةُ فكائنةٌ، لا شك فيها٠
Artinya : Dan apabila kami tidak mewajibkan berlayar mengarungi lautan, dan jalur laut tersebut tidak dikenal sebagai laut yang mematikan (berbahaya), maka tidak boleh mengingkari orang yang mengarunginya dengan tujuan yang dianjurkan (mustahabb). Dan kami juga tidak memandang perlu melarang atau mencegah hal itu.
Namun, jika laut tersebut berisiko membahayakan, maka di perinci :
-Jika ada dugaan kuat bahwa jalur tersebut mematikan/membahayakan, maka haram hukumnya berlayar melaluinya. Dan hal ini telah disepakati (oleh para ulama), berdasarkan keteladanan dari firman Allah Ta‘ala:“Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan.”
(QS. Al-Baqarah: 195)
-Dan apabila kedua keadaan (antara keselamatan dan kebinasaan) itu sama kuatnya, dan akal tidak dapat memastikan mana yang lebih dominan, apakah kemungkinan binasa atau selamat, maka guru saya berpendapat tegas bahwa berlayar tetap haram. Namun, pendapat ini masih perlu ditinjau kembali. Sebagian ulama dari kalangan mazhab Syafii memberikan isyarat bahwa dalam keadaan seperti itu tidak sampai pada derajat haram. Adapun hukum makruh, maka itu pasti dan tidak diragukan lagi.
حاشية الجمل على شرح المنهج = فتوحات الوهاب بتوضيح شرح منهج الطلاب، الجزء ٥ الصحفة ٢٨٠
وَمِنْهُ مَا جَرَتْ بِهِ الْعَادَةُ فِي زَمَنِنَا مِنْ الرَّمْيِ بِالْجَرِيدِ لِلْخَيَّالَةِ فَيَحْرُمُ نَعَمْ لَوْ كَانَ عِنْدَهُمَا حِذْقٌ بِحَيْثُ يَغْلِبُ عَلَى ظَنِّهِمَا سَلَامَتُهُمَا مِنْهُ لَمْ يَحْرُمْ حَيْثُ لَا مَالَ وَيَحِلُّ اصْطِيَادُ الْحَيَّةِ لِحَاذِقٍ فِي صَنْعَتِهِ غَلَبَ عَلَى ظَنِّهِ سَلَامَتُهُ مِنْهَا وَقَصَدَ تَرْغِيبَ النَّاسِ فِي اعْتِمَادِ مَعْرِفَتِهِ كَمَا يُؤْخَذُ مِمَّا ذَكَرَهُ الْمُصَنِّفُ فِي فَتَاوِيه فِي الْبَيْعِ وَيُؤْخَذُ مِنْ كَلَامِهِ أَيْضًا، حِلُّ أَنْوَاعِ اللَّعِبِ الْخَطِرَةِ مِنْ الْحَاذِقِ بِهَا حَيْثُ غَلَبَ عَلَى الظَّنِّ سَلَامَتُهُ، وَمِنْهُ الْمُسَمَّى بِالْبَهْلَوَانِ وَمَعَ كَوْنِهِ حَلَالًا إذَا مَاتَ فَاعِلُهُ يَكُونُ عَاصِيًا إذْ الشَّرْطُ سَلَامَةُ الْعَاقِبَةِ وَلَا عِبْرَةَ بِظَنٍّ يَتَبَيَّنُ خَطَؤُهُ
Artinya : Termasuk dalam hal ini adalah kebiasaan yang terjadi di zaman kita, yaitu permainan salung melempar dengan pelepah korma (atau tombak) oleh para penunggang kuda (untuk hiburan atau latihan), maka hukumnya juga haram.
Namun, jika keduanya (pelaku) memiliki skil dan keterampilan tinggi, sehingga dominan dalam perkiraan mereka bahwa mereka akan selamat dari bahaya dalam permainan tersebut, maka hukumnya tidak haram, selama tidak ada judi atau taruhan harta.
Dan diperbolehkan juga menangkap ular bagi orang yang ahli dalam bidang itu, dan ia memiliki dugaan kuat akan keselamatannya, serta berniat mendorong orang-orang untuk mempercayai keahliannya, sebagaimana diambil dari apa yang disebutkan oleh sang pengarang (Syekh Zakaria Al Anshory) dalam fatwa-fatwanya dalam bab jual beli.
Juga dapat dipahami dari ucapannya, bahwa diperbolehkan mengerjakan berbagai macam jenis permainan berbahaya bagi orang yang mahir melakukannya, jika ada dugaan kuat bahwa ia akan selamat. Termasuk di antaranya permainan yang disebut dengan bahalawan (aksi akrobat atau pertunjukan bahaya).
Meskipun hukumnya halal, jika pelakunya meninggal dunia saat melakukannya, maka ia dianggap berdosa, karena syarat kebolehan adalah keselamatan dari akibatnya, dan tidak dianggap dugaan keselamatan jika ternyata terbukti salah.
والله أعلم بالصواب
والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته
PENANYA :
Nama : Zaki
Alamat : Tegalrejo, Magelang, Jawa Tengah
__________________________________
MUSYAWWIRIN
Anggota Grup BM Nusantara (Tanya Jawab Hukum Online)
PENASIHAT
Habib Ahmad Zaki Al-Hamid (Kota Sumenep, Madura)
PENGURUS
Ketua: Ustadz Zainullah Al-Faqih (Umbul Sari, Jember, Jawa Timur)
Wakil: Ustadz Taufik Hidayat (Pegantenan, Pamekasan, Madura)
Sekretaris: Ustadz Moh. Kholil Abdul Karim (Karas, Magetan, Jawa Timur)
Bendahara: Ustadz Supandi (Pegantenan, Pamekasan, Madura)
TIM AHLI
Kordinator Soal: Ustadz Qomaruddin (Umbul Sari, Jember, Jawa Timur), Ustadz Faisol Umar Rozi (Proppo, Pamekasan, Madura)
Deskripsi Masalah: Ustadz Faisol Umar Rozi (Proppo, Pamekasan, Madura)
Moderator: Ustadz Hosiyanto Ilyas (Jrengik, Sampang, Madura)
Perumus: Ustadz Ahmad Marzuki (Cikole, Sukabumi, Jawa Barat)
Muharrir: Kyai Mahmulul Huda (Bangsal Sari, Jember, Jawa Timur), K.H. Abdurrohim (Maospati, Magetan, Jawa Timur)
Editor: Ustadz Taufik Hidayat (Pegantenan, Pamekasan, Madura)
Terjemah Ibarot : Ustadz Rahmatullah Metuwah (Babul Rahmah, Aceh Tenggara, Aceh), Ustadz Masruri Ainul Khayat (Kalimantan Barat), Ustadz Ahmad Marzuki (Cikole, Sukabumi, Jawa Barat), Kyai Muntahal 'Ala Hasbullah (Giligenting, Sumenep, Madura), Gus Robbit Subhan (Balung, Jember, Jawa Timur), Ustadz Ahmad Alfadani (Balongbendo, Sidoarjo, Jawa Timur), Ustadz Abdurrozaq (Wonokerto, Pekalongan, Jawa Tengah), Ustadzah Lusy Windari (Jatilawang, Banyumas, Jawa Tengah)
Mushohhih terjemahan : K.H. Abdurrohim (Maospati, Magetan, Jawa Timur)
________________________________________
Keterangan:
1) Pengurus adalah orang yang bertanggung jawab atas grup ini secara umum.
2) Tim ahli adalah orang yang bertugas atas berjalannya grup ini.
3) Bagi para anggota grup yang memiliki pertanyaan diharuskan untuk menyetorkan soal kepada koordinator soal dengan via japri, yakni tidak diperkenankan -sharing- soal di grup secara langsung.
4) Setiap anggota grup boleh usul atau menjawab walaupun tidak berreferensi. Namun, keputusan tetap berdasarkan jawaban yang berreferensi.
5) Dilarang -posting- iklan/video/kalam-kalam hikmah/gambar yang tidak berkaitan dengan pertanyaan, sebab akan mengganggu berjalannya diskusi.
Komentar
Posting Komentar