Hukum Pemberi Hutang Mengelola dan Menanami Lahan Pemilik Hutang

HASIL KAJIAN BM NUSANTARA
(Tanya Jawab Hukum Online)

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته

DESKRIPSI

Sebuah peristiwa dimana Badriah mempunyai hutang kepada Badrun berupa uang senilai 5 juta, setelah jatuh tempo Badriah tidak mampu untuk membayar hutang tersebut, berhubung Badriah memiliki lahan di sebelah rumah Badrun yang merupakan komoditas satu satunya yang ia milik, akhirnya Badrun mengelola dan menanami lahan tersebut tanpa seizin Badriah.

PERTANYAAN :

Bagaimana hukum Badrun (si pemberi hutang) mengelola dan menanami lahan Badriah (pemilik hutang) tanpa izin ?

JAWABAN :

Tidak boleh (haram). 
Jika si peminjam (pemilik hutang) sudah terlanjur menanami lahan tersebut dengan tanaman, maka wajib bagi pemilik hutang ;
1) mencabutnya jika pemilik tanah memintanya serta mengganti (memberi kompensasi) apabila tanah tersebut mengalami penurunan harga karena rusak disebabkan disebabkan dicabutnya tanaman tersebut. 
2) atau wajib membayar upah (sewa) standar atas pemanfaatan lahan tersebut.

REFERENSI :

البيان في مذهب الإمام الشافعي، الجزء ٧ الصحفة ٥٠  — العمراني (ت ٥٥٨)

[مسألة: يلزم الغاصب تفريغ ملك غيره]
وإن غصب أرضًا، فغرس فيها، أو بنى، فدعا مالك الأرض إلى قلع الغراس أو البناء.. لزم الغاصب قلعه؛ لما روي: «أن رجلًا غصب أرضًا، فغرس فيها نخيلًا، فرفع ذلك إلى رسول الله ﷺ، فأمر النبي ﷺ بقلع النخيل) . قال الراوي: (فلقد رأيتها والفؤوس تعمل في أصولها، وإنها لنخيل عم»، يعني: طوالًا، ولهذا يقال للمرأة الطويلة: عميمة. وروى سعيد بن زيد: أن النبي ﷺ قال: «ليس لعرق ظالم حق»، بكسر العين، وسكون الراء. قال الشافعي : (وكل ما وضع في الأرض للتأبيد.. فإنه يسمى: عرقا. والعروق أربعة: عرقان ظاهران، وهما: الغراس والبناء، وعرقان باطنان، وهما: (البئر والنهر) . ولأنه شغل ملك غيره بغير إذنه، فلزمه تفريغها، كما لو جعل فيها قماشًا

Artinya : [Masalah : Wajib atas (Ghosib) perampas untuk mengosongkan hak milik orang lain yang di rampas]

Jika seseorang merampas sebidang tanah, lalu menanam pohon di atasnya atau membangun bangunan di atasnya, kemudian pemilik tanah meminta agar tanaman atau bangunan tersebut dicabut, maka perampas wajib mencabutnya. Hal ini berdasarkan riwayat bahwa: "Seorang laki-laki pernah merampas sebidang tanah lalu menanam pohon kurma di atasnya. Maka perkara itu diajukan kepada Baginda Rasulullah ﷺ, dan beliau memerintahkan agar pohon-pohon kurma tersebut dicabut."

Perawi hadis berkata: "Sungguh aku melihat pohon-pohon kurma itu sedang ditebang dari akarnya dengan kapak, padahal itu adalah pohon kurma yang tinggi besar." (Oleh karena itu, wanita yang tinggi di sebut dengan sebutan ‘amīmah, berasal dari kata 'um yang berarti tinggi).
Juga diriwayatkan oleh Sa'id bin Zaid, bahwa Nabi ﷺ bersabda: "Tidak ada hak bagi benih (akar) orang zalim." (dibaca: 'irq dengan kasrah pada huruf ‘ain dan sukun pada huruf ra). Imam al-Syafi’i berkata: "Segala sesuatu yang diletakkan di atas tanah untuk tujuan permanen, maka itu disebut: ‘irq (akar). Dan 'akar' itu terbagi menjadi empat : dua yang tampak, yaitu: pohon dan bangunan; dan dua yang tersembunyi, yaitu: sumur dan sungai." Hal itu karena perampas telah menyibukkan (menggunakan) milik orang lain tanpa izin, maka wajib baginya untuk mengosongkannya, sebagaimana jika seseorang meletakkan barang (misalnya kain) miliknya di tanah milik orang lain tanpa izin, ia pun wajib mengosongkannya.


المجموع شرح المهذب - تكملة المطيعي الأولى، الجزء ١٤ الصحفة ٢٥٦ — محمد نجيب المطيعي (ت ١٤٠٧)

قال المصنف رحمه الله تعالى؛
(فصل)
وإن غصب أرضا فغرس فيها غراسا أو بنى فيها بناء، فدعا صاحب الارض إلى قلع الغراس ونقض البناء لزمه ذلك
لما روى سعيد بْنُ زَيْدٍ أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ قَالَ «ليس لعرق ظالم حق» فإن قلعه فقد قال في الغصب يلزمه أرش ما نقص من الارض. وقال في البيع: إذا قلع الاحجار المستودعة فعليه تسوية الارض٠

 فمن أصحابنا من جعلهما على قولين ؛
٠(أحدهما) يلزمه أرش النقص لانه نقص بفعل مضمون، فلزمه أرشه. (والثانى) يلزمه تسوية الارض لان جبران النقص بالمثل أولى من جبرانه بالقيمة٠

Artinya : Al-Mushonnif (Pengarang Kitab ini) Semoga Allah swt merahmatinya berkata ;

(Pasal) 
Jika ada seseorang merampas sebidang tanah lalu menanam tanaman di atasnya atau membangun bangunan di atasnya, kemudian pemilik tanah yang sah meminta agar tanaman itu dicabut dan bangunan itu dibongkar, maka permintaan tersebut wajib dipenuhi. Hal ini berdasarkan riwayat dari Sa'id bin Zaid bahwa Nabi ﷺ bersabda : " Tidak ada hak bagi akar yang ditanam secara zalim terhadap tanah orang lain ".

Jika tanaman atau bangunan itu dicabut, maka  Imam Syafii berkata dalam baba ghasob (perampasan), pelaku wajib membayar ganti rugi atas kekurangan nilai tanah. Sedangkan dalam bab jual beli, beliau berkata : jika batu-batu yang ditanam dicabut, maka pelaku wajib meratakan kembali tanah tersebut. Kemudian sebagian ulama fiqih dari mazhab Syafii telah menjadikan dua pendapat beliau di atas sebagai dua pendapat yang berbeda :

Pendapat pertama: Wajib membayar ganti rugi atas kekurangan nilai tanah, karena kerusakan tersebut terjadi akibat perbuatan yang wajib ditanggung, maka wajib membayar ganti ruginya.

Pendapat kedua: Wajib meratakan kembali tanah, karena mengganti kerusakan dengan bentuk yang sepadan (yakni perataan) itu lebih utama daripada menggantinya dengan nilai (uang).

ومنهم من قال: يلزمه في الغصب أرش ما نقص. وفى البيع يلزمه تسوية الارض، لان الغاصب متعد فغلظ عليه بالارش لانه أوفى، والبائع غير متعد فلم يلزمه أكثر من التسوية٠
وان كان الغراس لصاحب الارض فطالبه بالقلع : فإن كان له غرض في قلعه أخذ يقلعه، لانه قد فوت عليه بالغراس غرضا مقصودا في الارض . فأوخذ بإعادتها إلى ما كانت٠
وان لم يكن له غرض ففيه وجهان (أحدهما) لا يؤخذ بقلعه، لان قلعه من غير غرض سفه وعبث . (والثانى) يؤخذ به، لان المالك محكم في ملكه، والغاصب غير محكم ، فوجب أن يؤخذ به٠

Kemudian Sebagian dari mereka berpendapat : Dalam kasus perampasan (ghasb), pelaku wajib membayar ganti rugi atas kekurangan nilai tanah. Sedangkan dalam kasus jual beli, pelaku cukup di wajibkan meratakan kembali tanah. 
Perbedaan ini dikarenakan perampas adalah orang yang melanggar (berbuat aniaya), maka diberi beban lebih berat berupa kewajiban membayar ganti rugi karena itu lebih sempurna (dalam mengembalikan hak).

Sementara penjual bukan orang yang melanggar, maka tidak dibebani selain dari kewajiban meratakan tanah saja. 
Namun jika tanaman yang ditanam adalah milik pemilik tanah, lalu ia meminta agar tanaman tersebut dicabut, maka jika ia memiliki kepentingan dalam pencabutan itu, maka ia berhak untuk mencabutnya. Sebab, tindakan penanaman telah menghilangkan tujuan utama pemilik terhadap tanah tersebut, sehingga pelaku harus mengembalikan tanah seperti semula.

Namun, jika pemilik tanah tidak memiliki tujuan tertentu dalam pencabutan pohon teesebut, maka ada dua pendapat :
Pendapat pertama: Tidak boleh meminta pencabutan, karena mencabut tanaman tanpa tujuan yang jelas dianggap perbuatan sia-sia dan bodoh. Pendapat kedua: Boleh memintanya, karena pemilik adalah pihak yang memiliki hak penuh atas kepemilikannya (al-mālik muḥakkam fī milkih), sedangkan perampas tidak memiliki hak itu, maka seharusnya perampas wajib memenuhi permintaan tersebut.


الموسوعة الفقهية الكويتية، الجزء ٣١ الصحفة ٢٤١

وَمَنْ غَصَبَ سَارِيَةً أَوْ خَشَبَةً فَبَنَى عَلَيْهَا، فَلِصَاحِبِهَا أَخْذُهَا وَإِنْ هَدَمَ الْبُنْيَانَ
أَمَّا فِي حَالَةِ الْغَرْسِ: فَمَنْ غَصَبَ أَرْضًا، فَغَرَسَ فِيهَا أَشْجَارًا، فَلاَ يُؤْمَرُ بِقَلْعِهَا، وَلِلْمَغْصُوبِ مِنْهُ أَنْ يُعْطِيَهُ قِيمَتَهَا بَعْدَ طَرْحِ أُجْرَةِ الْقَلْعِ كَالْبُنْيَانِ 
فَإِنْ غَصَبَ أَشْجَارًا، فَغَرَسَهَا فِي أَرْضِهِ، أُمِرَ بِقَلْعِهَا
وَأَمَّا فِي حَالَةِ الزَّرْعِ: فَمَنْ زَرَعَ فِي الأَْرْضِ الْمَغْصُوبَةِ زَرْعًا، فَإِنْ أَخَذَهَا صَاحِبُهَا فِي إِبَّانِ الزِّرَاعَةِ، فَهُوَ مُخَيَّرٌ بَيْنَ أَنْ يُقْلِعَ الزَّرْعَ، أَوْ يَتْرُكَهُ لِلزَّارِعِ وَيَأْخُذَ الْكِرَاءَ 
وَإِنْ أَخَذَهَا بَعْدَ إِبَّانِ الزِّرَاعَةِ فَلِلْمَالِكِيَّةِ رَأْيَانِ: رَأْيٌ أَنَّ الْمَالِكَ يُخَيَّرُ كَمَا ذُكِرَ، وَرَأْيٌ لَيْسَ لَهُ قَلْعُهُ وَلَهُ الْكِرَاءُ، وَالزَّرْعُ لِزَارِعِهِ 
وَقَرَّرَ الشَّافِعِيَّةُ: أَنَّ الْغَاصِبَ يُكَلَّفُ بِهَدْمِ الْبِنَاءِ وَقَلْعِ الْغِرَاسِ عَلَى الأَْرْضِ الْمَغْصُوبَةِ، وَعَلَيْهِ أَرْشُ النَّقْصِ إِنْ حَدَثَ

Artinya : Masalah: Hukum Perampasan Tiang, Kayu, Tanaman, dan Tanaman Sementara di Tanah Orang Lain. 

Barangsiapa yang merampas tiang atau balok kayu, lalu membangun di atasnya, maka pemilik aslinya berhak mengambil kembali barang miliknya, sekalipun itu menyebabkan bangunan tersebut menjadi roboh.

Adapum dalam kasus pohon, maka barangsiapa merampas sebidang tanah, lalu menanam pepohonan di atasnya, maka ia tidak diperintahkan untuk mencabut pohon-pohon tersebut. Namun, pemilik tanah boleh membeli/membayar nilai pohon tersebut setelah dikurangi biaya pencabutannya, sebagaimana halnya dalam kasus bangunan. Tetapi jika ia merampas pohon, lalu menanam pohon itu di tanah miliknya sendiri, maka ia diperintahkan untuk mencabut pohon tersebut.

Dan dalam kasus tanaman yang sufatnya sementara (seperti gandum, padi, dsb - zira’ah): maka barangsiapa menanam tanaman yang umurnya tidak lama di tanah rampasan, lalu pemilik tanah mengambil kembali tanahnya saat masa pertumbuhan tanaman masih berlangsung, maka pemilik tanah diberi pilihan: antara mencabut tanaman tersebut, atau membiarkannya tetap tumbuh dan mengambil upah sewa tanah miliknya (selama masa umur tanaman tersebut).

Namun jika pemilik tanah mengambil alih setelah masa pertumbuhan tanaman berlalu, maka dalam mazhab Mālikiyyah ada dua pendapat: 
1) Pemilik tanah tetap diberi pilihan sebagaimana di atas.
2) Pemilik tanah tidak boleh mencabut tanaman, namun berhak atas sewa tanah, sedangkan tanaman tetap menjadi milik penanamnya.

Mazhab Syafi‘i menetapkan: Perampas (ghāṣib) wajib menghancurkan bangunan dan mencabut pohon yang ia tanam di atas tanah rampasan, dan jika terjadi kerusakan pada tanah karena itu, maka ia wajib membayar ganti rugi atas kerusakan tersebut.


الموسوعة الفقهية الكويتية، الجزء ٣١ الصحفة ٢٤٠

وَأَمَّا مَسْأَلَةُ السَّاجَةِ فَهِيَ : لَوْ غَصَبَ غَاصِبٌ أَرْضًا فَغَرَسَ فِيهَا أَوْ بَنَى فِيهَا - وَكَانَتْ قِيمَةُ الأَْرْضِ (السَّاجَةِ) أَكْثَرَ - أُجْبِرَ الْغَاصِبُ عَلَى قَلْعِ الْغَرْسِ وَهَدْمِ الْبِنَاءِ وَرَدِّ الأَْرْضِ فَارِغَةً إِلَى صَاحِبِهَا كَمَا كَانَتْ ، لأَِنَّ الأَْرْضَ لاَ تُغْصَبُ حَقِيقَةً عِنْدَهُمْ ، فَيَبْقَى فِيهَا حَقُّ الْمَالِكِ كَمَا كَانَ . وَالْغَاصِبُ جَعَلَهَا مَشْغُولَةً . فَيُؤْمَرُ بِتَفْرِيغِهَا ، إِذْ لَيْسَ لِعِرْقِ ظَالِمٍ حَقٌّ كَمَا تَقَدَّمَ . فَإِنْ كَانَتْ قِيمَةُ الْبِنَاءِ أَكْثَرَ فَلِلْغَاصِبِ أَنْ يَضْمَنَ لِلْمَالِكِ قِيمَةَ الأَْرْضِ وَيَأْخُذَهَا. وَإِذَا كَانَتِ الأَْرْضُ تَنْقُصُ بِقَلْعِ الْغَرْسِ مِنْهَا أَوْ هَدْمِ الْبِنَاءِ فَلِلْمَالِكِ أَنْ يُضَمِّنَ لِلْغَاصِبِ قِيمَةَ الْبِنَاءِ وَالْغَرْسِ مَقْلُوعًا

Artinya : Adapun mengenai permasalahan 'as-sājah' (yakni : tanah yang memiliki nilai tinggi), maka gambarannya adalah :
"Jika seorang perampas merampas sebidang tanah, lalu ia menanam pohon di atasnya atau membangun bangunan di atasnya, dan nilai tanah (as-sājah) tersebut lebih tinggi dari nilai pohon atau bangunan, maka perampas tersebut dipaksa untuk mencabut tanamannya dan merobohkan bangunannya,  serta mengembalikan tanah tersebut dalam keadaan kosong kepada pemiliknya seperti semula."

Hal ini karena menurut mereka, sebidang tanah itu pada hakikatnya tidak bisa dirampas secara sempurna, sehingga hak kepemilikan pemilik tetap melekat padanya sebagaimana sebelumnya. Adapun perampas telah menjadikan tanah tersebut dalam keadaan terisi (oleh pohon atau bangunan), maka ia diperintahkan untuk mengosongkannya kembali. Sebagaimana disebutkan sebelumnya : " Tidak ada hak bagi orang yang menanam dengan cara zalim ". Namun, jika nilai bangunan lebih tinggi daripada nilai tanah, maka perampas (ghāṣib) memiliki hak untuk memberikan ganti rugi kepada pemilik tanah sesuai dengan nilai tanah, dan ia (perampas) dapat mengambil alih tanah tersebut. Dan jika tanah akan rusak atau mengalami penurunan nilai akibat pencabutan pohon atau pembongkaran bangunan, maka pemilik tanah boleh mengganti kerugian kepada perampas senilai bangunan dan pohon dalam keadaan telah dicabut.


إسعاد الرقيق وبغية الصديق، الجزء ٢ الصحفة ١٧٦

والغصب وهو الاستيلاء على حق الغير ظلما وقد غلظ الشرع في حكم رده في الدنيا قال في الزواجر وهو من الكبائر لقوله من ظلم قيد شبر من أرض أي قدره طوقه من سبع أرضين والأصح أن المراد أن الأرض تخسف به فتكون البقعة في عنقه كالطوق كما صرح به في حديث آخر ولقوله (98/2) لا يحل لأحد أن يأخذ عصا أخيه بغير طيب نفس منه وقد تقدم بسط الكلام

Artinya : Bab Al-ghaṣb (Perampasan secara paksa).
Ghosb adalah menguasai hak orang lain dengan cara zalim (melanggar syariat agama). Syariat telah membuat aturan yang berat terkait kewajiban mengembalikan barang yang di ghosob kepada pemiliknya di dunia. Dalam kitab Az-Zawājir disebutkan bahwa perbuatan ini termasuk dosa besar, berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam: ‘Barang siapa yang mengambil sejengkal tanah milik orang lain secara dzalim, maka akan di kalungkan pada lehernya tujuh lapis bumi pada hari kiamat nanti.’ Pendapat yang lebih kuat menyatakan bahwa maksudnya adalah dia akan di telan oleh bumi, sehingga tanah tersebut melingkar di lehernya seperti kalung, sebagaimana dijelaskan dalam hadis lain.

Dan juga berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam: ‘Tidak halal bagi seseorang mengambil tongkat saudaranya tanpa kerelaan darinya.’ Penjelasan lebih rinci mengenai hal ini telah disampaikan sebelumnya.


والله أعلم بالصواب

والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته

PENANYA :

Nama : Taufik Hidayat
Alamat : Pegantenan, Pamekasan, Madura
__________________________________

MUSYAWWIRIN

Anggota Grup BM Nusantara (Tanya Jawab Hukum Online)

PENASIHAT

Habib Ahmad Zaki Al-Hamid (Kota Sumenep, Madura)

PENGURUS

Ketua: Ustadz Zainullah Al-Faqih (Umbul Sari, Jember, Jawa Timur)
Wakil: Ustadz Taufik Hidayat (Pegantenan, Pamekasan, Madura)
Sekretaris: Ustadz Moh. Kholil Abdul Karim (Karas, Magetan, Jawa Timur)
Bendahara: Ustadz Supandi (Pegantenan, Pamekasan, Madura)

TIM AHLI

Kordinator Soal: Ustadz Qomaruddin (Umbul Sari, Jember, Jawa Timur), Ustadz Faisol Umar Rozi (Proppo, Pamekasan, Madura) 
Deskripsi Masalah: Ustadz Faisol Umar Rozi (Proppo, Pamekasan, Madura)
Moderator: Ustadz Hosiyanto Ilyas (Jrengik, Sampang, Madura)
Perumus: Ustadz Ahmad Alfadani (Balongbendo, Sidoarjo, Jawa Timur)
Muharrir: Kyai Mahmulul Huda (Bangsal Sari, Jember, Jawa Timur), K.H. Abdurrohim (Maospati, Magetan, Jawa Timur)
Editor: Ustadz Taufik Hidayat (Pegantenan, Pamekasan, Madura)
Terjemah Ibarot : Ustadz Taufik Hidayat (Pegantenan, Pamekasan, Madura)
Mushohhih terjemahan : K.H. Abdurrohim (Maospati, Magetan, Jawa Timur)

________________________________________

Keterangan:

1) Pengurus adalah orang yang bertanggung jawab atas grup ini secara umum.

2) Tim ahli adalah orang yang bertugas atas berjalannya grup ini.

3) Bagi para anggota grup yang memiliki pertanyaan diharuskan untuk menyetorkan soal kepada koordinator soal dengan via japri, yakni tidak diperkenankan -sharing- soal di grup secara langsung.

4) Setiap anggota grup boleh usul atau menjawab walaupun tidak berreferensi. Namun, keputusan tetap berdasarkan jawaban yang berreferensi.

5) Dilarang -posting- iklan/video/kalam-kalam hikmah/gambar yang tidak berkaitan dengan pertanyaan, sebab akan mengganggu berjalannya diskusi.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Profil Group BM Nusantara (Tanya Jawab Hukum Online)

Hukum Penyembelihan Hewan Dengan Metode Stunning Terlebih Dahulu Halalkah ?

Hukum Menjilat Farji Istri atau Memasukkan Dzakar ke Dalam Mulut Istri