Hukum Bermiqot Umroh dari Kota Jeddah ?
HASIL KAJIAN BM NUSANTARA
(Tanya Jawab Hukum Online)
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
DESKRIPSI
Badrun (nama samaran) yang merupakan jama'ah Umroh dari Indonesia. Dia baru pertama kalinya pergi Umroh beserta keluarganya dan beberapa orang yang merupakan rombongan jamaah dipimpin Qomar sebagai Tour Leader (TL). Qomar menyuruh Badrun dan semua rombongan jamaah untuk ambil miqot di kota Jeddah, karena kalau miqot di Yalamlam agak kesulitan karena dilakukan di atas pesawat.
PERTANYAAN :
Bolehkan Badrun bermiqot Umroh dari kota Jeddah karena disuruh oleh Qomar sebagai Tour Leader ?
JAWABAN :
Tidak boleh, karena dia telah melewati miqot, sedangakan jarak kota jeddah (al balad) ke Mekkah tu lebih dekat daripada jarak yalamlam ke Mekkah. Jika sudah terlanjur, maka dia wajib bayar dam isa'ah. Yaitu berupa seekor kambing yang cukup untuk qurban.
Catatan :
Adapun pendapat Syekh Ibnu Hajar yang membolehkan ihrom dari kota Jeddah itu di tempatkan pada kondisi jika jarak antara Jeddah - Mekkah itu sama dengan jarak Yalamlam - Mekkah. Adapun jika ternyata lebih dekat, maka wajib bayar dam.
REFERENSI :
غاية المنى شرح سفينة النجا، الصحفة ٦٤٧ - ٦٤٨
ذكر ابن حجر أن المسافة بين الجدة إلى مكة كالمسافة بين يلملم إلى مكة ، وأن يلملم جبل طرفه إلى مكة أقرب من جدة إلى مكة ، وعليه فيجوز لأهل اليمن الذين يأتون من البحر -ومثله الذين يأتون من طريق الجو في الوقت الحاضر- أن يؤخروا إحرامهم إلى جدة بهذا الاعتبار، وبذلك أفتى الشيخ محمد صالح الريس ومفتي الشافعية بمكة العلامة محمد بن حسين الحبشي
Artinya : Syekh Ibnu Hajar menyebutkan bahwa jarak antara Jeddah ke Makkah sama seperti jarak antara Yalamlam ke Makkah. Yalamlam adalah sebuah gunung yang ujungnya lebih dekat ke Makkah dibandingkan jarak dari Jeddah ke Makkah. Berdasarkan pendapat ini, maka diperbolehkan bagi para jamaah dari Yaman yang datang melalui jalur laut — dan demikian pula bagi mereka yang datang melalui jalur udara pada masa sekarang — untuk menunda ihram mereka hingga sampai di Jeddah, dengan pertimbangan ini. Pendapat ini juga difatwakan oleh Syaikh Muhammad Shalih Ar-Rais dan mufti mazhab Syafi'i di Makkah, Al-'Allamah Muhammad bin Husain Al-Habsyi.
حاشية الترمسي، الجزء ٦ الصحفة ١٢٤ - ١٢٥
قوله : (إن أحرم بعد المجاوزة) أي : لذلك الميقات ، كأن أحرم الجائي من اليمن في البحر من جدة ففي الونائي : ( ليس له أن يؤخره إلى جدة لأنها أقرب من يلملم بنحو الربع ). وقولهم : ( إن الجدة ويلملم مرحلتان ) مرادهم : أن كلا لا ينقص عن مرحلتين وإن تفاوتت المسافتان ، كما حققه من سلك الطريقين وهم عدد كادوا أن يتواتروا ، فما في التحفة من جواز التأخير إلى جدة فهو لعدم معرفته المسافة ، فلا يغتر به كما نبه عليه تلميذه عبد الرؤوف بن يحيى الزمزمي ، ولو أخبر بحقيقة الأمر ما قال بذلك ، فليتنبه
Artinya : Perkataan Mushonnif : "Jika seseorang berihram setelah melewati miqat" — maksudnya adalah miqat negaranya. Misalnya, seseorang yang datang dari Yaman melalui laut lalu berihram dari Jeddah. Dalam kitab al-Wanā’ī disebutkan: "Tidak boleh baginya menunda ihram hingga Jeddah, karena Jeddah lebih dekat ke Makkah dibanding Yalamlam sekitar seperempat jarak.
Adapun maksud pernyataan mereka bahwa "Jarak Jeddah dan Yalamlam adalah sama-sama ada dua marhalah (81 km )" — maksudnya adalah bahwa masing-masing tempat teesebut tidak kurang dari dua marhalah, meskipun terdapat perbedaan dalam panjang jaraknya. Hal ini telah dijelaskan oleh orang-orang yang telah melalui kedua jalur tersebut, dan jumlah mereka hampir mencapai tingkat mutawatir (riwayat orang yang jumlahnya sangat banyak dan tidak mungkin diragukan).
Adapun pendapat dalam kitab Tuhfah (yakni Tuhfah al-Muhtāj) yang membolehkan menunda ihram sampai Jeddah, itu karena ketidaktahuan penulisnya terhadap jarak sebenarnya, maka jangan tertipu dengan pendapat itu, sebagaimana telah diingatkan oleh murid beliau, yaitu ‘Abdur-Ra’ūf bin Yahyā az-Zamzamī. Seandainya beliau mengetahui fakta yang sebenarnya, tentu beliau tidak akan berpendapat demikian. Maka, hendaknya hal ini diperhatikan dengan baik.
حاشية الجمل على شرح المنهج، الجزء ٢ الصحفة ٤٠٦
٠(قَوْلُهُ: أَوْ إلَى مِيقَاتِ مِثْلِهِ مَسَافَةً) قَالَ حَجّ أَيْ أَوْ إلَى مَحَلٍّ آخَرَ غَيْرِ مِيقَاتِ مِثْلِ الْمِيقَاتِ الَّذِي جَاوَزَهُ مَسَافَةً فَيَجْزِي الْعَوْدُ إلَى مِثْلِ مَسَافَةِ الْمِيقَاتِ، وَإِنْ لَمْ يَكُنْ مِيقَاتًا لَكِنْ عَبَّرَ جَمْعٌ مُتَقَدِّمُونَ بِمِثْلِ مَسَافَتِهِ مِنْ مِيقَاتٍ آخَرَ وَأَخَذَ بِمُقْتَضَاهُ غَيْرُ وَاحِدٍ وَاَلَّذِي يُتَّجَهُ هُوَ مَا تَقَدَّمَ بِدَلِيلِ تَعْبِيرِ بَعْضِ الْأَصْحَابِ بِقَوْلِهِ مِنْ مَحَلٍّ آخَرَ وَلَمْ يُعَبِّرْ بِمِيقَاتٍ اهـ. بِنَوْعِ تَصَرُّفٍ بِخِلَافِ مَا لَوْ عَادَ إلَى مِيقَاتٍ دُونَهُ مَسَافَةً فَلَا يَسْقُطُ بِهِ الدَّمُ عَنْهُ، قَالَ فِي شَرْحِ الرَّوْضِ عَلَى مَا هُوَ ظَاهِرُ كَلَامِهِمْ وَإِنْ سَقَطَ بِهِ دَمُ التَّمَتُّعِ؛ لِأَنَّهُ قَضَاءٌ لِمَا فَوَّتَهُ بِإِسَاءَتِهِ؛ لِأَنَّهُ دَمُ إسَاءَةٍ بِخِلَافِ دَمِ التَّمَتُّعِ قَالَهُ فِي شَرْحِ الرَّوْضِ أَيْضًا. اهـ
Artinya : Perkataan Mushonnif : "Atau ke tempat yang jaraknya sama dengan miqat" — dijelaskan Syekh Ibnu Hajar bahwa maksudnya adalah atau dari tempat lain yang bukan miqat, tetapi jaraknya setara dengan jarak ke miqat yang telah dilampaui. Maka, kembali ke satu tempat yang jaraknya sama dengan miqat itu sudah dianggap mencukupi, meskipun tempat itu bukanlah miqat secara resmi.
Namun, sebagian ulama terdahulu membuat ungkapan dengan lafadz "seperti jarak dari miqat lain", kemudian ada lebih dari satu ulama berikutnya yang mengikuti pendapat tersebut. Akan tetapi, pendapat yang lebih kuat adalah sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, berdasarkan penggunaan istilah oleh sebagian ulama dengan mengatakan “dari tempat lain” dan tidak menyebutnya sebagai “miqat”. (Dengan memakai bahasanya sedikit diubah).
Ini berbeda dengan kasus jika seseorang kembali ke miqat yang jaraknya kurang dari miqat yang seharusnya dia berihrom dari situ, maka dalam hal itu tidak menggugurkan kewajiban membayar dam (denda).
Dalam Syarh ar-Raudh disebutkan : Ini berdasarkan pemahaman saya dari ungkapan para ulama madzhab Syafii, sekalipun dengan kembali ke miqat yang lebih dekat itu gugur kewajiban membayar dam tamattu‘ (karena sudah kembali ke miqat sebelum ihram), namun dam (denda) akibat pelanggaran meninggalkan ihrom dari miqot semestinya tetap wajib dibayarkan, karena itu adalah dam isā’ah (denda karena melakukan pelanggaran), berbeda dengan dam tamattu‘. Demikian dijelaskan pula dalam Syarh ar-Raudh.
إعانة الطالبين على حل ألفاظ فتح المعين، الجزء ٢ الصحفة ٣٤٣
وميقات من لا ميقات له في طريقه: محاذاة الميقات الوارد إن حاذاه في بر أو بحر، وإلا فمرحلتان من مكة، فيحرم الجائي في البحر من جهة اليمين من الشعب المحرم الذي يحاذي يلملم، ولا يجوز له تأخير إحرامه إلى الوصول إلى جدة، خلافا لما أفتى به شيخنا من جواز تأخيره إليها
___________________
٠(قوله: وميقات من لا ميقات له في طريقه) أي كأهل مصر والمغرب إذا سلكوا لجة البحر
وفي البجيرمي ما نصه: لا يقال المواقيت متفرقة لجهات مكة، فكيف يتصور عدم محاذاته الميقات؟ فينبغي أن المراد عدم المحاذاة في ظنه، دون نفس الأمر، لأنا نقول يتصور بالجائي من سواكن إلى جدة، من غير أن يمر برابغ ولا بيلملم، لأنهما حينئذ أمامه، فَيَصِل جدة قبل محاذاتهما، وهي على مرحلتين من مكة، فتكون هي ميقاته
Dan miqat haji/umroh bagi orang yang sama sekali tidak memiliki miqat di jalan yang dia tempuh adalah tempat yang sejajar dengan miqat yang telah ditentukan, jika ia melewatinya baik perjalanan di darat maupun di laut. Jika jalan yang dia tempuh tidak sejajar dengan miqot yang telah ditentukan, maka (ia berihram) dari jarak dua marhalah (81 km) dari Makkah. Maka dari itu orang yang ke Mekkah melalui jalur laut dari arah Yaman, dia harus berihram dari satu tebing perbukitan yang bernama Muharrim yang sejajar dengan Yalamlam. Dan tidak diperbolehkan baginya untuk menunda ihram sampai tiba di Jeddah. Hal ini berbeda dengan pendapat yang difatwakan oleh guru kami (Syekh Ibnu Hajar) yang membolehkan menundanya sampai ke sana.
______________________
Ucapannya: “Miqat bagi orang yang tidak ada miqat sama sekali di perjalanannya”, Maksudnya adalah seperti penduduk Mesir dan Maghrib (Maroko dan sekitarnya) jika mereka menempuh perjalanan melalui laut.
Dalam kitab Al-Bujairimi disebutkan:
“Tidak boleh dikatakan: Bukankah miqat-miqat itu tersebar di berbagai arah menuju Mekah, lalu bagaimana bisa seseorang tidak melewati atau sejajar dengan miqat? Maka yang dimaksud adalah ‘tidak sejajar dengan miqot menurut sangkaan orang tersebut’, bukan dalam kenyataannya.”
Karena bisa saja terjadi pada orang yang datang dari Sawakin (Sudan) menuju Jeddah, tanpa melewati Rabigh ataupun Yalamlam, karena kedua miqat tersebut berada di depan arah perjalanannya, sehingga ia tiba di Jeddah terlebih dahulu sebelum sejajar dengan keduanya.
Dan Jeddah sendiri berjarak dua marhalah dari Mekah, maka kota Jeddah menjadi miqatnya.
تحفة المحتاج في شرح المنهاج وحواشي الشرواني والعبادي، الجزء ٤ الصحفة ٤٥ — ابن حجر الهيتمي (ت ٩٧٤)
وَخَرَجَ بِقَوْلِنَا إلَى جِهَةِ الْحَرَمِ مَا لَوْ جَاوَزَهُ يَمْنَةً أَوْ يَسْرَةً فَلَهُ أَنْ يُؤَخِّرَ إحْرَامَهُ، لَكِنْ بِشَرْطِ أَنْ يُحْرِمَ مِنْ مَحَلِّ مَسَافَتِهِ إلَى مَكَّةَ مِثْلَ مَسَافَةِ ذَلِكَ الْمِيقَاتِ كَمَا قَالَهُ الْمَاوَرْدِيُّ وَجَزَمَ بِهِ غَيْرُهُ وَبِهِ يُعْلَمُ أَنَّ الْجَائِيَ مِنْ الْيَمَنِ فِي الْبَحْرِ لَهُ أَنْ يُؤَخِّرَ إحْرَامَهُ مِنْ مُحَاذَاةِ يَلَمْلَمُ إلَى جِدَّةَ؛ لِأَنَّ مَسَافَتَهَا إلَى مَكَّةَ كَمَسَافَةِ يَلَمْلَمُ كَمَا صَرَّحُوا بِهِ بِخِلَافِ الْجَائِي فِيهِ مِنْ مِصْرَ لَيْسَ لَهُ أَنْ يُؤَخِّرَ إحْرَامَهُ عَنْ مُحَاذَاةِ الْجُحْفَةِ؛ لِأَنَّ كُلَّ مَحَلٍّ مِنْ الْبَحْرِ بَعْدَ الْجُحْفَةِ أَقْرَبُ إلَى مَكَّةَ مِنْهَا فَتَنَبَّهْ لِذَلِكَ، فَإِنَّهُ مُهِمٌّ وَبِهِ يُعْلَمُ أَيْضًا أَنَّ مِثْلَ مَسَافَةِ الْمِيقَاتِ يُجْزِئُ الْعَوْدُ إلَيْهَا، وَإِنْ لَمْ تَكُنْ مِيقَاتًا
-إلى أن قال-
Artinya : Dikeluarkan dari ucapan kami ‘ke arah Tanah Haram’ adalah jika seseorang melewati miqat ke arah kanan atau kiri nya (yaknumi bukan langsung menuju Mekah), maka ia boleh menunda ihramnya, dengan syarat ia berihram dari tempat yang jaraknya ke Mekah sejauh jarak miqat tersebut ke Mekah, sebagaimana dikatakan oleh Imam al-Māwardi dan ditegaskan pula oleh ulama lainnya.
Dengan pernyataan ini, maka diketahui bahwa orang yang datang dari Yaman melalui jalur laut boleh menunda ihramnya dari saat sejajar dengan Yalamlam hingga sampai di Jeddah, karena jarak Jeddah ke Mekah sama dengan jarak Yalamlam ke Mekah, sebagaimana telah ditegaskan oleh para ulama.
Berbeda dengan orang yang datang melalui laut dari arah Mesir, maka ia tidak boleh menunda ihramnya dari saat sejajar dengan Juhfah, karena setiap titik di laut setelah Juhfah lebih dekat ke Mekah dibanding Juhfah itu sendiri. Maka perhatikanlah hal ini, karena ini penting.
Dari sini juga dipahami bahwa kembali ke tempat yang memiliki jarak setara dengan miqat itu sudah mencukupi, meskipun tempat itu bukan miqat secara resmi.
-sampai pada ucapan-
٠(قَوْلُهُ: وَبِهِ يُعْلَمُ أَنَّ الْجَائِيَ مِنْ الْيَمَنِ فِي الْبَحْرِ لَهُ أَنْ يُؤَخِّرَ إلَخْ) وَمِمَّنْ قَالَ بِالْجَوَازِ النَّشِيلَيْ مُفْتِي مَكَّةَ وَالْفَقِيهُ أَحْمَدُ بِلْحَاجٍّ وَابْنُ زِيَادٍ الْيَمَنِيُّ وَغَيْرُهُمْ وَمِمَّنْ قَالَ بِعَدَمِ الْجَوَازِ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ بَامَخْرَمَةَ وَمُحَمَّدُ بْنُ أَبِي بَكْرٍ الْأَشْخَرُ وَتِلْمِيذُ الشَّارِحِ عَبْدُ الرَّءُوفِ قَالَ؛ لِأَنَّ جِدَّةَ أَقَلُّ مَسَافَةً بِنَحْوِ الرُّبُعِ كَمَا هُوَ مُشَاهَدٌ وَقَالَ ابْنُ عَلَّانٍ فِي شَرْحِ الْإِيضَاحِ وَلَيْسَ هَذَا مِمَّا يَرْجِعُ لِنَظَرٍ فِي الْمَدَارِكِ حَتَّى يَعْمَلَ فِيهِ بِالتَّرْجِيحِ بَلْ هُوَ أَمْرٌ مَحْسُوسٌ يُمْكِنُ التَّوَصُّلُ لِمَعْرِفَتِهِ بِذَرْعِ حَبْلٍ طَوِيلٍ إلَخْ اهـ
(Perkataannya: "Dan dengan ini diketahui bahwa orang yang datang dari Yaman melalui jalur laut boleh untuk menunda [ihram], dst.")
Dan di antara ulama yang berpendapat bolehnya (menunda ihram) adalah An-Nasyīlī, mufti Makkah, Al-Faqīh Ahmad Bilḥāj, Ibnu Ziyād Al-Yamanī, dan selain mereka. Sedangkan di antara ulama yang berpendapat tidak bolehnya (menunda ihram sampai Jeddah) adalah ‘Abdullāh bin ‘Umar Bāmakhramah, Muḥammad bin Abī Bakr Al-Asykhar, dan murid dari penulis syarah (penjelas), yaitu ‘Abdur-Ra’ūf. Ia berkata: “Karena jarak Jeddah ke Mekkaj itu lebih pendek sekitar seperempatnya (daripada jarak Yalamlam ke Mekkah), sebagaimana bisa disaksikan oleh semua orang.”
Ibnu ‘Allān berkata dalam Syarḥ Al-Īḍāḥ: “Ini bukanlah persoalan yang kembali pada pertimbangan dalil-dalil syar’i yang membutuhkan tarjih (pendalilan yang lebih kuat), tetapi ini adalah perkara yang dapat dirasakan secara nyata dan bisa diketahui melalui pengukuran dengan tali yang panjang, dst.” Selesai
كُرْدِيٌّ عَلَى بَافَضْلٍ عِبَارَةُ الْوَنَائِيِّ فَلَهُ أَنْ يُؤَخِّرَ إحْرَامَهُ مِنْ مُحَاذَاةِ يَلَمْلَمُ إلَى رَأْسِ الْمَعْرُوفِ قَبْلَ مَرْسَى جِدَّةَ، وَهُوَ حَالُ تَوَجُّهِ السَّفِينَةِ إلَى جِهَةِ الْحَرَمِ وَلَيْسَ لَهُ أَنْ يُؤَخِّرَهُ إلَى جِدَّةَ؛ لِأَنَّهَا أَقْرَبُ مِنْ يَلَمْلَمُ بِنَحْوِ الرُّبُعِ وَقَوْلُهُمْ إنَّ جِدَّةَ وَيَلَمْلَمَ مَرْحَلَتَانِ مُرَادُهُمْ أَنَّ كُلًّا لَا يَنْقُصُ عَنْ مَرْحَلَتَيْنِ، وَإِنْ تَفَاوَتَتْ الْمَسَافَتَانِ كَمَا حَقَّقَهُ مَنْ سَلَكَ الطَّرِيقَيْنِ وَهُمْ عَدَدٌ كَادُوا أَنْ يَتَوَاتَرُوا فَمَا فِي التُّحْفَةِ مِنْ جَوَازِ التَّأْخِيرِ إلَى جِدَّةَ فَهُوَ لِعَدَمِ مَعْرِفَتِهِ الْمَسَافَةَ فَلَا يَغْتَرُّ بِهِ كَمَا نَبَّهَ عَلَيْهِ تِلْمِيذُهُ عَبْدُ الرَّءُوفِ بْنُ يَحْيَى الزَّمْزَمِيُّ وَقَالَ مُحَمَّدُ بْنُ الْحَسَنِ وَلَوْ أَخْبَرَ الشَّيْخُ - رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى - تَحْقِيقَهُ الْأَمْرَ مَا أَفْتَى بِهِ٠
Pendapat Kurdi atas pendapat Al-Bafadli terkait ihram dari laut:
Menurut pendapat Al-Wana’i, seseorang yang datang dari arah Yaman melalui jalur laut dan melewati sejajar miqat Yalamlam, maka ia boleh mengakhirkan ihramnya dari sejajar dengan Yalamlam sampai ke tempat yang dikenal dengan Ra’sul-Ma’ruf, yaitu suatu titik sebelum pelabuhan Jeddah, selama kapal masih mengarah ke arah Tanah Haram (Makkah).
Namun, tidak boleh baginya untuk mengakhirkan ihram sampai ke Jeddah, karena jarak Jeddah lebih dekat ke Makkah daripada Yalamlam ke Mekkah, kira-kira seperempat jarak lebih dekat.
Adapun ucapan sebagian ulama bahwa Jeddah dan Yalamlam adalah sama-sama jarak dua marhalah (81 km), maksud mereka adalah bahwa masing-masing dari dua tempat itu tidak kurang dari dua marhalah, meskipun jaraknya berbeda. Hal ini telah dibuktikan oleh orang-orang yang telah menempuh kedua jalur tersebut, dan mereka adalah sejumlah orang yang banyak sehingga nyaris mencapai derajat mutawatir (berita yang sangat kuat karena banyaknya perawi).
Oleh karena itu, pendapat dalam kitab Tuhfah yang membolehkan mengakhirkan ihram sampai ke kota Jeddah, itu adalah disebabkan ketidaktahuannya tentang jarak sebenarnya, sehingga tidak bisa dijadikan pegangan. Hal ini juga telah diperingatkan oleh muridnya, Abdul Ra'uf bin Yahya Az-Zamzami.
Muhammad bin Al-Hasan berkata: “Seandainya gurunya (Syekh Ibnu Hajar semoga Allah merahmatinya) mengetahui hakikat perkara ini, tentu ia tidak akan berfatwa untuk membolehkan ihrom dari kota Jeddah.
وَقَالَ الشَّيْخُ عَلِيُّ بْنُ الْجَمَّالِ وَمَا فِي التُّحْفَةِ مَبْنِيٌّ عَلَى اتِّحَادِ الْمَسَافَةِ الظَّاهِرِ مِنْ كَلَامِهِمْ، فَإِذَا تَحَقَّقَ التَّفَاوُتُ فَهُوَ قَائِلٌ بِعَدَمِ الْجَوَازِ قَطْعًا بِدَلِيلِ صَدْرِ كَلَامِهِ النَّصِّ فِي ذَلِكَ انْتَهَى. وَأَيْضًا كُلُّ مَحَلٍّ مِنْ الْبَحْرِ بَعْدَ رَأْسِ الْعَلَمِ أَقْرَبُ إلَى مَكَّةَ مِنْ يَلَمْلَمُ وَقَدْ قَالَ بِذَلِكَ فِي الْجُحْفَةِ وَنَصُّ عِبَارَتِهِ بِخِلَافِ الْجَائِي فِيهِ مِنْ مِصْرَ لَيْسَ لَهُ أَنْ يُؤَخِّرَ إحْرَامَهُ مِنْ مُحَاذَاةِ الْجُحْفَةِ؛ لِأَنَّ كُلَّ مَحَلٍّ مِنْ الْبَحْرِ بَعْدَ الْجُحْفَةِ أَقْرَبُ إلَى مَكَّةَ مِنْهَا اهـ وَعِبَارَةُ بَاعَشَنٍ وَلَا وَجْهَ لِمَا فِي التُّحْفَةِ إلَّا إنْ قِيلَ إنَّ مَبْنَى الْمَوَاقِيتِ عَلَى التَّقْرِيبِ، وَهُوَ الَّذِي كَانَ يُعَلِّلُ بِهِ الشَّيْخُ مُحَمَّدُ صَالِحٍ تَبَعًا لِشَيْخِهِ إدْرِيسَ الصَّعِيدِيِّ جَوَازَ تَأْخِيرِ الْإِحْرَامِ إلَى جِدَّةَ وَيُفْتَى بِهِ أَوْ يَكُونُ جَبَلُ يَلَمْلَمُ مُمْتَدًّا بَعْدَ السَّعْدِيَّةِ بِحَيْثُ يَكُونُ بَيْنَ آخِرِهِ وَبَيْنَ مَكَّةَ مَرْحَلَتَانِ٠ فإذا تحقق التفاوت بطل المساواة، وبطل ما بني عليها من جواز التأخير إلى جدة. وهو واضح ، إلا إن ثبت واحد من الأمرين الذين سقناهما ٠
Syekh Ali bin al-Jammal berkata: Apa yang disebutkan dalam kitab Tuhfah itu dibangun atas dasar anggapan bahwa jarak (antara Jeddah-Mekkah dan Yalamlam-Mekkah) itu sama, sebagaimana tampak dari pernyataan mereka. Maka apabila perbedaan jarak itu benar-benar terjadi, maka beliau juga berpendapat dengan tegas bahwa tidak boleh (menunda ihram sampai Jeddah), sebagaimana ditunjukkan oleh bagian awal dari pernyataan beliau yang jelas dalam hal tersebut. Selesai.
Dan juga, setiap tempat di laut setelah Ra’s al-‘Alam (saru tempat di laut merah yang sejajar dengan Yalamlam) itu lebih dekat ke Makkah daripada Yalamlam. Dan beliau telah berpendapat seperti itu dalam masalah Juhfah. Dan teks ucapannya jelas berbeda dengan orang yang datang dari Mesir melalui jalur laut, yaitu bahwa tidak diperbolehkan baginya untuk menunda ihram setelah sejajar dengan Juhfah, karena setiap tempat di laut setelah Juhfah itu lebih dekat ke Makkah daripada Juhfah itu sendiri.
Dan perkataan Ba‘asyan: “Tidak ada alasan yang dapat dibenarkan atas apa yang disebutkan dalam kitab Tuhfah, kecuali jika dikatakan bahwa dasar penetapan miqat adalah jarak secara perkiraan, dan inilah yang menjadi alasan dari Syekh Muhammad Shalih – mengikuti gurunya Idris al-Sa‘idi – yang membolehkan menunda ihram sampai ke kota Jeddah, dan fatwa pun diberikan berdasarkan pendapat ini. Atau bisa jadi Gunung Yalamlam itu memanjang setelah daerah al-Sa‘diyyah, sehingga antara ujungnya dan Makkah terdapat jarak dua marhalah (81 km).
Sehingga apabila perbedaan jarak itu benar-benar terbukti, maka batal pulalah anggapan kesamaan (jarak antara Jeddah-Mekkah dan Yalamlam-Mekkah), dan batal pula pendapat yang dibangun di atas anggapan tersebut, yaitu kebolehan menunda ihram sampai ke Jeddah. Dan hal ini sudah jelas, kecuali jika terbukti salah satu dari dua hal yang telah kami sebutkan tadi.
وَقَدْ سَمِعْت مِنْ بَعْضِ الثِّقَاتِ أَنَّ الشَّيْخَ مُحَمَّدَ صَالِحٍ الْمَذْكُورُ كَانَ يَقُولُ بِذَلِكَ وَقَدْ عَلِمْت أَنَّ يَلَمْلَمُ جَبَلٌ مُحَاذٍ لِلسَّعْدِيَّةِ وَسَمِعْت أَنَّ بِحِذَاءِ السَّعْدِيَّةِ جَبَلَيْنِ أَحَدَهُمَا بَيْنَ طَرَفِهِ الْمُحَاذِي لِمَكَّةَ وَبَيْنَ مَكَّةَ أَكْثَرُ مِنْ مَرْحَلَتَيْنِ وَالثَّانِيَ مُمْتَدٌّ لِجِهَةِ مَكَّةَ وَبَيْنَهُ وَبَيْنَ مَكَّةَ بِاعْتِبَارِ طَرَفِهِ الَّذِي بِجِهَتِهَا مَرْحَلَتَانِ فَأَقَلُّ، فَإِنْ تَحَقَّقَ أَنَّهُ الْأَخِيرُ فَلَا شَكَّ فِي جَوَازِ الْإِحْرَامِ مِنْ جِدَّةَ فَحَرِّرْ جَبَلَ يَلَمْلَمُ، فَإِنْ تَحَقَّقَ وَتَحَقَّقَتْ الْمُفَارَقَةُ الَّتِي يَقُولُونَهَا فَلَا وَجْهَ لِمَا قَالَهُ فِي التُّحْفَةِ بَلْ يُشْعِرُ بِذَلِكَ قَوْلُ التُّحْفَةِ؛ لِأَنَّ مَسَافَتَهَا أَيْ جِدَّةَ كَمَسَافَةِ يَلَمْلَمُ إلَى مَكَّةَ اهـ٠
Aku telah mendengar dari sebagian orang yang terpercaya bahwa Syekh Muhammad Shalih yang disebutkan itu memang berpendapat demikian. Sedangkan aku telah mengetahui bahwa Yalamlam adalah sebuah gunung yang sejajar dengan (wilayah) as-Sa‘diyyah. Aku juga mendengar bahwa di sekitar as-Sa‘diyyah terdapat dua gunung: salah satunya jarak dari salah satu ujung yang sejajar dengan Makkah sampai ke Makkah, jaraknya lebih dari dua marhalah; sedangkan gunung yang kedua memanjang ke arah Makkah, dan antara gunung tersebut dan Makkah, jika dihitung dari ujungnya yang menghadap ke arah Makkah maka jaraknya ada dua marhalah atau kurang. Maka jika yang dimaksud adalah gunung yang kedua, maka tidak diragukan lagi bolehnya ihram dari kota Jeddah. Oleh karena itu, selidikilah (lokasi) Gunung Yalamlam. Jika telah dipastikan (letaknya) dan telah dipastikan pula adanya perbedaan seperti yang mereka sebutkan itu, maka tidak ada alasan untuk pendapat yang disebutkan dalam kitab Tuhfah. Bahkan hal itu dikuatkan oleh pernyataan kitab Tuhfah sendiri, yaitu: 'Karena jarak Jeddah ke Makkah sama seperti jarak Yalamlam ke Makkah.' Selesai.
أَقُولُ الْأَمْرُ الْأَوَّلُ، وَهُوَ أَنَّ مَبْنَى الْمَوَاقِيتِ عَلَى التَّقْرِيبِ، كَلَامُ التُّحْفَةِ وَالنِّهَايَةِ وَالْمُغْنِي، وَغَيْرُهُمْ صَرِيحٌ فِي خِلَافِهِ وَالْأَمْرُ الثَّانِي، وَهُوَ كَوْنُ جَبَلِ يَلَمْلَمُ مُمْتَدًّا بَعْدَ السَّعْدِيَّةِ إلَخْ مَبْنِيٌّ عَلَى كَوْنِهِ الْأَخِيرَ مِنْ الْجَبَلَيْنِ اللَّذَيْنِ بِحِذَاءِ السَّعْدِيَّةِ الَّذِي بَيْنَ طَرَفِهِ وَبَيْنَ مَكَّةَ مَرْحَلَتَانِ فَأَقَلُّ وَقَدْ نَصَّ التُّحْفَةُ وَالنِّهَايَةُ وَالْمُغْنِي وَغَيْرُهُمْ عَلَى أَنَّهُ لَا مِيقَاتَ أَقَلُّ مِنْ مَرْحَلَتَيْنِ فَتَبَيَّنَ أَنَّهُ لَيْسَ جَبَلَ يَلَمْلَمُ، وَإِنَّمَا هُوَ الْأَوَّلُ مِنْ الْجَبَلَيْنِ الْمَذْكُورَيْنِ الَّذِي بَيْنَ طَرَفِهِ وَبَيْنَ مَكَّةَ أَكْثَرُ مِنْ مَرْحَلَتَيْنِ٠
Saya katakan: Adapun hal pertama, yaitu bahwa penetapan miqat berdasarkan jarak perkiraan, maka pendapat ini bertentangan secara jelas dengan pernyataan kitab Tuhfah, Nihayah, al-Mughni, dan selainnya yang secara tegas menyatakan sebaliknya.
Dan hal kedua, yaitu anggapan bahwa Gunung Yalamlam memanjang ke arah setelah daerah as-Sa‘diyyah dan sebagainya, dibangun atas dasar bahwa gunung tersebut adalah gunung kedua dari dua gunung yang berada di sekitar as-Sa‘diyyah — yang mana antara ujungnya dan Makkah berjarak dua marhalah atau kurang. Namun kitab Tuhfah, Nihayah, al-Mughni, dan lainnya telah menyatakan secara tegas bahwa tidak ada miqat yang jaraknya kurang dari dua marhalah.
Maka dari sini jelaslah bahwa gunung tersebut bukanlah Gunung Yalamlam, sehingga miqot yang benar adalah gunung yang pertama dari dua gunung yang disebutkan tadi, yang mana antara ujungnya dan Makkah berjarak lebih dari dua marhalah.
والله أعلم بالصواب
والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته
PENANYA
Nama : Moh Khoirullah
Alamat : Waru, Pamekasan, Madura
__________________________________
MUSYAWWIRIN
Anggota Grup BM Nusantara (Tanya Jawab Hukum Online)
PENASIHAT
Habib Ahmad Zaki Al-Hamid (Kota Sumenep, Madura)
PENGURUS
Ketua: Ustadz Zainullah Al-Faqih (Umbul Sari, Jember, Jawa Timur)
Wakil: Ustadz Taufik Hidayat (Pegantenan, Pamekasan, Madura)
Sekretaris: Ustadz Moh. Kholil Abdul Karim (Karas, Magetan, Jawa Timur)
Bendahara: Ustadz Supandi (Pegantenan, Pamekasan, Madura)
TIM AHLI
Kordinator Soal: Ustadz Qomaruddin (Umbul Sari, Jember, Jawa Timur), Ustadz Faisol Umar Rozi (Proppo, Pamekasan, Madura)
Deskripsi Masalah: Ustadz Faisol Umar Rozi (Proppo, Pamekasan, Madura)
Moderator: Ustadz Hosiyanto Ilyas (Jrengik, Sampang, Madura)
Perumus: K.H. Abdurrohim (Maospati, Magetan, Jawa Timur)
Muharrir: Kyai Mahmulul Huda (Bangsal Sari, Jember, Jawa Timur), K.H. Abdurrohim (Maospati, Magetan, Jawa Timur)
Editor: Ustadz Taufik Hidayat (Pegantenan, Pamekasan, Madura)
Terjemah Ibarot : Ustadz Rahmatullah Metuwah (Babul Rahmah, Aceh Tenggara, Aceh), Ustadz Masruri Ainul Khayat (Kalimantan Barat), Ustadz Ahmad Marzuki (Cikole, Sukabumi, Jawa Barat), Kyai Muntahal 'Ala Hasbullah (Giligenting, Sumenep, Madura), Gus Robbit Subhan (Balung, Jember, Jawa Timur), Ustadz Ahmad Alfadani (Balongbendo, Sidoarjo, Jawa Timur), Ustadz Abdurrozaq (Wonokerto, Pekalongan, Jawa Tengah), Ustadzah Lusy Windari (Jatilawang, Banyumas, Jawa Tengah)
Mushohhih terjemahan : K.H. Abdurrohim (Maospati, Magetan, Jawa Timur)
________________________________________
Keterangan:
1) Pengurus adalah orang yang bertanggung jawab atas grup ini secara umum.
2) Tim ahli adalah orang yang bertugas atas berjalannya grup ini.
3) Bagi para anggota grup yang memiliki pertanyaan diharuskan untuk menyetorkan soal kepada koordinator soal dengan via japri, yakni tidak diperkenankan -sharing- soal di grup secara langsung.
4) Setiap anggota grup boleh usul atau menjawab walaupun tidak berreferensi. Namun, keputusan tetap berdasarkan jawaban yang berreferensi.
5) Dilarang -posting- iklan/video/kalam-kalam hikmah/gambar yang tidak berkaitan dengan pertanyaan, sebab akan mengganggu berjalannya diskusi.
Komentar
Posting Komentar