Apakah Orang yang Mati Dalam Keadaan Bunuh Diri Mati Dalam Keadaan Kafir ?
HASIL KAJIAN BM NUSANTARA
(Tanya Jawab Hukum Online)
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
DESKRIPSI :
Badrun adalah seorang yang dermawan dan dianggap sangat baik oleh tetangga serta teman-temannya, dia juga sudah beristri dan beranak satu. Dia sangat mencintai dan menyayangi istrinya, apa yang dipinta oleh istrinya, Badrun senantiasa memenuhinya. Akan tetapi istrinya terciduk selingkuh dengan laki-laki lain, karena perbuatannya tersebut ayah si Badrun memaksa Badrun untuk menceraikannya, meski dalam hati Badrun Ia sangat mencintai istrinya itu, namun dia juga seorang laki-laki yang taat terhadap perintah orang tuanya sehingga perintah untuk menceraikan istrinya ia laksanakan. Namun, Badrun mengalami depresi dan putus asa dalam menjalani kehidupan ini karena tidak menyangka istrinya akan selingkuh sehingga dia bunuh diri dengan menggantung diri.
Sesaat setelah dimandikan, banyak orang dan bahkan tokoh masyarakat tidak mau menyolati jenazahnya, karena Badrun meninggal dalam keadaan bunuh diri yang mana menurut mereka Badrun mati dalam keadaan kafir karena telah putus asa dari rahmat Allah untuk menjalani kehidupan ini.
PERTANYAAN :
Apakah orang yang mati dalam keadaan bunuh diri mati dalam keadaan kafir ?
JAWABAN :
Seseorang yang mati dalam keadaan bunuh diri tidak diangap mati kafir menurut ahlu sunah wal jama'ah, kecuali dia menghalalkan bunuh diri.
REFERENSI :
فتح القريب المجيب على الترغيب والترهيب، الحزء ١٠ الصحفة ٣٧٦ — حسن بن علي الفيومي (ت ٨٧٠)
وفي هذا الحديث دليل لمن يقول: لا يصلي على قاتل نفسه لعصيانه ومذهب أهل السنة أنه لا يكفر [من قتل نفسه] ونصوا على أنه لا يكفر أحد من أهل القبلة بذنب وتقدم في المديون أنهم كانوا يصلون عليه وهو متعلق الذمة وحاله أشد ممن ذنبه فيما بينه وبين الله وإنما ترك الصلاة عليه تحذيرا من مثل فعله وتعظيما لذنبه وبهذا قال مالك زجرا لهم ولعل هذا القاتل كان مستحلا القتل نفسه فمات كافرا فلم يصل عليه لذلك وهذا مذهب عمر عبد العزيز
Artinya : Dan dalam hadis ini terdapat dalil bagi orang yang berpendapat bahwa tidak disalatkan jenazah orang yang bunuh diri karena kemaksiatannya. Namun, menurut mazhab Ahlus Sunnah, orang yang membunuh dirinya sendiri tidak dihukumi kafir. Mereka menegaskan bahwa tidak ada seorang pun dari kalangan Ahlul Qiblah yang dikafirkan hanya karena dosa. Sebelumnya juga telah disebutkan tentang orang yang berutang, bahwa para sahabat tetap menyalatkannya, padahal ia masih memiliki tanggungan, dan kondisinya lebih berat daripada orang yang dosanya hanya antara dia dan Allah. Maka, meninggalkan salat jenazah atas orang yang bunuh diri dimaksudkan sebagai bentuk peringatan terhadap tindakan serupa dan sebagai pengagungan terhadap besarnya dosa tersebut. Inilah juga pendapat Imam Malik, sebagai bentuk peneguran bagi mereka. Mungkin juga orang yang bunuh diri itu menghalalkan perbuatannya (yaitu bunuh diri), sehingga ia mati dalam keadaan kafir, dan karena itu tidak disalatkan. Inilah juga mazhab Umar bin Abdul Aziz.
فتح القريب المجيب على الترغيب والترهيب، الجزء ١٠ الصحفة ٣٦٩ — حسن بن علي الفيومي (ت ٨٧٠)
وفي هذا الحديث حجة لقاعدة عظيمة لأهل السنة أن من قتل نفسه أو ارتكب معصية غيرها ومات من غير توبة فليس بكافر ولا يقطع له بالنار بل هو في حكم المشيئة
Artinya : Dalam hadis ini terdapat hujjah (dalil) bagi sebuah kaidah agung dalam Ahlus Sunnah, yaitu bahwa barang siapa yang membunuh dirinya sendiri atau melakukan maksiat lainnya lalu mati tanpa sempat bertaubat, maka ia tidak dihukumi kafir dan tidak dipastikan akan masuk neraka. Akan tetapi, urusannya berada di bawah kehendak Allah (yakni: jika Allah menghendaki, Dia akan mengampuninya; dan jika menghendaki, Dia akan mengazabnya).
فتح القريب المجيب على الترغيب والترهيب، الجزء ١٠ الصحفة ٣٧٦ — حسن بن علي الفيومي (ت ٨٧٠)
وفي هذا الحديث دليل لمن يقول: لا يصلي على قاتل نفسه لعصيانه ومذهب أهل السنة أنه لا يكفر [من قتل نفسه] ونصوا على أنه لا يكفر أحد من أهل القبلة بذنب
Artinya : Dalam hadis ini terdapat dalil bagi orang yang berpendapat bahwa tidak disalatkan jenazah orang yang membunuh dirinya sendiri karena kemaksiatannya. Namun, mazhab Ahlus Sunnah menyatakan bahwa orang yang membunuh dirinya sendiri tidaklah kafir. Mereka menegaskan bahwa tidak ada seorang pun dari kalangan Ahlul Qiblah yang dikafirkan hanya karena dosa.
الموسوعة الفقهية الكويتية، الجزء ٦ الصحفة ٢٩٥
اتَّفَقَ الْفُقَهَاءُ عَلَى وُجُوبِ تَكْفِينِ الْمَيِّتِ الْمُسْلِمِ وَدَفْنِهِ ، وَصَرَّحُوا بِأَنَّهُمَا مِنْ فُرُوضِ الْكِفَايَةِ كَالصَّلاَةِ عَلَيْهِ وَغُسْلِهِ ، وَمِنْ ذَلِكَ الْمُنْتَحِرُ ؛ لأَِنَّ الْمُنْتَحِرَ لاَ يَخْرُجُ عَنِ الإِْسْلاَمِ بِارْتِكَابِهِ قَتْل نَفْسِهِ كَمَا مَرَّ
Artinya : Para fuqaha (ahli fikih) telah sepakat atas kewajiban mengafani dan menguburkan jenazah seorang Muslim, dan mereka secara tegas menyatakan bahwa keduanya termasuk fardu kifayah, sebagaimana juga salat jenazah dan memandikannya. Hal ini juga berlaku bagi orang yang bunuh diri, karena pelaku bunuh diri tidak keluar dari Islam hanya karena melakukan tindakan membunuh dirinya sendiri, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya.
الأربعون العقدية، الجزء ٢ الصحفة ٧٩٣ — أيمن إسماعيل (معاصر)
فائدة مهمة ؛ قد توسَّط أهل السنة فى مسألة الفرق بين الكفر والكبيرة من حيث الحكم عليهما بالتكفير، فعند غلاة المرجئة أن من فعل كفرًا -من غير عذر معتبر- لا يكفر إلا بالاستحلال، وأما عند الخوارج فقالوا بكفر فاعل الكبيرة، ولو وقعت منه من غير استحلال. وأما أهل السنة فقالوا بكفر من أتى ناقضًا من نواقض الإيمان، ولو لم يكن مستحلًا، وأما ما دون الكفر فلا يكفر فاعله إلا بالاستحلال
(٣) وانظرفتح الباري (١/ ١١٣) وأحاديث العقيدة التى ظاهرها التعارض (ص/٤٣١)
Artinya : Faedah penting: Ahlus Sunnah mengambil posisi tengah dalam masalah perbedaan antara kekufuran dan dosa besar dalam hal hukum pengkafiran. Menurut golongan ekstrem Murji’ah, siapa pun yang melakukan perbuatan kufur —tanpa adanya uzur yang dibenarkan— tidak dihukumi kafir kecuali jika ia menghalalkannya. Sementara menurut kaum Khawarij, pelaku dosa besar dianggap kafir, meskipun ia tidak menghalalkannya. Adapun Ahlus Sunnah berpendapat bahwa siapa pun yang melakukan salah satu pembatal keimanan (nawaqid al-iman) maka dia kafir, meskipun tidak menghalalkannya. Sedangkan untuk dosa-dosa yang tidak mencapai derajat kekufuran, pelakunya tidak dianggap kafir kecuali jika ia menghalalkannya.
الموسوعة الفقهية الكويتية، الجزء ٣ الصحفة ٢٣٦
اسْتِحْلاَلٌ
التَّعْرِيفُ؛
١ - هُوَ مَصْدَرُ اسْتَحَل الشَّيْءَ: بِمَعْنَى اتَّخَذَهُ حَلاَلًا، أَوْ سَأَل غَيْرَهُ أَنْ يُحِلَّهُ لَهُ (٤) وَتَحَلَّلْتُهُ وَاسْتَحْلَلْتُهُ: إِذَا سَأَلْتَهُ أَنْ يَجْعَلَكَ فِي حِلٍّ مِنْ قِبَلِهِ (٥)٠
وَيَسْتَعْمِلُهُ الْفُقَهَاءُ بِالْمَعْنَى اللُّغَوِيِّ، وَبِمَعْنَى اعْتِقَادِ الْحِل (٦) .
الْحُكْمُ الإِْجْمَالِيُّ؛
٢ - الاِسْتِحْلاَل بِمَعْنَى: اعْتِبَارِ الشَّيْءِ حَلاَلًا، فَإِنْ كَانَ فِيهِ تَحْلِيل مَا حَرَّمَهُ الشَّارِعُ فَهُوَ حَرَامٌ، وَقَدْ يَكْفُرُ بِهِ إِذَا كَانَ التَّحْرِيمُ مَعْلُومًا مِنَ الدِّينِ بِالضَّرُورَةِ. فَمَنِ اسْتَحَل عَلَى جِهَةِ الاِعْتِقَادِ مُحَرَّمًا - عُلِمَ تَحْرِيمُهُ مِنَ الدِّينِ بِالضَّرُورَةِ - دُونَ عُذْرٍ يَكْفُرُ (١) وَسَبَبُ التَّكْفِيرِ بِهَذَا أَنَّ إِنْكَارَ مَا ثَبَتَ ضَرُورَةً أَنَّهُ مِنْ دِينِ مُحَمَّدٍ ﷺ فِيهِ تَكْذِيبٌ لَهُ ﷺ وَقَدْ ضَرَبَ الْفُقَهَاءُ أَمْثِلَةً لِذَلِكَ بِاسْتِحْلاَل الْقَتْل وَالزِّنَى (٢)، وَشُرْبِ الْخَمْرِ (٣)،، وَالسِّحْرِ (٤)٠
وَقَدْ يَكُونُ الاِسْتِحْلاَل حَرَامًا، وَيَفْسُقُ بِهِ الْمُسْتَحِل، لَكِنَّهُ لاَ يَكْفُرُ، كَاسْتِحْلاَل الْبُغَاةِ أَمْوَال الْمُسْلِمِينَ وَدِمَاءَهُمْ. وَوَجْهُ عَدَمِ التَّكْفِيرِ أَنَّهُمْ مُتَأَوِّلُونَ. وَيَتَرَتَّبُ عَلَى الْفِسْقِ بِالاِسْتِحْلاَل حِينَئِذٍ عَدَمُ قَبُول قَضَاءِ قَاضِيهِمْ عِنْدَ عَامَّةِ الْفُقَهَاءِ، إِلاَّ رَأْيًا لِلْمَالِكِيَّةِ يَقْضِي بِتَعَقُّبِ أَقْضِيَتِهِمْ، فَمَا كَانَ مِنْهَا صَوَابًا نَفَذَ، وَمَا كَانَ عَلَى خِلاَفِ كَذَلِكَ رُدَّ٠ وَرَدُّ شَهَادَتِهِمْ كَنَقْضِ قَضَائِهِمْ كَمَا صَرَّحَ بِذَلِكَ كَثِيرٌ مِنَ الْفُقَهَاءِ
Artinya : Istihlal (استحلال)
Definisi:
Istihlal adalah bentuk mashdar (kata benda abstrak) dari kata istahalla asy-syay’a, yang berarti: menganggap sesuatu itu halal, atau meminta orang lain untuk menghalalkannya baginya. Juga bisa berarti: tahallaltuhu atau istahallaltuhu, yaitu ketika seseorang meminta agar dirinya dibebaskan dari suatu kewajiban atau dihalalkan oleh pihak lain.
Para fuqaha (ahli fikih) menggunakan istilah ini baik dalam makna bahasa (secara leksikal), maupun dalam makna keyakinan: yaitu meyakini bahwa sesuatu yang haram itu halal.
Hukum Secara Umum:
2. Istihlal dalam arti menganggap sesuatu yang haram sebagai halal — apabila hal itu berupa penghalalan terhadap sesuatu yang telah diharamkan oleh syariat — maka hukumnya haram. Bahkan, seseorang bisa menjadi kafir karenanya, apabila hal yang dihalalkan tersebut termasuk sesuatu yang keharamannya telah diketahui secara pasti dalam agama (ma‘lūm min ad-dīn biḍ-ḍarūrah).
Barang siapa menghalalkan sesuatu yang diharamkan (seperti zina, membunuh, minum khamar, atau sihir) — padahal keharamannya telah diketahui secara pasti dari ajaran Islam — dan ia melakukannya tanpa ada uzur (alasan syar’i), maka dia kafir.
Sebab pengkafiran ini adalah karena mengingkari sesuatu yang secara pasti merupakan bagian dari agama Nabi Muhammad ﷺ, dan hal itu berarti mendustakan beliau ﷺ. Para fuqaha memberikan contoh-contoh istihlal ini, seperti: menghalalkan pembunuhan, menghalalkan zina, menghalalkan minum khamar, menghalalkan sihir
Dan bisa jadi istihlal itu hukumnya haram, dan pelakunya menjadi fasiq (orang yang keluar dari ketaatan), tetapi tidak sampai kafir, seperti istihlal (penghalalan) yang dilakukan oleh para pemberontak (bughāt) terhadap harta dan darah kaum Muslimin. Alasan tidak dikafirkan adalah karena mereka melakukan hal itu dengan ta’wil (penafsiran yang salah tetapi tidak disengaja menentang syariat).
Akibat dari kefasikan karena istihlal semacam ini adalah: Tidak diterimanya keputusan hukum dari qadhi (hakim) mereka menurut mayoritas fuqaha. Kecuali menurut satu pendapat dari mazhab Maliki, yang menyatakan bahwa keputusan hakim-hakim mereka tetap ditinjau ulang: Jika keputusan itu benar, maka dilaksanakan. Jika menyelisihi kebenaran, maka dibatalkan. Begitu pula, kesaksian mereka ditolak, sebagaimana keputusan hukum mereka dibatalkan — hal ini ditegaskan oleh banyak ulama fikih.
والله أعلم بالصواب
والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته
PENANYA
Nama : Yulianti
Alamat : Kendari Barat, Kendari Kota, Sulawesi Tenggara
__________________________________
MUSYAWWIRIN
Anggota Grup BM Nusantara (Tanya Jawab Hukum Online)
PENASIHAT
Habib Ahmad Zaki Al-Hamid (Kota Sumenep, Madura)
PENGURUS
Ketua: Ustadz Zainullah Al-Faqih (Umbul Sari, Jember, Jawa Timur)
Wakil: Ustadz Taufik Hidayat (Pegantenan, Pamekasan, Madura)
Sekretaris: Ustadz Moh. Kholil Abdul Karim (Karas, Magetan, Jawa Timur)
Bendahara: Ustadz Supandi (Pegantenan, Pamekasan, Madura)
TIM AHLI
Kordinator Soal: Ustadz Qomaruddin (Umbul Sari, Jember, Jawa Timur), Ustadz Faisol Umar Rozi (Proppo, Pamekasan, Madura)
Deskripsi Masalah: Ustadz Faisol Umar Rozi (Proppo, Pamekasan, Madura)
Moderator: Ustadz Hosiyanto Ilyas (Jrengik, Sampang, Madura)
Perumus: Ustadz Taufik Hidayat (Pegantenan, Pamekasan, Madura)
Muharrir: Kyai Mahmulul Huda (Bangsal Sari, Jember, Jawa Timur), K.H. Abdurrohim (Maospati, Magetan, Jawa Timur)
Editor: Ustadz Taufik Hidayat (Pegantenan, Pamekasan, Madura)
Terjemah Ibarot : Ustadz Taufik Hidayat (Pegantenan, Pamekasan, Madura)
Mushohhih terjemahan : K.H. Abdurrohim (Maospati, Magetan, Jawa Timur)
________________________________________
Keterangan:
1) Pengurus adalah orang yang bertanggung jawab atas grup ini secara umum.
2) Tim ahli adalah orang yang bertugas atas berjalannya grup ini.
3) Bagi para anggota grup yang memiliki pertanyaan diharuskan untuk menyetorkan soal kepada koordinator soal dengan via japri, yakni tidak diperkenankan -sharing- soal di grup secara langsung.
4) Setiap anggota grup boleh usul atau menjawab walaupun tidak berreferensi. Namun, keputusan tetap berdasarkan jawaban yang berreferensi.
5) Dilarang -posting- iklan/video/kalam-kalam hikmah/gambar yang tidak berkaitan dengan pertanyaan, sebab akan mengganggu berjalannya diskusi.
Komentar
Posting Komentar