Hukum Akad Nikah Tidak Mengatakan Kamu atau Tidak Ada Khithob Dalam Akad Sahkah ?


HASIL KAJIAN BM NUSANTARA 
(Tanya Jawab Hukum Online)

 السلام عليكم و رحمة الله وبركاته

DESKRIPSI:

Menikah adalah salah satu amalan yang disunnahkan dalam Agama. Permasalahan ada seorang pemuda (Badrun) dia mengadakan pernikahan dengan gadis (Badriyah) akan tetapi ketika akad, sang wali haya mengatakan ; "Wahai Badrun..! saya nikahkan dengan putri saya Badriyah dengan mahar 10 juta dibayar tunai, dan Badrun menjawab, ya saya terima nikahnya Badriyah dengan mahar tersebut dibayar tunai.

PERTANYAAN:

Bagaimana hukum akad nikah seperti di atas (tidak mengatakan kamu atau tidak ada khithob dalam akad?

JAWABAN:

Tidak sah. Karena ketidak jelasan obyek dalam shighot nikah degan tanpa menyebutkan khitab dari perkataan wali "saya nikahkan".

REFERENSI:

الفقه الأسلامي وادلته، الجزء ٩ الصحفة ٦٥٧٤

الشافعية ؛ اشترطوا شروطاً في الصيغة وفي الزوجين وفي الشهود ؛ أما شروط الصيغة: فهي ثلاثة عشر شرطاً تشترط في العقود وهي ما يأتي ؛

١ - الخطاب: بأن يخاطب كل من العاقدين صاحبه.

 ٢ - أن يكون الخطاب واقعاً على جملة المخاطب، فلا يصح على جزئه.


Ulama' Syafi'iyah; mereka mensyaratkan beberapa syarat dalam shighot, kedua mempelai, dan saksi. Adapun syarat dalam shighot ada 13 syarat yaitu sebagaimana berikut : 

1. Komunikatif : kedua pelaku akad berkomunikasi satu sama lain. 

2. Komunikasi ditujukan kepada seutuhnya lawan komunikasi. Sehingga tidak sah jika ditujukan kepada bagian dari lawan komunikasi.


أسنى المطالب في شرح روض الطالب، الجزء ٢ الصحفة ٣

فَإِنْ بَدَأَ بِ قَبِلْت لَمْ يَصِحَّ) إذْ لَا يَنْتَظِمُ الِابْتِدَاءُ بِهِ وَهَذَا مَا أَفْهَمَهُ كَلَامُ الْأَصْلِ وَبِهِ صَرَّحَ الْإِمَامُ وَالْأَوْجَهُ الصِّحَّةُ كَمَا جَزَمَ بِهِ الشَّيْخَانِ فِي نَظِيرِهِ فِي النِّكَاحِ وَأَشَارَ بِكَافِ الْخِطَابِ فِي صِيَغِ الْإِيجَابِ إلَى اعْتِبَارِ الْخِطَابِ فِيهَا وَإِسْنَادِهَا لِجُمْلَةِ الْمُخَاطَبِ فَلَا يَكْفِي قَوْلُ الْبَائِعِ بِعْت وَلَوْ بَعْدَ قَوْلِ الْمُشْتَرِي لَهُ بِعْت هَذَا بِكَذَا وَلَا قَوْلُهُ بِعْت يَدَك أَوْ نِصْفَك وَلَا بِعْت مُوَكِّلَك بَلْ يَقُولُ بِعْتُك أَوْ مَلَّكْتُك وَإِنَّمَا اكْتَفَى فِي النِّكَاحِ بِأَنْكَحْت مُوَكِّلَك بَلْ يَتَعَيَّنُ لِأَنَّ االْوَكِيلَ ثَمَّ سَفِيرٌ مَحْضٌ وَقَدْ لَا يُعْتَبَرُ الْخِطَابُ كَمَا سَيَأْتِي بَيَانُهُ فِي مَسْأَلَةِ الْمُتَوَسِّطِ

Artinya : Jika seseorang memulai dengan Qabiltu maka hukum (nikah)nya tidak sah. Karena permulaan ijab qabul tidak tersusun dengan lafadz (seperti diatas). Ini dapat difahami dari kalam aslinya dan ini juga yang ditegaskan oleh Al-Imam Haromain. Dan menurut pendapat yang palaing aujah adalah 'sah' sebagaimana yang telah ditegaskan oleh Imam Nawawi dan Imam Rofi'i di dalam pandangan/pendapatnya di dalam bab nikah. Dan Syaikh Zakariya memberikan isyarat kaf khitab yang terdapat di dalam beberapa shighot ijab kepada diperhitungkannya khitab/ pembicaraan di dalamnya dan diarahkannya kepada keseluruhan orang yang diajak bicara.

Maka tidak cukup perkataannya penjual "saya menjual" walaupun setelah perkataan pembeli kepadanya "apakah kamu menjual ini dengan harga sekian dan tidak sah pula perkataan "aku jual kepada tanganmu atau kepada setengah dirimu atau saya jual kepada yang mewakilkan kamu". Bahkan seharusnya ia mengatakan "saya jual kepadamu atau saya memberikan kepemilikan kepada kamu."

Dan dianggap cukup dalam nikah dengan kata-kata 'aku menikahkan orang yang mewakilkan kepada kamu, bahkan menjadi tertentu, karena seorang wakil dibab bai' adalah seorang yang safar yang murni dan terkadangan khitab (sesuatu yang dicakapkan) tidak diperhitungkan, keterangan yang akan datang di dalam masalah al- mutawassith.



مغني المحتاج، الجزء ٤ الصحفة ٢٢٦

إنَّمَا يَصِحُّ النِّكَاحُ بِإِيجَابٍ، وَهُوَ) قَوْلُ الْوَلِيِّ (زَوَّجْتُكَ أَوْ أَنْكَحْتُك) ابْنَتِي مَثَلًا إلَخْ (وَقَبُولٌ) وَهُوَ (بِأَنْ يَقُولَ الزَّوْجُ تَزَوَّجْتُ) هَا (أَوْ نَكَحْتُ) هَا إلَخْ، وَحَذَفَ الْمُصَنِّفُ مَفْعُولُ هَذَيْنِ الْفِعْلَيْنِ مَعَ أَنَّهُ لَا بُدَّ مِنْهُ فِي صِحَّةِ النِّكَاحِ لِمَا يُشِيرُ إلَيْهِ قَوْلُهُ (أَوْ قَبِلْتُ نِكَاحَهَا) وَهُوَ مَصْدَرٌ بِمَعْنَى الْإِنْكَاحِ أَيْ قَبِلْتُ إنْكَاحَهَا كَمَا صَرَّحَ بِهِ جَمْعٌ مِنْ اللُّغَوِيِّينَ، وَصَحَّ حِينَئِذٍ كَوْنَهُ قَبُولًا لِقَوْلِ الْوَلِيِّ أَنْكَحْتُكَ (أَوْ) قَبِلْتُ (تَزْوِيجَهَا) أَوْ هَذَا النِّكَاحَ أَوْ التَّزْوِيجَ

Artinya : Sesungguhnya sahnya pernikahan harus dengan ijab, yakni seperti perkataan wali. "Saya kawinkan denganmu atau saya nikahkan denganmu putriku". Dan harus ada kabul yakni seperti perkataan calon suami ; "Aku kawini dia atau aku menikahinya".

Dalam redaksi matan minhaj ( تزوجت atau نكحت ). Musonnif seolah-olah membuang objek dari ke dua fi'il ini, padahal adanya obyek tersebut wajib untuk keabsahan nikah, namun sebenarnya mushonif tidak membuang maf'ul tersebut karena hal ini ditunjukkan oleh redaksi musonnif selanjutnya, yaitu perkataan : "atau qobul seperti "saya terima nikahnya". Kata nikah adalah bentuk masdar bermakna الانكاح, sehingga dengan demikian sahlah kabul atas ucapan wali "saya nikahkan denganmu" , atau bisa juga mengunakan kata "saya terima kawinnya" atau "saya terima pernikahan ini atau perkawinan ini".



مغني المحتاج، الجزء ٣ الصحفة ١٤٠

وكلامه يفهم اشتراط التخاطب، لكن قالا: لو قال المتوسط للولي زوجت ابنتك فلانا فقال: زوجتها لفلان ثم قال للزوج ؛
قبلت نكاحها فقال قبلت نكاحها انعقد النكاح لوجود الايجاب والقبول مرتبطين، بخلاف ما لو قالا أو أحدهما نعم، ولا بد أن يقول الولي: زوجتها لفلان، فلو اقتصر على زوجتها لم يصح كما يؤخذ من مسألة الوكيل، نبه على ذلك شيخي

Artinya: Dan Kalamnya mushonnif difahami pensyaratan saling berbicara namun beliau berkata : Seandainya mediator berbicara ke wali aku nikahkan anakmu kepada Fulan, lalu wali berkata : Aku nikahkan dia kepada Fulan kemudian suami berkata : Aku terima nikahnya dia / fulanah maka sah pernikahan tersebut karena adanya ijab dan qobul karena adanya korelasi kedua belah pihak.

Berbeda halnya jika keduanya berkata atau salah satu hanya berkata : iya, maka wali harus berkata : Aku nikahkan dia kepada Fulan, jika redaksinya hanya menyebut "Aku nikahkan dia" maka tidak sah sebagaimana dirilis dalam permasalahan wakil, guruku telah menjelaskan hal tersebut.


والله أعلم بالصواب

 و السلام عليكم ورحمة الله وبركاته 

 PENANYA

Nama : Moh. Kholil Abdul Karim
Alamat : Karas Magetan Jawa Timur
____________________________________

MUSYAWWIRIN :

Member Group WhatsApp Tanya Jawab Hukum

PENASEHAT :

Habib Ahmad Zaki Al-Hamid (Kota Sumenep Madura)
Habib Abdullah bin Idrus bin Agil (Tumpang Malang Jawa Timur)
Gus Abdul Qodir (Balung Jember Jawa Timur)

PENGURUS :

Ketua : Ust. Suhaimi Qusyairi (Ketapang Sampang Madura)
Wakil : Ust. Zainullah Al-Faqih (Umbul Sari Jember Jawa Timur)
Sekretaris : Ust. Moh. Kholil Abdul Karim (Karas Magetan Jawa Timur)
Bendahara : Ust. Syihabuddin (Balung Jember Jawa Timur)

TIM AHLI :

Kordinator Soal : Ust. Qomaruddin (Umbul Sari Jember Jawa Timur)
Deskripsi masalah : Ust. Taufik Hidayat (Pegantenan Pamekasan Madura)
Moderator : Ust. Hosiyanto Ilyas (Jrengik Sampang Madura)
Perumus + Muharrir : Kyai Mahmulul Huda (Bangsal Sari Jember Jawa Timur)
Editor : Ust. Taufik Hidayat (Pegantenan Pamekasan Madura)
Terjemah Ibarot : Kyai Muntahal A'la Hasbullah (Giligenting Sumenep Madura), Lusy Windari Jatilawang (Banyumas Jawa Tengah, Mohammad Azhar (Arjasa Sumenep Madura), Ahmad Alfadani (Balongbendo Sidoarjo Jawa Timur)
____________________________________________

Keterangan :

1) Pengurus, adalah orang yang bertanggung jawab atas grup ini secara umum

2) Tim Ahli, adalah orang yang bertugas atas berjalannya grup ini

3) Bagi para anggota grup yang memiliki pertanyaan diharuskan untuk menyetorkan soal kepada kordinator soal dengan via japri. Ya'ni tidak diperkenankan nge-share soal di grup secara langsung.

4) Setiap anggota grup boleh usul atau menjawab walaupun tidak bereferensi, namun tetap keputusan berdasarkan jawaban yang bereferensi.

5) Dilarang memposting iklan / video / kalam2 hikmah / gambar yang tidak berkaitan dengan pertanyaan. Sebab, akan mengganggu akan berjalannya tanya jawab.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Profil Group BM Nusantara (Tanya Jawab Hukum Online)

Hukum Anak Zina Lahir 6 Bulan Setelah Akad Nikah Apakah Bernasab Pada Yang Menikai Ibunya ?

Hukum Menjima' Istri Sebelum Mandi Besar ?