Hukum Tidak Berpuasa Ramadlan Karena Takut Terjangkit Virus Corona



HASIL KAJIAN BM NUSANTARA 
(Tanya Jawab Hukum Online)

السلام عليكم و رحمة الله وبركاته

DESKRIPSI

AL JAZAIR l : Seorang Politisi Aljazair, Noureddine Boukrouh telah menyerukan agar puasa Ramadhan 2020 ditunda karena dianggap bisa meningkatkan risiko kesehatan dan berkontribusi terpapar virus Corona. Mantan Kepala Partai Pembaruan Aljazair (PRA) ini menerbitkan sebuah artikel di Facebook dengan judul “Virus Corona dan peradaban.” Di dalam artikel tersebut ia menyerukan agar umat Muslim menangguhkan puasa tahun ini karena pandemi Covid-19.

“Umat Muslim harus (memilih) menunda berpuasa, karena tubuh yang lapar bisa meningkatkan kerentanannya (terinfeksi) dan dapat memicu penyebaran Covid-19, atau (mereka) memilih untuk tetap berpuasa dengan risiko penyebaran lebih luas virus tersebut,” tulis Boukrouh.

Artikel tersebut memicu gelombang kontroversi di Aljazair, terutama di media sosial. Beberapa orang melihat saran Boukrouh sebagai aturan yang merangsang yurisprudensi dalam menangani krisis Covid-19. Sementara, banyak pihak lain mengecamnya karena dinilai mengintervensi urusan “Murni soal agama Islam di mana hanya ahli agama dan medis yang bisa memastikannya.”

Baik Kementerian Agama maupun lembaga keagamaan lainnya di Aljazair tidak memberikan komentar tentang masalah ini.

PERTANYAAN:

Bagaimana hukum tidak berpuasa Romadhan bagi seseorang yang berada di wilayah Zona Merah, karena takut terjangkit Virus Corona?

JAWABAN:

Tidak boleh !, karena takut terjangkit virus corona adalah mafsadah yang mutawahhamah (diperkirakan) yang masih belum nyata (muhaqqaqah). Hal tersebut disamakan dengan hukum berbicara hal baik setelah Sholat Isya' tidak dimakruhkan karena khawatir lewatnya Sholat Shubuh yang masih diperkirakan (mauhumah).

REFERENSI:

حاشية البجيرمى على الخطيب، الجزء ٢ الصحفة ٣٩٩

وَيُكْرَهُ الْحَدِيثُ بَعْدَ فِعْلِهَا؛ لِأَنَّهُ كَانَ يَكْرَهُ ذَلِكَ إلَّا فِي خَيْرٍ، كَقِرَاءَةِ قُرْآنٍ وَحَدِيثٍ وَمُذَاكَرَةِ فِقْهٍ -الى ان قال- فَلَا كَرَاهَةَ، وَإِنَّ ذَلِكَ خَيْرٌ نَاجِزٌ. فَلَا يُتْرَكُ لِمُفْسِدَةٍ مُتَوَهَّمَةٍ
قَوْلُهُ: (لِمَفْسَدَةٍ مُتَوَهَّمَةٍ) وَهِيَ خَوْفُ فَوْتِ الصُّبْحِ. لَا يُقَالُ دَرْءُ الْمَفَاسِدِ مُقَدَّمٌ عَلَى جَلْبِ الْمَصَالِحِ الْمُشَارِ إلَيْهِ بِقَوْلِهِ إلَّا فِي خَيْرٍ؛ لِأَنَّا نَقُولُ مَحَلُّ ذَلِكَ إذَا كَانَتْ الْمَفْسَدَةُ مُحَقَّقَةً

Artinya : Makruh berbicara setelah melakukan Sholat Isya' karena Nabi SAW tidak menyukainya, kecuali berbica dalam hal kebaikan seperti membaca al Quran, belajar fiqh -sampai perkataan- maka (berbicara tersebut) tidak makruh karena termasuk kebaikan yang sempuna, maka tidak boleh ditinggal kerena mafsadah yang masih diperkirakan adanya (terlewatnya sholat subuh). Perkataan redaksi kitab (karena mafsadah yang mutawahhamah atau diperkirakan) yaitu kehawatiran lewatnya sholat subuh. Tidak bisa dikatakan bahwa "Menolak kemafsadahan (hawatir lewatnya waktu Shubuh) harus didahulukan dari pada menarik kemaslahatan yang direfrensikan dengan kata (berbicara) kecuali dalam kebaikan". Melainkan kita berkata bahwa posisi bahwa mafsadah itu didahulukan apabila mafsadah yang muhaqqaqah (nyata).


حاشية البجيرمى على الخطيب، الجزء ٢ الصحفة ٤٠٤

تَذْنِيبٌ: قَوْلُهُمْ دَرْءُ الْمَفَاسِدِ مُقَدَّمٌ عَلَى جَلْبِ الْمَصَالِحِ هَلْ هَذَا عَلَى سَبِيلِ الْوُجُوبِ أَوْ الْأَوْلَى؟
قُلْت رَأَيْنَا فِي بَعْضِ التَّأْلِيفِ لِأَكَابِرِ الشَّافِعِيَّةِ مَا نَصُّهُ: وَتَحْرِيرُهُ أَنْ يُقَالَ: الْمَفَاسِدُ عَلَى قِسْمَيْنِ مَظْنُونَةِ الْوُقُوعِ وَمُتَوَهَّمَتِهِ، فَالْأُولَى يَجِبُ رِعَايَتُهَا عَلَى جَلْبِ الْمَصَالِحِ 
وَالثَّانِيَةُ الْأَوْلَى رِعَايَتُهَا لَا وُجُوبُهَا اهـ أج مَعَ زِيَادَةٍ

Artinya : Perkataan Ulama’

"دَرْءُ الْمَفَاسِدِ مُقَدَّمٌ عَلَى جَلْبِ الْمَصَالِحِ"

Apakah qoidah ini wajib ataukah lebih utama (untuk dterapkan) ?. Saya menjawab; Kami melihat dalam sebagian karangan para pembesar Ulama’ Syafi'iyah sebagai berikut : Mafsadah ada dua, diduga kuat terjad, diperkirakan terjadi. Yang pertama yaitu mafsadah yang  diduga kuat terjadi, maka wajib dijaga  didahulukan dari pada menarik kemaslahatan. Yang kedua mafsadah yang diperkirakan terjadi tidak wajib untuk didahulukan.


والله أعلم بالصواب

 و السلام عليكم ورحمة الله وبركاته 


PENANYA 

Nama : Taufik Hidayat 
Alamat : Pegantenan Pamekasan Madura
_______________________________

MUSYAWWIRIN :

Member Group WhatsApp Tanya  Jawab Hukum. 

PENGURUS :

Ketua : Ust. Zainullah Al-Faqih
Wakil : Ust. Suhaimi Qusyairi
Sekretaris : Ust. Sholihin
Bendahara : Ust. Syihabuddin

TIM AHLI :

Kordinator Soal : Ust. Qomaruddin
Deskripsi masalah : Taufik Hidayat
Moderator : Ust. Zainullah Al-Faqih
Perumus : Ust. Asep Jamaluddin, Ust. Anwar Sadad, Ust. Zainul Qudsiy
Muharrir : Ust. Mahmulul Huda,
Editor : Ust. Hosiyanto Ilyas
Terjemah Ibarot : Ust. Robit Subhan, Ust. Abd. Lathif

PENASEHAT :

Habib Abdullah bin Idrus bin Agil
Gus Abd. Qodir
_________________________ 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Profil Group BM Nusantara (Tanya Jawab Hukum Online)

Hukum Anak Zina Lahir 6 Bulan Setelah Akad Nikah Apakah Bernasab Pada Yang Menikai Ibunya ?

Hukum Menjima' Istri Sebelum Mandi Besar ?