Hukum Sisa Dana Santunan Anak Yatim Mau Dikemanakan ?


HASIL KAJIAN BM NUSANTARA 
(Tanya Jawab Hukum Online)

السلام عليكم و رحمة الله وبركاته

DESKRIPSI:

Acara Santunan Anak Yatim sudah menjadi sebuah tradisi di tengah-tengah masyarakat yang dilakukan setiap bulan Muharram. Umumnya, acara Santunan Anak Yatim tersebut dilakukan oleh Ormas, Lembaga, atau kumpulan kepemudaan. Sementara dana yang dikumpulkan hasil dari uluran tangan dari para dermawan, baik itu perorangan, perusahaan atau pihak instansi. Tentu dana yang didapatkan oleh panitia tidak semua diberikan kepada Anak Yatim Piatu, tapi sebagian akan dialokasikan untuk sewa terop, panggung, konsumsi dan lain sebagainya, bahkan untuk keperluan transportasi panitia pelaksana.

PERTANYAAN:

Apa yang harus dilakukan oleh panitia, semisal setelah acara Santunan Anak Yatim, dana yang dikumpulkan masih tersisa? 

JAWABAN;

Sisa dana acara santunan Anak Yatim hukumnya diperinci:

a) Untuk dana yang dikhususkan buat anak yatim, maka wajib dihabiskan untuk diberikan kepada mereka (anak yatim) meskipun setelah selesainya acara santunan tersebut.

b) Untuk dana yang tidak dikhususkan (untuk acara santunan), maka bisa disimpan atau dialokasikan ke kegiatan positif yang serupa.

Dengan catatan ada kerelaan dari para donatur yang diketahui baik secara lisan, qorinah (indikasi) atau 'urf (adat) yang menunjukan bahwa si pemberi donasi membolehkan saldo tersebut digunakan untuk kegiatan positif lainnya.

REFERENSI:

تحفة الحبيب على شرح الخطيب، الجزء ٣ الصحفة ٢٦٩

وَلَوْ قَالَ: خُذْ وَاشْتَرِ لَك بِهِ كَذَا، تَعَيَّنَ الشِّرَاءُ بِهِ مَا لَمْ يُرِدْ التَّبَسُّطَ، أَيْ أَوْ تَدُلُّ قَرِينَةُ مَال عَلَيْهِ؛ لِأَنَّ الْقَرِينَةَ مُحَكَّمَةٌ هُنَا وَمِنْ ثَمَّ قَالُوا: لَوْ أَعْطَى فَقِيرًا دِرْهَمًا بِنِيَّةِ أَنْ يَغْسِلَ بِهِ ثَوْبَهُ، أَيْ وَقَدْ دَلَّتْ الْقَرِينَةُ عَلَى ذَلِكَ، تَعَيَّنَ لَهُ وَإِنْ أَعْطَاهُ كَفَنًا لِأَبِيهِ فَكَفَّنَهُ فِي غَيْرِهِ فَعَلَيْهِ رَدُّهُ لَهُ إنْ كَانَ قَصَدَ التَّبَرُّكَ بِأَبِيهِ لِفِقْهٍ أَوْ وَرَعٍ، قَالَ فِي الْمُهِمَّاتِ: أَوْ قَصَدَ الْقِيَامَ بِفَرْضِ التَّكْفِينِ وَلَمْ يَقْصِدْ التَّبَرُّعَ عَلَى الْوَارِثِ قَالَ الْأَذْرَعِيُّ: وَهَذَا ظَاهِرٌ إذَا عَلِمَ قَصْدَهُ. فَإِنْ لَمْ يَقْصِدْ ذَلِكَ فَلَا يَلْزَمُهُ رَدُّهُ بَلْ يَتَصَرَّفُ فِيهِ كَيْفَ شَاءَ إنْ قَالَهُ عَلَى سَبِيلِ التَّبَسُّطِ الْمُعْتَادِ، وَإِلَّا فَيَلْزَمُهُ رَدُّهُ أَخْذًا مِمَّا مَرَّ " فِي اشْتَرِ لَك بِهَذَا عِمَامَةً " رَوْضٌ وَشَرْحُهُ٠


Artinya : Apabila Seseorang berkata : "Ambillah uang ini dan buatlah untuk membeli. (Baju atau Es misalnya), maka orang yang diberi uang tadi harus membeli jenis barang yang telah ditentukan oleh si Pemberi.  Catatannya : selagi Pemberi tidak memberi keleluasaan untuk membeli barang selainnya, atau ada qorinah atau indikasi (tanda-tanda) dari Pemberi yang yang menunjukkan pada adanya keleluasaan untuk digunakan membeli barang yang lain. Karena status qorinah disini sangat menentukan (keterbatasan atau keleluasaan dalam penggunaan uang sumbangan itu). Berdasar hal ini para Ulama' berpendapat : "Apabila Seseorang memberikan uang kepada Seseorang yang Fakir, dengan niat tujuan agar si Fakir mencuci bajunya dan ada tanda-tanda yang jelas dari si-Pemberi akan tujuannya tersebut, maka bagi si Fakir harus mau mencuci baju si pemberi. Apabila seseorang memberi kafan kepada si-A untuk mengkafani ayah si-A, lalu si-A menggunakan kafan itu untuk mengkafani orang lain, maka si-A wajib menggantinya jika si Pemberi tadi bertujuan tabarruk (ngambil barokah) pada Ayah si-A karena kealiman fiqh atau karena wira'inya misalnya. Dalam Kitab Muhimmat juga disebutkan : atau si- Pemberi bertujuan melaksanakan kewajiban mengkafani mayyit misalnya, dan si-Pemberi bukan bertujuan untuk tabarru' (berbuat baik) pada ahli waris si mayyit misalnya (maka jika digunakan selain yang ditentukan, orang tersebut wajib menggantinya). Imam al-Adzroi berkata : "Hal ini adalah jelas jika memang penerima mengetahui tujuannya Pemberi, namun jika tidak mengetahui tujuannya, maka Dia tidak wajib mengembalikannya, bahkan Dia bebas menggunakan uang tersebut untuk apa saja yang Dia kehendaki, apabila si Pemberi mengatakan hal itu, namun maksudnya memberi keleluasaan sebagaimana umumnya kebiasaan. Namun apabila si Pemberi tidak memberikan keleluasaan, penerima wajib mengembalikannya, sebagaimana keterangan yang telah lewat dalam masalah kalimat "Gunakan uang ini untuk membeli sorban !".


فتح المعين، الصحفة ٤٠٠

وَلَوْ قَالَ: خُذْ وَاشْتَرِ لَك بِهِ كَذَا، تَعَيَّنَ الشِّرَاءُ بِهِ مَا لَمْ يُرِدْ التَّبَسُّطَ، أَيْ أَوْ تَدُلُّ قَرِينَةُ حاله عَلَيْهِ٠

Artinya : Apabila seseorang berkata : "Ambillah uang ini dan buatlah untuk membeli. (baju misalnya), maka orang yang diberi uang tadi harus membeli jenis barang yang telah ditentukan oleh si ada pemberi, selagi Pemberi tidak memberi keleluasaan untuk membeli barang selainnya, atau ada qorinah atau indikasi (tanda-tanda) yang menunjukkan pada adanya keleluasaan (ridlo) dari pihak pemberi untuk digunakan membeli barang lainnya.


إعانة الطالبين ، الجزء ٣ الصحفة ١٨٥

قال في التحفة: لِأَنَّ الْقَرِينَةَ مُحَكَّمَةٌ هُنَا، وَمِنْ ثَمَّ قَالُوا: لَوْ أَعْطَى فَقِيرًا دِرْهَمًا بِنِيَّةِ أَنْ يَغْسِلَ بِهِ ثَوْبَهُ، أَيْ وَقَدْ دَلَّتْ الْقَرِينَةُ عَلَى ذَلِكَ، تَعَيَّنَ لَهُ

Artinya : Imam Ibnu Hajar dalam kitab Tuhfatul Muhtaj berkata : "Karena qorinah atau  indikasi (tanda-tanda) dalam masalah ini menjadi penguat (ketetapan). Berdasar hal ini para ulama' berpendapat : "Apabila Seseorang memberikan uang kepada Seorang yang fakir dengan niat tujuan agar si fakir mencuci bajunya, dan ada tanda-tanda yang jelas dari si-pemberi akan tujuannya tersebut, maka bagi si fakir harus mau mencuci baju si pemberi. 
 

الفتاوي الفقهية الكبرى، الجزء ٤ الصحفة ١١٦

فمتى غلب على ظنه إن المالك يسمح بأخذ شيء معين من ماله جاز له أخذه ثم إن بان خلاف ظنه لزمه ضمانه

Artinya : Maka ketika ada dugaan yang kuat bahwa pemilik barang membiarkan (ridlo) barangnya diambil, maka boleh mengambilnya, namun ketika diambil terus secara jelas bertentangan dengan dugaannya (pemilik tidak ridlo), maka wajib baginya ganti rugi.


حاشية الباجوري، الجزء ٢ الصحفة ١٢٨

وعلم من ذالك أنه يجوز للإنسان أن يأخذ من مال غيره ما يظن رضاه به من دراهم وغيرها ويختلف ذالك باختلاف الناس والأموال فقد يسمح لشخص دون آخر وبمال دون آخر وينبغى له مراعاة النصفة مع الرفقة فلا يأخذ الا ما يخصه لا ما يزيد عليه من حقهم الا أن يرضوا بذالك عن طيب النفس لا عن حياء

Artinya : Dan telah diketahui dari hal tersebut di atas, bahwasanya boleh bagi seseorang mengambil harta orang lain sekadar yang diduga keridloannya dari dirham atau yang lainnya, dan berbeda hal tersebut dengan perbedaan orang dan harta, terkadang seorang ikhlas namun orang lain tidak, terkadang ikhlas dengan suatu harta tetapi tidak dengan barang lainnya, dan seharusnya bagi dia menjaga sifat asah serta asih, maka tidak boleh mengambil kecuali sesuatu yang memang khusus (sesuai kebutuhan) serta tidak melebihi dari hak mereka, kecuali mereka ridlo dengan hal tersebut, dengan keridloan yang timbul dari hati bulan karena malu.


الفتاوي الفقهية الكبرى، الجزء ٤ الصحفة ١١٦ 

وسئل : بما لفظه هل جواز الأخذ بعلم الرضا من كل شيئ أم مخصوص بطعام الضيافة :فأجاب : بقوله الذي دل عليه كلامهم أنه غير مخصوص بذلك وصرحوا بأن غلبة الظن كالعلم في ذلك وحينئذ فمتى غلب على ظنه أن المالك يسمح له بأخذ شيئ معين من ماله جاز له أخذه ثم إن بان خلاف ظنه لزمه ضمانه وإلا فلا

Artinya : Dan telah ditanya Mu'allif dengan satu hal yang kalimatnya : apakah kebolehan mengambil sesuatu karena diketahui keridlo'annya bersifat umum atau khusus untuk hidangan tamu ? Maka beliau menjawab dengan perkataannya : maksud dari perkataan para Ulama' menunjukkan bahwa hal tersebut tidak khusus untuk hidangan tamu, dan para Ulama' juga menjelaskan bahwa dugaan yang kuat seperti halnya mengetahui (keridloan) dengan demikian apabila ada dugaan yang kuat bahwa pemilik memperbolehkan mengambil sesuatu dari hartanya, maka boleh mengambilnya, namun apabila jelas dugaannya tidak demikian, maka wajib ganti rugi. Apabila tidak ada dugaan kuat bahwa pemilik membolehkan, maka tidak boleh diambil.

فتح الإله المنان من فتاوى الشيخ العلامة المحقق سالم بن سعيد بكير باغيثان، الصحفة ١٦١-١٦٣

 فقال العلامة الحبيب عبد الله بن عمر يحيى الذي نقلنا ملخص هذا الجواب عنه من أصل فتاواه : الذي أراه عدم جواز صرف هذه الأموال للعمارة لعدم ملك المسجد لها إذ لا يجوز قبض الصدقة إلا بإذن المتصدق ولم يوجد هنا إنتهى وحيث قلنا بملك المسجد المذكور لتلك الأموال فإن ملكها بالنذر ملكها ملكا مطلقا, فيصرفها ناظره في عمارته ومصالحه مقدما الأهم فالأهم كما هو الواجب عليه في كل تصرفاته

Artinya : Telah berkata al Allamah al Habib Abdulloh bin Umar Yahya yang telah kami nuqil dari inti jawaban fatawa aslinya: saya berpendapat tidak boleh menggunakan harta-harta tersebut untuk memakmurkan masjid, karena tidak adanya kepemilikan masjid atas harta tersebut, karena tidak boleh meng-qobd shodaqoh kecuali dengan izin pemberi shodaqoh, dan izin tersebut tidak ditemukan di kasus ini. Namun sekiranya kita berpendapat bahwa harta-harta tersebut milik masjid: apabila kepemilikan tersebut dengan jalan nadzar, maka menjadi kepemilikan mutlaq, maka nadzir boleh menggunakan harta tersebut untuk imaroh dan masholih dengan mengutamakan yang lebih urgen (penting) seperti kewajiban mentashorrufkannya. 

وإن ملكها بالهبة أو الصدقة المقبوضتين كما ذكرنا فيتعين صرفها فيما عينت له نظير ما ذكروه كما في التحفة وغيرها, فيمن أعطى أخر دراهم ليشتري له بها عمامة مثلا ودلت القرينة على أن قصده الصرف لما عينه له لا مجرد التبسط المعتاد أنه يلزمه شراء ما ذكر بها, وإن ملكها لأنه ملك مقيد بصرفها فيما عينه المعطي وما زاد يملكه المسجد ملكا مطلقا ولا يرد لأربابه 

Apabila kepemilikan tersebut dengan jalan hibah atau shodaqoh yang sudah diserah-terimakan seperti yang telah kami sebutkan, maka wajib mentashorrufkan sesuai ketentuan atau kesepakatan seperti yang telah disebut oleh para Ulama', seperti dalam kitab tuhfah dan lainnya, seseorang yang telah memberi uang pada orang lain untuk dibelikan sorban misalkan dan qorinah menunjukkan bahwa uang tersebut diberikan khusus untuk dibelikan sorban, maka wajib membeli sorban dengan uang tersebut, walaupun uang itu telah menjadi miliknya, karena uang tersebut menjadi kepemilikan yang terbatas dengan tujuan pemberi, adapun selebihnya menjadi milik masjid dengan status kepemilikan mutlak, dan tidak tidak usah dikembalikan kepada pemiliknya.


والله أعلم بالصواب

 و السلام عليكم ورحمة الله وبركاته 

PENANYA

Nama : Hosiyanto Ilyas
Alamat : Jrengik Sampang Madura 
____________________________________

MUSYAWWIRIN :

Member Group WhatsApp Tanya Jawab Hukum

PENASEHAT :

Habib Ahmad Zaki Al-Hamid (Kota Sumenep Madura)
Habib Abdullah bin Idrus bin Agil (Tumpang Malang Jawa Timur)
Gus Abdul Qodir (Balung Jember Jawa Timur)

PENGURUS :

Ketua : Ust. Suhaimi Qusyairi (Ketapang Sampang Madura)
Wakil : Ust. Zainullah Al-Faqih (Umbul Sari Jember Jawa Timur)
Sekretaris : Ust. Moh. Kholil Abdul Karim (Karas Magetan Jawa Timur)
Bendahara : Ust. Syihabuddin (Balung Jember Jawa Timur)

TIM AHLI :

Kordinator Soal : Ust. Qomaruddin (Umbul Sari Jember Jawa Timur)
Deskripsi masalah : Ust. Taufik Hidayat (Pegantenan Pamekasan Madura)
Moderator : Ust. Zainul Al-Qudsy (Sumber Sari Jember Jawa Timur )
Perumus : Ust. Muhammad Anshori (Ketanggungan Brebes Jawa Tengah)
Muharrir : Ust. Mahmulul Huda (Bangsal Sari Jember Jawa Timur)
Editor : Hosiyanto Ilyas (Jrengik Sampang Madura)
Terjemah Ibarot : Ust. Robit Subhan (Balung Jember Jawa Timur), Ust. Ahmad Marzuki (Cikole Sukabumi Jawa Barat)
____________________________________________

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Profil Group BM Nusantara (Tanya Jawab Hukum Online)

Hukum Penyembelihan Hewan Dengan Metode Stunning Terlebih Dahulu Halalkah ?

Hukum Menjima' Istri Sebelum Mandi Besar ?