Adakah Syarat Dan Rukun Suatu Pemberian Itu Untuk Bisa Dikatakan Riswah ?

HASIL KAJIAN BM NUSANTARA 
(Tanya Jawab Hukum Online)

 السلام عليكم و رحمة الله وبركاته

DESKRIPSI:

Badrun (nama samaran) duduk sebagai calon presiden, sebelum pesta rakyat tersebut dilaksanakan. Badrun jauh-jauh hari melakukan kampanye religi, sowan ke pelbagai kiai, hingga pelosok lingkungan masyarakat bawah dan negeri, begitu juga rivalnya yang juga melakukan safari politik sebagaimana Badrun.


Namun ada salah satu team atau  pendukung capres yang unik, mereka memberikan bakso secara cuma-cuma (sedekah) kepada halayak umum yang lewat di jalan raya. Mereka memberikan bakso dengan mangkok yang bergambarkan capres dan bertuliskan nama capres serta nomer pilih capres, mereka mengatakan kepada orang yang diberi bahwa pemberian ini murni sedekah, tidak ada iming-iming untuk memilih capres tersebut.

PERTANYAAN:

Adakah syarat dan rukun suatu pemberian itu untuk bisa dikatakan riswah?

JAWABAN:

Pemberian dikatakan risywah apabila pemberian tersebut bertujuan:

1) Menolak atau membatalkan kebenaran.

2) Memperoleh atau menghasilkan perkara bathil.

3) Agar supaya hati si qodli (pejabat) condong kepada si pemberi.

4. Pemberi mensyaratkan kepada penerima baik secara jelas ataupun adanya indikasi kuat untuk memilih terhadap pemberi.

REFERENSI:

اتحاف السادة المتقين، الحزء ٦ الصحفة ٧٦٠

وعبارة السبكي في فصل المقال وإن كان جاهه ولاية ولم يقصد حكما منه وإنما قصد استمالة قلبه عسى ان ينتفع به في مهماته وينال بمحبته خيرا، فهذا محل التردد يحتمل ان يقال ؛ إنه هدية لكونه ليس له غرض خاص ويحتمل ان يقال هو رشوة لكون المهدى اليه في مظنة الحكم٠ فاستدل الغزالي بحديث ابن اللتبية على التحريم٠ وبكون هذا وان كان القصد استمالة القلب من غير قصد خاص, خرج من قسم الهدية ودخل في قسم الرشوة بالحديث. والذي اقول ان هذا قسم متوسط بين الهدية والرشوة صورة حكما وان حكمه ان يجوز القبول ويوضع في بيت المال وحكم ما سواه من الهدايا يؤخذ ويتملكه المهدى له وحكم الرشوة ان لا يؤخذ بل يرد الى صاحبها٠


Artinya: Adapun redaksi Imam as-Subki dalam kitab Faslul Maqol yaitu ; Apabila posisi jabatan berhubungan dengan kewenangan kekuasaan hukum, namun pemberi tidak memiliki tujuan untuk mempengaruhi keputusan hukumnya, (dalam arti pemberi dalam keadaan tidak memiliki persoalan hukum atau kebijakan), namun si pemberi hanya ingin si Qodli hatinya simpati sama si pemberi, dengan harapan suatu saat itu bisa dimanfaatkan saat ada kebutuhan penting, dan mendapatkan perlakuan baik dari si Qodli, maka status pemberian seperti ini masih ambigu (belum jelas), jadi pemberian ini bisa diarahkan kepada : Bisa dikatagorikan sebagai hadiah, karena pada saat itu dia tidak sedang memiliki tujuan husus (semisal mempengaruhi keputusan hukum si Qodli diwaktu itu karena si pemberi sedang tidak ada kepentingan hukum saat itu) Bisa dikatagorikan sebagai sogokan (risywah) karena orang yang diberi hadiah (yaitu si Qodli) itu ada dalam pusaran yang bisa mempengaruhi suatu keputusan hukum (meskipun dimasa yang akan datang). Sedangkan Imam gozali berhujjah dengan hadis dari Ibnu al-Lutbiyah atas keharaman menerima hadiah (bagi pejabat), dan berdasarkan hadis ini. Meskipun tujuannya hanya biar hati si qodli (pejabat condong kepada si pemberi,) tanpa adanya tujuan husus, tetap keluar dari katagori hadiyah, dan tetap masuk kedalam katagori risywah berdasarkan hadis tersebut. Adapun pendapat saya pribadi (Sayyid Murtadlo zabidi) bahwasanya, pemberian hadiah kepada pejabat agar hatinya condong kepada pemberi, tanpa ada tendensi khusus saat itu) hukumnya masih ada diantara hadiah dan riswah, baik dalam bentuk maupun hukumnya, dan bahwasanya hukum dari hadiah tersebut adalah boleh diterima namun kemudian diserahkan ke baitul mal (kas negara). Adapun bentuk hadiah yang tanpa ada tujuan apa-apa sama sekali, maka boleh diterima dan dimiliki oleh si penerima hadiah. Adapun hukum risywah adalah tidak boleh diterima namun harus dikembalikan kepada pemiliknya.


فتاوى السبكي، الجزء ١ الصحفة ٤٠٥

وَمُلَخَّصُ كَلَامِ الْعُلَمَاءِ فِيمَا يُعْطِي الْحُكَّامُ الْأَئِمَّةَ وَالْأُمَرَاءَ وَالْقُضَاةَ وَالْوُلَاةَ وَسَائِرَ مَنْ وَلِيَ أَمْرًا مِنْ أُمُورِ الْمُسْلِمِينَ أَنَّهُ إمَّا رِشْوَةً وَإِمَّا هَدِيَّةً أَمَّا الرِّشْوَةُ فَحَرَامٌ بِالْإِجْمَاعِ عَلَى مَنْ يَأْخُذُهَا وَعَلَى مَنْ يُعْطِيهَا وَسَوَاءٌ كَانَ الْأَخْذُ لِنَفْسِهِ أَوْ وَكِيلًا وَكَذَا الْمُعْطِي سَوَاءٌ أَكَانَ عَنْ نَفْسِهِ أَوْ وَكِيلًا. وَيَجِبُ رَدُّهَا عَلَى صَاحِبِهَا وَلَا تُجْعَلُ فِي بَيْتِ الْمَالِ إلَّا إذَا جَهِلَ مَالِكُهَا فَتَكُونُ كَالْمَالِ الضَّائِعِ، وَفِي احْتِمَالٍ لِبَعْضِ مُتَأَخِّرِي الْفُقَهَاءِ أَنَّهَا تُجْعَلُ فِي بَيْتِ الْمَالِ؛ وَالْمُرَادُ بِالرِّشْوَةِ الَّتِي ذَكَرْنَاهَا مَا يُعْطَى لِدَفْعِ حَقٍّ أَوْ لِتَحْصِيلِ بَاطِلٍ٠ وَإِنْ أُعْطِيت لِلتَّوَصُّلِ إلَى الْحُكْمِ بِحَقٍّ فَالتَّحْرِيمُ عَلَى مَنْ يَأْخُذُهَا كَذَلِكَ ، وَأَمَّا مَنْ لَمْ يُعْطِهَا فَإِنْ لَمْ يَقْدِرْ عَلَى الْوُصُولِ إلَى حَقِّهِ إلَّا بِذَلِكَ جَازَ وَإِنْ قَدَرَ إلَى الْوُصُولِ إلَيْهِ بِدُونِهِ لَمْ يَجُزْ٠

Artinya : Dan adapun kesimpulan dari pendapat Ulama' tentang pemberian yang diberikan kepada para hakim, pemimpin, pejabat, jaksa, penguasa, maupun pemegang berbagai urusan muslimin, pemberian tersebut bisa termasuk risywah (suap atau sogokan) atau bisa termasuk hadiah. Adapun risywah itu hukumnya haram menurut Ijma' Ulama, baik bagi penerima maupun pemberi suap, baik diterima sendiri maupun diwakilkan, baik diberikan sendiri maupun dititipkan melalui wakil. Dan wajib mengembalikan risywah tersebut kepada pemiliknya, dan tidak boleh dimasukkan ke baitul mal kecuali jika pemiliknya tidak diketahui, maka hukumnya seperti barang yang tersia-siakan, namun menurut sebagian Ulama' mutaahirin ada yang mengarahkan agar risywah tersebut di masukkan ke baitul maal. Adapun yang dimaksud dengan risywah yang kami sebutkan adalah sesuatu yang diberikan dengan tujuan untuk menggagalkan suatu kebenaran atau untuk memuluskan jalan suatu kebatilan. Sedangkan pemberian yang diberikan untuk memuluskan suatu kebenaran maka keharaman tersebut hanya berlaku bagi penerima saja. Adapun apabila seseorang tidak bisa memuluskan suatu kebenaran (haknya) tanpa memberikan pemberian itu, maka hukum memberikannya adalah boleh. Sedangkan apabila jika tanpa memberikannya dia sudah bisa memperoleh haknya maka hukumnya tidak boleh.


روضة الطالبين وعمدة المفتين، الجزء ١١، تلصحفة ١٤٤ 

فرع قد ذكرنا أن الرشوة حرام مطلقا والهدية جائزة في بعض فيطلب الفرق بين حقيقتيهما مع أن الباذل راض فيهما والفرق من وجهين أحدهما ذكره ابن كج أن الرشوة هي التي يشرط على قابلها الحكم بغير الحق أو الامتناع عن الحكم بحق والهدية هي العطية المطلقة٠ والثاني قال الغزالي "في الإحياء" ؛  المال إما يبذل لغرض آجل فهو قربة وصدقة وإما لعاجل وهو إما مال فهو هبة بشرط ثواب أو لتوقع ثواب وإما عمل فإن كان عملا محرما أو واجبا متعينا فهو رشوة وإن كان مباحا فإجارة أو جعالة وإما للتقرب والتودد إلى المبذول له فإن كان بمجرد نفسه فهدية وإن كان ليتوسل بجاهه إلى أغراض ومقاصد فإن كان جاهه بالعلم أو النسب فهو هدية وإن كان بالقضاء والعمل فهو رشوة


Artinya : (Sub Masalah) Telah kami jelaskan bahwa tindakan suap menyuap hukumnya haram secara mutlak. Sedangkan hadiah pada beberapa kondisi itu boleh. Karenanya dituntut membedakan antara substansi kedua hal itu besertaan kerelaan si pemberi pada keduanya. Adapun perbedaannya bisa dilihat dari dua sisi. Pertama, disebutkan oleh Ibn Kajj, bahwa sungguh suap adalah bila si penerimanya disyaratkan memutuskan hukum yang tidak benar, atau mencegah keputusan hukum yang benar, sedangkan hadiah adalah pemberian bersifat mutlak. Kedua, dalam kitab Ihya ‘Ulum al-Din al-Ghazali berkata: “Harta diberikan adakalanya untuk maksud ukhrawi, yaitu pemberian yang dimaksud untuk taqarrub dan sedekah. Dan adakalanya untuk tujuan duniawi yang adakalanya berupa harta, yaitu pemberian dengan syarat imbalan atau mengharap imbalan. Dan adakalanya berupa perbuatan. Jika perbuatan tersebut merupakan perbuatan haram atau perbuatan yang sifatnya wajib ‘ain, maka pemberian itu adalah suap. Jika perbuatan tersebut bersifat mubah, maka pemberian itu adalah ijarah atau ju’alah. Dan adakalanya pemberian itu dimaksud untuk tujuan pendekatan atau mencari simpati dari pihak yang diberi. Dalam hal ini jika yang dimaksud sekedar pribadi orangnya, maka itu adalah hadiah, namun jika yang dimaksud agar menjadi sarana melalui kedudukan si penerima untuk tujuan dan maksud tertentu, maka jika kedudukannya berupa keilmuan atau keturunan, maka itu adalah hadiah, akan tetapi jika kedudukannya berupa keputusan hukum atau suatu pekerjaan, maka itu adalah suap.


رد المختار، الجزء ٥ الصحفة ٥٠٢

وَفِي الْأَقْضِيَةِ قَسَّمَ الْهَدِيَّةَ وَجَعَلَ هَذَا مِنْ أَقْسَامِهَا فَقَالَ؛ حَلَالٌ مِنْ الْجَانِبَيْنِ كَالْإِهْدَاءِ لِلتَّوَدُّدِ وَحَرَامٌ مِنْهُمَا كَالْإِهْدَاءِ لِيُعِينَهُ عَلَى الظُّلْمِ وَحَرَامٌ عَلَى الْآخِذِ فَقَطْ , وَهُوَ أَنْ يُهْدَى لِيَكُفَّ عَنْهُ الظُّلْمَ وَالْحِيلَةُ أَنْ يَسْتَأْجِرَهُ إلَخْ  قَالَ : أَيْ فِي الْأَقْضِيَةِ هَذَا إذَا كَانَ فِيهِ شَرْطٌ أَمَّا إذَا كَانَ بِلَا شَرْطٍ لَكِنْ يَعْلَمُ يَقِينًا أَنَّهُ إنَّمَا يُهْدِي لِيُعِينَهُ عِنْدَ السُّلْطَانِ فَمَشَايِخُنَا عَلَى أَنَّهُ لَا بَأْسَ بِهِ. وَلَوْ قَضَى حَاجَتَهُ بِلَا شَرْطٍ وَلَا طَمَعٍ فَأَهْدَى إلَيْهِ بَعْدَ ذَلِكَ فَهُوَ حَلَالٌ لَا بَأْسَ بِهِ

Artinya: Dalam Kitab al-Aqdliyyah, mushonnifnya mengelompokkan jenis-jenis hadiyah, dan memjadikan pemberian semacam ini termasuk salah satu dari beberapa macam hadiyah، musonnifnya menjelaskan :  Hadiyah yang halal baik untuk pemberi maupun penerima, contohnya memberikan suatu hadiah karena untuk memperkuat cinta antara pemberi dan penerima. (yakni hubungan cinta yang diperbolehkan tentunya). Hadiah yang hukumnya haram untuk kedua belah pihak. Contohnya : memberikan hadiah agar si penerima membantu si pemberi untuk melakukan perbuatan yang dzolim atau melanggar agama. Hadiah yang haram bagi si penerima saja, yaitu contohnya : memberikan hadiah untuk mencegah si penerima dari bertindak dzolim. Adapun solusinya supaya halal yaitu dengan  cara mempekerjakannya .Dalam kitab al-Aqdliyyah pengarang menjelaskan : Perincian hukum diatas apabila di dalam pemberian haidah tersebut terdapat syarat. Sedangkan apabila tidak ada syarat di dalamnya, namun di satu sisi diketahui secara yakin bahwa si pemberi memberi hadiah dengan tujuan agar si penerima membantunya dihadapan penguasa (yakni dengan tujuan untuk menegakkan kebenaran tentunya), maka para guru kami (dari kalangan Hanafi) menyatakan bahwa hal itu tidak apa-apa. Jikalau penguasa menunaikan hajat seseorang tanpa ada syarat dan juga tanpa berharap pemberian, tetapi kemudian orang yang dipenuhi hajatnya tersebut memberi hadiah kepadanya setelah keputusan tersebut, maka pemberian itu hukumnya halal, tidak apa-apa.


والله أعلم بالصواب

 و السلام عليكم ورحمة الله وبركاته 

 PENANYA

Nama : Ginanjar 
Alamat : Gondang Legi Malang Jawa Timur 
__________________________________

MUSYAWWIRIN :

Member Group BM Nusantara (Tanya Jawab Hukum Online)

PENASEHAT :

Habib Ahmad Zaki Al-Hamid (Kota Sumenep Madura)
Habib Abdullah bin Idrus bin Agil (Tumpang Malang Jawa Timur)
Gus Abdul Qodir (Balung Jember Jawa Timur)

PENGURUS :

Ketua : Ust. Suhaimi Qusyairi (Ketapang Sampang Madura)
Wakil : Ust. Zainullah Al-Faqih (Umbul Sari Jember Jawa Timur)
Sekretaris : Ust. Moh. Kholil Abdul Karim (Karas Magetan Jawa Timur)
Bendahara : Ust. Syihabuddin (Balung Jember Jawa Timur)

TIM AHLI :

Kordinator Soal : Ust. Qomaruddin (Umbul Sari Jember Jawa Timur), Ust. Faisol Umar Rozi (Proppo Pamekasan Madura) 
Deskripsi masalah : Ust. Taufik Hidayat (Pegantenan Pamekasan Madura)
Moderator : Ust. Hosiyanto Ilyas (Jrengik Sampang Madura)
Perumus : Ust. Arif Mustaqim (Sumbergempol Tulungagung Jawa Timur), KH. Abdurrohim (Maospati Magetan Jawa Timur)
Muharrir : Kyai Mahmulul Huda (Bangsal Sari Jember Jawa Timur)
Editor : Ust. Taufik Hidayat (Pegantenan Pamekasan Madura), Nurul Jannah (Tegalrejo Megelang Jawa Tengah) 
Terjemah Ibarot : Gus Robbit Subhan (Balung Jember Jawa Timur), Ust. Ahmad Marzuki (Cikole Sukabumi Jawa Barat),

________________________________________

Keterangan :

1) Pengurus, adalah orang yang bertanggung jawab atas grup ini secara umum

2) Tim Ahli, adalah orang yang bertugas atas berjalannya grup ini

3) Bagi para anggota grup yang memiliki pertanyaan diharuskan untuk menyetorkan soal kepada kordinator soal dengan via japri. Ya'ni tidak diperkenankan nge-share soal di grup secara langsung.

4) Setiap anggota grup boleh usul atau menjawab walaupun tidak bereferensi, namun tetap keputusan berdasarkan jawaban yang berreferensi.

5) Dilarang memposting iklan / video / kalam-kalam hikmah / gambar yang tidak berkaitan dengan pertanyaan. Sebab, akan mengganggu akan berjalannya tanya jawab.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Profil Group BM Nusantara (Tanya Jawab Hukum Online)

Hukum Penyembelihan Hewan Dengan Metode Stunning Terlebih Dahulu Halalkah ?

Hukum Menjima' Istri Sebelum Mandi Besar ?