Hukum Mengolah Seafood Tanpa Membuang Kotorannya

HASIL KAJIAN BM NUSANTARA 
(Tanya Jawab Hukum Online)


السلام عليكم و رحمة الله وبركاته

DESKRIPSI:

Udang, lobster, kepiting, adalah binatang yang hidup di perairan. Hewan ini sudah menjadi salah satu jenis seafood favorit di setiap kalangan seafood nikmat dibuat menjadi berbagai olahan baik direbus ataupun di goreng. Namun dalam mengolah makanan seafood ini, terkadang tanpa dibuang terlebih dahulu kotorannya. 

PERTANYAAN:

Bagaimana hukum mengolah makanan seafood seperti deskripsi di atas tanpa membuang kotorannya terlebih dahulu? 

JAWABAN:

Jika lobster, kepiting dan udangnya kecil, maka boleh dan halal. Jika udang, kepiting dan lobsternya besar, maka menurut qoul muktamad tidak boleh karena najis, dan menurut pendapat Syekh Romli di dalam kitab fatawinya boleh.

REFERENSI:

روضة الطالبين، الجزء ٣ الصحفة ٢٧٤-٢٧٥

ﻓﺼﻞ : اﻟﺤﻴﻮاﻥ اﻟﺬﻱ ﻻ ﻳﻬﻠﻜﻪ اﻟﻤﺎء ﺿﺮﺑﺎﻥ؛ ﺃﺣﺪﻫﻤﺎ: ﻣﺎ ﻳﻌﻴﺶ ﻓﻴﻪ، ﻭﺇﺫا ﺃﺧﺮﺝ ﻣﻨﻪ ﻛﺎﻥ ﻋﻴﺸﻪ ﻋﻴﺶ اﻟﻤﺬﺑﻮﺡ، كالسمك ﺑﺄﻧﻮاﻋﻪ، ﻓﻬﻮ ﺣﻼﻝ. ﻭﻻ ﺣﺎﺟﺔ ﺇﻟﻰ ﺫﺑﺤﻪ ﻛﻤﺎ ﺳﺒﻖ، ﻭﺳﻮاء ﻣﺎﺕ ﺑﺴﺒﺐ ﻇﺎﻫﺮ، ﻛﻀﻐﻄﺔ ﺃﻭ ﺻﺪﻣﺔ ﺃﻭ اﻧﺤﺴﺎﺭ ﻣﺎء ﺃﻭ ﺿﺮﺏ ﻣﻦ اﻟﺼﻴﺎﺩ، ﺃﻭ ﻣﺎﺕ ﺣﺘﻒ ﺃﻧﻔﻪ٠


Artinya : Pasal. Hewan - hewan yang tidak mati di dalam air itu ada 2 (dua) macam. Pertama : Hewan yang habitatnya memang di air saja, dan jika keluar dari air dia hanya punya kemampuan hidup sekadar waktu 'Aisy al-Madzbuh (lamanya seperti lama waktu hewan meregang nyawa) contohnya seperti macam-macam ikan. Maka hewan ini halal hukumnya, dan tidak butuh untuk disembelih, baik sebab kematiannya jelas, semisal terjepit, benturan, atau surut tak ada air, ataupun mati terkena pukulan pencari ikan, ataupun mati sendiri.

ﻭﺃﻣﺎ ﻣﺎ ﻟﻴﺲ ﻋﻠﻰ ﺻﻮﺭﺓ اﻟﺴﻤﻮﻙ اﻟﻤﺸﻬﻮﺭﺓ، ﻓﻔﻴﻪ ﺛﻼﺛﺔ ﺃﻭﺟﻪ. ﻭﻳﻘﺎﻝ: ﺛﻼﺛﺔ ﺃﻗﻮاﻝ؛ ﺃﺻﺤﻬﺎ: ﻳﺤﻞ ﻣﻄﻠﻘﺎ، ﻭﻫﻮ اﻟﻤﻨﺼﻮﺹ ﻓﻲ «اﻷﻡ» ، ﻭﻓﻲ ﺭﻭاﻳﺔ اﻟﻤﺰﻧﻲ ﻭاﺧﺘﻼﻑ اﻟﻌﺮاﻗﻴﻴﻦ؛ ﻷﻥ اﻷﺻﺢ ﺃﻥ اﺳﻢ اﻟﺴﻤﻚ ﻳﻘﻊ ﻋﻠﻰ ﺟﻤﻴﻌﻬﺎ٠ ﻭاﻟﺜﺎﻧﻲ: ﻳﺤﺮﻡ٠ ﻭاﻟﺜﺎﻟﺚ: ﻣﺎ ﻳﺆﻛﻞ ﻧﻈﻴﺮﻩ ﻓﻲ اﻟﺒﺮ، ﻛﺎﻟﺒﻘﺮ ﻭاﻟﺸﺎة، ﻓﺤﻼﻝ، ﻭﻣﺎ ﻻ، ﻛﺨﻨﺰﻳﺮ اﻟﻤﺎء ﻓﻲ ﻛﻠﺒﻪ، ﻓﺤﺮاﻡ٠ ﻓﻌﻠﻰ ﻫﺬا، ﻣﺎ ﻻ ﻧﻈﻴﺮ ﻟﻪ ﺣﻼﻝ٠

Adapun hewan yang tidak berupa ikan pada umumnya, maka ada 3 (tiga) pendapat : Pertama : Menurut Qoul Ashoh halal secara mutlak. Dan pendapat inilah yang disebutkan oleh Imam Syafi'i dikitab al-Umm, dan dalam riwayat Imam al-Muzani, serta dalam Ikhtilaf para Ulama' Iraq. Karena menurut qoul Ashoh kata "ikan" itu mencakup semua jenis ikan. Pendapat kedua adalah haram. Pendapat ketiga ialah apa yang serupa dengannya di daratan boleh dimakan contohnya sapi, kambing maka hewan laut itu halal, sedangkan jika yang serupa di darat haram seperti babi laut disamakan dengan anjing, maka hukumnya haram. Sehingga berdasarkan pendapat yang nomer tiga ini hewan laut yang tidak ada padanannya di darat, hukumnya halal.

ﻗﻠﺖ: ﻭﻋﻠﻰ ﻫﺬا ﻻ ﻳﺤﻞ ﻣﺎ ﺃﺷﺒﻪ اﻟﺤﻤﺎﺭ، ﻭﺇﻥ ﻛﺎﻥ ﻓﻲ اﻟﺒﺮ ﺣﻤﺎﺭ اﻟﻮﺣﺶ اﻟﻤﺄﻛﻮﻝ، ﺻﺮﺡ ﺑﻪ ﺻﺎﺣﺒﺎ «اﻟﺸﺎﻣﻞ» ﻭ «اﻟﺘﻬﺬﻳﺐ» ﻭﻏﻴﺮﻫﻤﺎ٠ ﻭاﻟﻠﻪ ﺃﻋﻠﻢ٠

Aku (Imam Nawawi) berpendapat : berdasarkan pendapat yang nomer tiga ini, hewan laut yang serupa dengan khimar (keledai) hukumnya tidak halal, meskipun di daratan khimar (keledai) liar itu boleh dimakan. Pendapat ini dijelaskan oleh pengarang kitab as-Syamil dan at-Tahdzib serta ulama' lainnya.


عيش البحر، الصحفة ٢-٤

الكفيطيع: من حيوان البحر الذى لايعيش الا فيه وهو يشبه الرجوعن وله ستة ارجل ذو فكين واظفار لكن ليس فى اظفاره مخلب كأظفار السرطان ذو الة العوم فى اواخر ارجله وشأنه ان يقدر عليه وانما سمى بذلك لربطه بعد ان يؤخذ عليه

Artinya : Kepiting adalah termasuk hewan laut yang tidak bisa hidup kecuali di dalam laut. Dia menyerupai rajungan dan memiliki enam kaki, serta mempunyai dua supit dan banyak kuku, akan tetapi kukunya tidak bertaring (tajam) sebagaimana kukunya sarothon, dan memiliki alat untuk mengambang atau berenang di beberapa kaki bagian belakang, dan mampu mengambang atau berenang. Dinamakan kepiting karena hewan tersebut diikat setelah ditangkap (supaya tidak mencapit penangkapnya).

فالكفيطيع حكمه حل الاكل لأن عيشه فى البر عيش مذبوح او عيش هى لايدوم ومن قال بتحريمه لم يأت على تحريمه دليل من قول العلماء -الى ان قال- وما ذكر فى الكتاب المجموع الجاوى أن الكفيطيع حرام لم يأت على تحريمه دليل ولا نقل من قول العلماء فلا يلتفت اليه

Maka kepiting hukumnya halal dimakan, karena kadar lama hidupnya di daratan hanyalah seperti kadar hidupnya hewan yang tersembelih atau hidupnya tidak lama. Dan barang siapa yang mengatakan haram maka dia tidak mempunyai dalil dari pendapat Ulama' -sampai ucapan- dan keterangan yang disebutkan dalam kitab "Al Majmu’ Al Jawi" yang menyatakan bahwa kepiting haram, hal itu tidak ada dalil keharamannya dan tidak ada penukilan dari pendapat Ulama', maka hal tersebut tidak perlu dihiraukan.


بغية المسترشدين، الصحفة ١٥

وقد اتفق ابن حجر وزياد و م ر وغيرهم على طهارة ما في جوف السمك الصغير من الدم والروث وجواز أكله معه وإنّه لا ينجس به الدهن بل جرى عليه م ر الكبير ايضا لأن لنا قولا قويا أن السمك لادم له

Artinya : Dan sungguh Imam Ibnu Hajar, Ibnu Ziyad dan Imam Romli dan selain mereka, semuanya bersepakat atas hukum sucinya kotoran ataupun darah yang ada didalam perut Ikan kecil serta bolehnya memakan Ikan kecil tersebut tanpa membuang kotorannya, dan kotoran Ikan kecil tersebut tidak menajiskan minyak, bahkan Imam Romli berpendapat Ikan besarpun juga demikian, karena kita memiliki pendapat yang kuat bahwa ikan itu merupakan hewan yang tidak memiliki darah.


نهاية المحتاج إلى شرح المنهاج، الجزء ٨ الصحفة ١٥١
 
قَوْلُهُ: وَيَحِلُّ أَكْلُ الصَّغِيرِ) وَكَذَا الْكَبِيرِ إنْ لَمْ يَضُرَّ: أَمَّا قَلْيُ الْكَبِيرِ وَشَيُّهُ قَالَ م ر: فَمُقْتَضَى تَقْيِيدِهِمْ حَلَّ ذَلِكَ بِالصَّغِيرِ حُرْمَتُهُ، وَأَقَرَّهُ سم عَلَى مَنْهَجٍ، وَيَنْبَغِي أَنَّ الْمُرَادَ بِالصَّغِيرِ مَا يَصْدُقُ عَلَيْهِ عُرْفًا أَنَّهُ صَغِيرٌ فَيَدْخُلُ فِيهِ كِبَارُ الْبِيسَارِيَةِ الْمَعْرُوفَةِ بِمِصْرَ وَإِنْ كَانَ قَدْرَ أُصْبُعَيْنِ مَثَلًا

Artinya : (Perkataan pensyarah : "Dan halal memakan ikan yang kecil bersama kotoran yang ada dalam perutnya). Demikian juga dengan ikan yang besar jika tidak membahayakan." Adapun menggoreng ikan yang besar dan membakarnya, maka Syekh Syamsuddin Ar-Ramli berkata : "Konsekuensi dari pembatasan para fuqoha madzhab Syafii terhadap kebolehan memakan ikan bersama kotorannya dengan dibatasi hanya untuk ikan yang kecil saja, adalah haramnya mengkonsumsi ikan besar bersama kotorannya. Dan Syekh Syihabuddin Ahmad bin Qosim Al-‘Abbadi menyetujui pendapat ini. Dan semestinya yang dimaksud dengan "batasan kecil" adalah semua ikan yang secara umum bisa dikatakan 'kecil'. Maka dari itu masih termasuk di dalam kategori ikan kecil : yaitu ikan besar dari jenis ''bisyariyah'' yang terkenal di Mesir, meskipun ukurannya sampai sebesar dua jari umpamanya.



الوسيط في المذهب، الجزء ١ الصحفة ١٥٤

الثَّانِي رَوْث السّمك وَالْجَرَاد وَمَا لَيْسَ لَهُ نفس سَائِلَة فَفِيهِ وَجْهَان أَحدهمَا نجس طردا للْقِيَاس وَالثَّانِي أَنه طَاهِر لِأَنَّهُ إِذا حكم بِطَهَارَة ميتتهما فكأنهما فى معنى النَّبَات وَهَذِه رطوبات فى بَاطِنهَا


Artinya : Kedua: Kotoran ikan, belalang, dan hewan yang tidak memiliki darah yang mengalir. Dalam hal ini, ada dua pendapat: Pertama: Najis, berdasarkan analogi (qiyas) dengan hewan darat yang najis. Kedua: Suci, karena jika bangkai hewan tersebut dihukumi suci, maka kotorannya sama dengan tumbuhan, dan kotoran tersebut adalah cairan yang ada di dalamnya.


إعانة الطالبين، الجزء ٢ الصحفة ٤٠٣
 
قوله: ويكره ذبح صغيرهما أي لما فيه من التعذيب٠ (قوله: وأكل مشوي إلخ) أي ويكره أكل سمك مشوي قبل تطييب جوفه، أي قبل إخراج ما في جوفه من المستقذرات٠

Artinya: (Perkataan Mushonnif : Makruh menyembelih ikan dan belalang yang masih kecil), yaitu karena hal tersebut termasuk penyiksaan. (Perkatan Mushonnif : Memakan ikan bakar dst), yaitu memakan ikan bakar sebelum dibersihkan bagian dalamnya, yaitu sebelum dikeluarkan kotoran-kotoran dari perutnya.

وظاهره أنه يجوز أكله مع ما في جوفه مطلقا، ولو كان كبيرا٠ وقيد في مبحث النجاسة جواز ذلك بالصغير، وعبارته هناك؛ ونقل في الجواهر عن الأصحاب: لا يجوز أكل سمك ملح ولم ينزع ما في جوفه أي من المستقذرات

Yang bisa difahami dari dhohir ungkapan mushonnif adalah : Kebolehan memakan ikan bersama kotorannya secara mutlak, walaupun itu ikan besar. Sedangkan dalam bab pembahasan najis, beliau membatasi hanya bolehnya mengkonsumsi ikan bersama kotorannya hanya pada ikan kecil. Nash ibarot beliau di situ : Imam Rouyani menukil dalam kitab Al Jawahir dari ashhab (ulama madzhab Syafii) : Tidak boleh mengkonsumsi ikan yang diasinkan tanpa mengeluarkan kotoran-kotoran dari perutnya. 

وظاهره : لا فرق بين كبيره وصغيره لكن ذكر الشيخان جواز أكل الصغير مع ما في جوفه لعسر تنقية ما فيه

Yang bisa difahami dari dhohir ungkapan mushonnif: Tidak ada perbedaan antara ikan besar dan ikan kecil. Sedangkan Imam Nawawi dan Rofi'i menyebutkan bahwa boleh mengkonsumsi ikan kecil tanpa membuang kotorannya, karena sulitnya membersihkan kotoran yang ada di dalamnya.


حاشية البجيرمي على الخطيب = تحفة الحبيب على شرح الخطيب، الجزء ٤ الصحفة ٣٢٤

قَوْلُهُ: (السَّمَكُ وَالْجَرَادُ) قَالَ فِي الْمِنْهَاجِ وَلَوْ صَادَهُمَا مَجُوسِيٌّ قَالَ الْمَحَلِّيُّ وَلَا اعْتِبَارَ بِفِعْلِهِ

Perkataan Syekh Khotib (ikan dan belalang): Imam Nawawi berkata dalam kitab Al-Minhaj : Ikan dan belalang yang diburu oleh orang Majusi tetap halal dimakan. Mahalli menambahkan bahwa perbuatan orang Majusi tidak menjadi pertimbangan dalam menentukan kehalalan hewan tersebut.

وَالسَّمَكُ هُوَ كُلُّ حَيَوَانٍ يَكُونُ عَيْشُهُ فِي الْبَحْرِ عَيْشَ مَذْبُوحٍ وَلَوْ عَلَى صُورَةِ الْخِنْزِيرِ مَثَلًا وَمِنْهُ الْقِرْشُ وَمِنْ السَّمَكِ مَا لَا يُدْرَكُ الطَّرَفُ أَوَّلُهُ وَآخِرُهُ لِكِبَرِهِ وَتَحِلُّ سَمَكَةٌ فِي قَلْبِ سَمَكَةٍ مَا لَمْ تَتَفَتَّتْ وَتَتَغَيَّرْ وَيَحِلُّ مَا طَفَا عَلَى وَجْهِ الْمَاءِ وَانْتَفَخَ مَا لَمْ يَضُرَّ، وَيَجُوزُ بَلْعُهُ وَقَلْيُهُ حَيًّا وَشَيُّهُ

Definisi Ikan: Ikan adalah semua hewan yang hanya bisa hidup di air, yang mana jika dipindah ke darat maka kondisinya seperti hewan sekarat (akan segera mati), meskipun bentuknya seperti babi umpamanya. Dan termasuk jenis ikan : adalah ikan hiu. Dan ada jenis ikan itu yang tidak terlihat ujung dan pangkalnya karena besarnya. Dan halal memakan ikan yang terdapat di dalam perut ikan lain selama belum hancur dan berubah. Dan juga halal memakan ikan yang mati mengapung di permukaan air dan menggembung, selama tidak membahayakan. Dan boleh menelan, menggoreng, atau membakar ikan dalam kondisi masih hidup.

وَلَا يَنْجُسُ الدُّهْنُ بِمَا فِي جَوْفِهِ مِنْ الرَّوْثِ إنْ كَانَ صَغِيرًا وَيَنْبَغِي أَنَّ الْمُرَادَ بِالصَّغِيرِ مَا يَصْدُقُ عَلَيْهِ عُرْفًا أَنَّهُ فَيَدْخُلُ فِيهِ كِبَارُ الْبَسَارِيَةِ الْمَعْرُوفَةِ بِمِصْرَ وَإِنْ كَانَ قَدْرَ أُصْبُعَيْنِ مَثَلًا كَمَا فِي ع ش عَلَى م ر. لَا إنْ كَانَ كَبِيرًا

Minyak yang digunakan untuk menggoreng ikan tidak menjadi najis karena kotoran yang ada di dalam perutnya, jika ikannya kecil. Ungkapan "Kecil" diartikan sebagai ukuran yang biasa disebut kecil secara umum. Maka dari itu ungkapan "Ikan kecil" memasukkan ikan besar jenis basaria yang terkenal di Mesir, meskipun ukurannya sampai sebesar dua jari. Begitulah penjelasan Syekh Ali Syabromallasi atas kitab Imam Romli. Jika ikannya besar, maka minyak yang digunakan menggoreng jadi najis sebab kotoran yang ada diperutnya.


شهاب الدين، فتاوى الرملي، الجزء ٤ الصحفة ٧٢

سُئِلَ) عَنْ السَّمَكِ هَلْ يُشْوَى وَيُطْبَخُ بِرَوْثِهِ فِي بَاطِنِهِ وَلَمْ يُغْسَلْ هَلْ يَحْرُمُ أَكْلُهُ أَمْ لَا وَهَلْ يَجِبُ غَسْلُ بَاطِنِ الْمُصْرَانِ؟

Artinya : Imam Syihabuddin Ar-Romli ditanya tentang masalah ikan, apakah ikan tersebut boleh langsung dipanggang atau dimasak bersama dengan kotoran yang ada di dalam perutnya dan belum dicuci, apakah haram hukum memakannya ataukah halal ? Dan apakah wajib mencuci bagian dalam organ ikan tersebut?

٠(فَأَجَابَ) بِأَنَّهُ يَجُوزُ أَكْلُهُ، وَالسَّلَفُ مَا زَالُوا يَتَسَاهَلُونَ فِي ذَلِكَ وَلَا يَجِبُ غَسْلُ بَاطِنِ مُصْرَانِهِ وَعُفِيَ عَنْ رَوْثِهِ لِعُسْرِ تَتَبُّعِهِ وَإِخْرَاجِهِ 

Imam Syihabuddin Ar-Romli menjawab: "Bahwasannya boleh memakan ikan tersebut, lagi pula ulama salaf selama ini memberikan kemudahan dalam hal itu. Dan juga tidak wajib mencuci bagian dalam ikan tersebut, dan hukum kotoran ikan tersebut dima'fu karena sulit untuk meneliti secara detail dan mengeluarkannya.


والله أعلم بالصواب

 و السلام عليكم ورحمة الله وبركاته 


PENANYA :

Nama : Nia
Alamat : Sigli, Peukan Baro, Pidie, Aceh
__________________________________

MUSYAWWIRIN

Anggota Grup BM Nusantara (Tanya Jawab Hukum Online)

PENASIHAT

Habib Ahmad Zaki Al-Hamid (Kota Sumenep, Madura)
Habib Abdullah bin Idrus bin Agil (Tumpang, Malang, Jawa Timur)
Gus Abdul Qodir (Balung, Jember, Jawa Timur)

PENGURUS

Ketua: Ustadz Suhaimi Qusyairi (Ketapang, Sampang, Madura)
Wakil: Ustadz Zainullah Al-Faqih (Umbul Sari, Jember, Jawa Timur)
Sekretaris: Ustadz Moh. Kholil Abdul Karim (Karas, Magetan, Jawa Timur)
Bendahara: Ustadz Syihabuddin (Balung, Jember, Jawa Timur)

TIM AHLI

Kordinator Soal: Ustadz Qomaruddin (Umbul Sari, Jember, Jawa Timur), Ustadz Faisol Umar Rozi (Proppo, Pamekasan, Madura) 
Deskripsi Masalah: Ustadz Taufik Hidayat (Pegantenan, Pamekasan, Madura)
Moderator: Ustadz Hosiyanto Ilyas (Jrengik, Sampang, Madura)
Perumus: KH. Abdurrohim (Maospati Magetan Jawa Timur), Ust. Arif Mustaqim (Sumbergempol Tulungagung Jawa Timur)
Muharrir: Kyai Mahmulul Huda (Bangsal Sari, Jember, Jawa Timur), K.H. Abdurrohim (Maospati, Magetan, Jawa Timur)
Editor: Ustadz Taufik Hidayat (Pegantenan, Pamekasan, Madura), Ustadzah Nuurul Jannah (Tegalrejo, Magelang, Jawa Tengah) 
Terjemah Ibarot : Ustadz Masruri Ainul Khayat (Kalimantan Barat), Gus Robbit Subhan (Balung, Jember, Jawa Timur)
________________________________________

Keterangan:

1) Pengurus adalah orang yang bertanggung jawab atas grup ini secara umum.

2) Tim ahli adalah orang yang bertugas atas berjalannya grup ini.

3) Bagi para anggota grup yang memiliki pertanyaan diharuskan untuk menyetorkan soal kepada koordinator soal dengan via japri, yakni tidak diperkenankan sharing soal di grup secara langsung.

4) Setiap anggota grup boleh usul atau menjawab walaupun tidak berreferensi. Namun, keputusan tetap berdasarkan jawaban yang berreferensi.

5) Dilarang posting iklan/video/kalam-kalam hikmah/gambar yang tidak berkaitan dengan pertanyaan, sebab akan mengganggu berjalannya diskusi.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Profil Group BM Nusantara (Tanya Jawab Hukum Online)

Hukum Anak Zina Lahir 6 Bulan Setelah Akad Nikah Apakah Bernasab Pada Yang Menikai Ibunya ?

Hukum Menjima' Istri Sebelum Mandi Besar ?