Cara Merujuk Istri dalam Masa Iddah Raj'i yang Benar

HASIL KAJIAN BM NUSANTARA
(Tanya Jawab Hukum Online)

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته 

DESKRIPSI:

Badriah (nama samaran) seorang istri yang ditalak dengan suaminya, baru 2 bulan masih dalam masa 'iddah, suaminya mengajak bertemu untuk bicara soal ruju'.
Suaminya mengatakan; "Saya ingin meruju'mu, akan tetapi kamu harus hamil dulu, lalu Badriah menjawab; "Iya saya mau". Kemudian setelah mereka bertemu, 
Suaminya menjima' Badriah. 

Badriah menceritakan kejadian ini pada seseorang Ustadz, namun Ustadz tersebut mengatakan bahwasanya hubungan jima'nya tersebut adalah zina, kecuali si suami saat menjima' berniat untuk merujuk Badriah. Karena Badriah merasa ragu dengan status dirinya apakah sudah terujuk atau belum, maka dia bertanya pada suaminya. Namun suaminya mengatakan; "Nanti kamu akan tahu jawabannya".

PERTANYAAN:

Apakah hubungan jima' seperti deskripsi di atas sudah menyebabkan Badriah teruju' ?

JAWABAN:

Menurut Madzhab Syafi'iyah hubungan jima' seperti deskripsi di atas tidak menyebabkan Badriah teruju', baik saat jima' berniat merujuk ataupun tidak, dan si suami terkena ta'zir sebab melakukan jima' tersebut, serta jima'nya termasuk wathi' syubhat yang tidak ada had baginya. Namun boleh bagi keduanya bertaqlid pada Imam Abu Hanifah setelah terjadinya jima' tersebut, agar rujuknya menjadi sah.

REFERENSI:

الإقناع في حل ألفاظ أبي شجاع، الجزء ٢ الصحفة ٤٤٩

تَنْبِيه قد علم مِمَّا تقرر أَن الرّجْعَة لَا تحصل بِفعل غير الْكِتَابَة وَإِشَارَة الْأَخْرَس المفهمة كَوَطْء ومقدماته وَإِن نوى بِهِ الرّجْعَة لعدم دلَالَته عَلَيْهَا

Artinya : (Pengingat) . Diketahui dari uraian di atas bahwasanya rujuk itu tidak sah dengan perbuatan kecuali jika berupa tulisan ataupun isyarat dari suami yang bisu. Contoh perbuatan seperti jima' maupun permualaannya, meskipun suami berniat ruju'. Pendapat ini beralasan bahwasanya di dalam perbuatan tersebut sama sekali tidak menunjukkan adanya ruju'. 


التدريب في الفقه الشافعي، الجزء ٣ الصحفة ٣٢٩

ولا تَحصُلُ الرَّجعةُ بفعْلٍ: مِنْ وَطْءٍ، وتَقْبيلٍ، وغيرِهما، وإنْ نَوى بذلك الرَّجعةَ على النَّصِّ المُعتمَدِ

Artinya : Dan ruju' itu tidak sah dengan suatu bentuk perbuatan, baik itu berupa jima', ciuman maupun selainnya, meskipun suami berniat ruju dengan perbuatan tersebut, hal ini berdasarkan pendapat Imam Syafi'i yang mu'tamad. 


الأم للشافعي، الجزء ٥ الصحفة ٢٦٠ 

قَالَ : وَلَوْ طَلَّقَهَا فَخَرَجَتْ مِنْ بَيْتِهِ فَرَدَّهَا إلَيْهِ يَنْوِي الرَّجْعَةَ أَوْ جَامَعَهَا يَنْوِي الرَّجْعَةَ أَوْ لَا يَنْوِيهَا وَلَمْ يَتَكَلَّمْ بِالرَّجْعَةِ لَمْ تَكُنْ هَذِهِ رَجْعَةً حَتَّى يَتَكَلَّمَ بِهَا٠ قَالَ : وَإِذَا جَامَعَهَا بَعْدَ الطَّلَاقِ يَنْوِي الرَّجْعَةَ أَوْ لَا يَنْوِيهَا فَالْجِمَاعُ جِمَاعُ شُبْهَةٍ لَا حَدَّ عَلَيْهِمَا فِيهِ، وَيُعَزَّرُ الزَّوْجُ وَالْمَرْأَةُ إنْ كَانَتْ عَالِمَةً، وَلَهَا عَلَيْهِ صَدَاقُ مِثْلِهَا، وَالْوَلَدُ لَاحِقٌ وَعَلَيْهَا الْعِدَّةُ

Artinya : Seandainya suami mentalak istri, kemudian istri keluar dari rumah suami, kemudian suami mengembalikan istri kerumah suami dengan niat rujuk atau suami menjimak istri dengan niat ruju' ataupun tidak, dan suami tidak mengucapkan kalimat ruju' ,maka semua perbuatan seperti ini tidak di hukumi ruju' sehingga suami mengucapkan kalimat ruju'. Apabila suami menjima' istrinya setelah talak, sama saja dia ada niat ruju ataupun tidak, maka jima' tersebut termasuk jima' syubhat yang tidak mengakibatkan hukuman had bagi suami istri, namun suami dan istri terkena hukuman ta'zir apabila istri mengetahui keharaman hal itu. Dan suami wajib memberikan mahar mitsil kepada istri, sedangkan anak yang tercipta dari hasil jima' syubhat tersebut di ilhaq-kan nasab nya kepada suami, dan istri wajib melakukan iddah.


الموسوعة الفقهية الكويتية، الجزء ٢٢ الصحفة ١١٢

وَالرَّجْعَةُ عِنْدَ الشَّافِعِيَّةِ لاَ تَصِحُّ بِالْفِعْل مُطْلَقًا، سَوَاءٌ كَانَ بِوَطْءٍ أَوْ مُقَدِّمَاتِهِ، وَسَوَاءٌ كَانَ الْفِعْل مَصْحُوبًا بِنِيَّةِ الزَّوْجِ فِي الرَّجْعَةِ أَوْ لاَ. وَحُجَّتُهُمْ فِي ذَلِكَ أَنَّ الْمَرْأَةَ فِي الطَّلاَقِ الرَّجْعِيِّ تُعْتَبَرُ أَجْنَبِيَّةً عَنِ الزَّوْجِ فَلاَ يَحِل لَهُ وَطْؤُهَا، وَالرَّجْعَةُ فِي الْعِدَّةِ تُعْتَبَرُ إِعَادَةً لِعَقْدِ الزَّوَاجِ، وَكَمَا أَنَّ عَقْدَ الزَّوَاجِ لاَ يَصِحُّ إِلاَّ بِالْقَوْل الدَّال عَلَيْهِ، فَكَذَا الرَّجْعَةُ لاَ تَصِحُّ إِلاَّ بِالْقَوْل الدَّال عَلَيْهَا أَيْضًا. فَلَوْ أَنَّ رَجُلًا وَطِئَ امْرَأَةً قَبْل عَقْدِ النِّكَاحِ فَوَطْؤُهُ حَرَامٌ، فَكَذَا الْمُطَلَّقَةُ الرَّجْعِيَّةُ لَوْ وَطِئَهَا الزَّوْجُ فِي الْعِدَّةِ فَوَطْؤُهُ هَذَا حَرَامٌ، وَقَدْ نَصَّ الشَّافِعِيُّ عَلَى ذَلِكَ فِي الأُمِّ بَعْدَ أَنْ بَيَّنَ أَنَّ الرَّجْعَةَ حَقٌّ لِلأَْزْوَاجِ

Artinya : Rujuk dengan perbuatan ( tidak dengan ucapan) dalam Mazhab Syafi'i hukumnya tidak sah secara mutlak, baik perbuatannya berupa mengumpuli istri atau hanya permulaannya (semisal bercumbu). Rujuknya tetap tidak sah, baik perbuatan tersebut dia barengi dengan niat rujuk ataupun tidak. Alasan para ulama yang berpendapat seperti di atas adalah : bahwa seorang wanita ketika ditalak raj'i, maka dia dianggap berstatus bukan istri lagi bagi si suami, sehingga tidak boleh bagi dia mengumpulinya. Sedangkan merujuk istri dalam masa iddah itu dianggap sebagai upaya untuk mengembalikan dia ke dalam status pernikahan. Maka sebagaimana akad nikah tidak sah kecuali dengan perkataan yang menunjukkan makna nikah, maka begitu juga dengan rujuk, hukumnya tidak sah kecuali dengan perkataan yang menunjukkan makna rujuk. Maka dari itu jika ada seorang lelaki mensetubuhi seorang wanita sebelum akad nikah, maka perbuatan tersebut dianggap haram. Maka begitu juga jika seorang wanita yang ditalak raj'i di setubuhili oleh suami ketika masa iddah, maka hukumnya juga haram. Dan Imam Syafi'i telah menjelaskan secara tegas permasalahan ini dalam kitab Al  Umm setelah beliau menjelaskan bahwa rujuk adalah haknya para suami.


الموسوعة الفقهية الكويتية، الجزء ٣٠ الصحفة ٢٧١

وَقَدْ شُرِعَ التَّعْزِيرُ فِي الْمَعَاصِي الَّتِي لَا يَكُونُ فِيهَا حُدُودٌ وَلَا كفارة  وَعَدَمُ التَّقْدِيرِ فِي الْعُقُوبَاتِ التَّعْزِيرِيَّةِ لَا يَعْنِي جَوَازَ وَمَشْرُوعِيَّةً جَمِيعِ أَنْوَاعِ الْعُقُوبَاتِ فِي التَّعْزِيرِ، فَهُنَاكَ عُقُوبَاتٌ لَا يَجُورُ إيقاعُهَا كَعُقُوبَةٍ تَعْزِيرِيَّةٍ، مِثْل الضَّرْبِ المتلف وصفع الوجه والْحَرْقِ، وَالكَيِّ، وَخَلْقِ اللَّحْيَة وَأَمْثَالِهَا . وَهُنَاكَ عُقُوبَاتٌ تَعْزِيرِيَّةٌ مَشْرُوعَةٌ يَخْتَارُ مِنْهَا الْقَاضِي مَا يَرَاهُ مُنَاسِبًا لِحَالَةِ الْمُجْرِمِ تَحْقِيفًا لِأَعْرَاضِ التَّعْزِيرِ مِنَ الإِصْلاح وَالتَّأْدِيبِ، كَعْقُوبَةِ الْجَلْدِ وَالْحَبْسِ وَالتَّوْبِيحَ وَالْهَجْرِ وَالتَّعْزِيرِ بِالْمَالِ وَنَحْوِهَا

Artinya : Sungguh hukuman ta'zir itu telah disyariatkan sebagai hukuman atas maksiat-maksiat yang tidak ada ketentuan had dan kaffarah di dalamnya. Dan tidak adanya ukuran/batasan tertentu di dalam hukuman-hukuman yang bersifat sekedar ta'zir  itu tidak berarti bahwa melakukan semua jenis hukuman itu di perbolehkan. Maka di sana telah disebutkan jenis hukuman-hukuman yang tidak boleh diterapkan ketika mentakzir, seperti : pukulan yang bisa menyebabkan kematian, menampar wajah, membakar, menempelkan besi panas, mencukur jenggot sampai habis dan perkara-perkara lain yang serupa. Dan di sana juga telah dijelaskan mengenai hukuman-hukuman ta'zir yang disyariatkan, dan seorang qodhi lah yang berhak menentukan mana yang lebih layak untuk pelaku kriminal dengan tujuan untuk merealisasikan tujuan-tujuan dari takzir yaitu memperbaiki dan mendidik pelaku, seperti hukuman cambuk, penjara, dicela di depan umum, diasingkan, dihukum dengan denda dan lain-lain.


الموسوعة الفقهية الكويتية، الجزء ٣٨ الصحفة ٣٥٦

فَمَذْهَبُ الْحَنَفِيَّةِ وَالْمَالِكِيَّةِ أَنَّ الْجِمَاعَ وَمُقَدِّمَاتِهِ تَصِحُّ بِهِمَا الرَّجْعَةُ، فَلَوْ وَطِئَهَا أَوْ لَمَسَهَا بِشَهْوَةِ، أَوْ نَظَرَ إِلَى فَرْجِهَا بِشَهْوَةِ، أَوْ قَبَّلَهَا تَصِحُّ الرَّجْعَةُ، وَاشْتَرَطَ الْمَالِكِيَّةُ لِصِحَّةِ الرَّجْعَةِ النِّيَّةَ

Artinya : Mazhab Hanafi dan Maliki berpendapat bahwa menggauli istri dan permulaannya (semisal bercumbu) itu sudah dihukumi sah sebagai rujuk. Maka jika seseorang menggauli istrinya, atau menyentuhnya dengan syahwat atau melihat kepada kemaluan istrinya dengan syahwat atau menciumnya, maka ini semua dianggap sebagai rujuk yang sah. Adapun mazhab Maliki menambahkan syarat bahwa keabsahnya rujuk itu harus dibarengi dengan niat.


بغية المسترشدين، الصحفة ١٦
 
مسئلة ك:  يجوز التقليد بعد العمل بشرطين: أن لا يكون حال العمل عالماً بفساد ما عنّ له بعد العمل تقليده، بل عمل نسيان للمفسد أو جهل بفساده وعذر به، وأن يرى الإمام الذي يريد تقليده جواز التقليد بعد العمل. فمن أراد تقليد أبي حنيفة بعد العمل سأل الحنفية عن جواز ذلك، ولا يفيده سؤال الشافعية حينئذ، إذ هو يريد الدخول في مذهب الحنفي، ومعلوم أنه لا بد من شروط التقليد المعلومة زيادة على هذين اهـ وفي ي نحوه، وزاد: ومن قلد من يصح تقليده في مسألة صحت صلاته في اعتقاده بل وفي اعتقادنا، لأنا لا نفسقه ولا نعدّه من تاركي الصلاة، فإن لم يقلده وعلمنا أن عمله وافق مذهباً معتبراً، فكذلك على القول بأن العامي لا مذهب له، وإن جهلنا هل وافقه أم لا لم يجز الإنكار عليه

Artinya : (Masalah yang disebutkan dalam Fatawa al-Kurdi). Boleh seseorang bertaqlid pada suatu Madzhab meskipun setelah amal dengan 2 syarat : Ketika beramal Dia tidak tahu bahwa apa yang dilakukannya itu rusak (tidak sah) menurut Madzhab yang Dia ikuti namun Dia baru tahu rusaknya tersebut setelah Dia sudah melakukannya. Hal ini hukumnya seperti orang yang melakukan hal yang membatalkan karena lupa, atau karena tidak tahu bahwa hal itu membatalkan atau Dia udzur. Imam yang akan Dia ikuti membolehkan taqlid ba'da amal. Maka barang siapa yang ingin mengikuti pendapat Imam Hanafi maka Dia harus bertanya pada pengikut Madzhab Hanafi tentang kebolehan taqlid bada (setelah) amal. Dan bagi orang tersebut tidak ada faedahnya jika dia bertanya pada pengikut madzhab syafi'i karena Dia ingin masuk ke madzhab Hanafi. Dan sudah dimaklumi bahwasanya orang tersebut juga harus memenuhi syarat-syarat taqlid sebagamana yang telah diketahui, hal ini sebagai syarat tambahan dalam taqlid ba'da amal disamping dua syarat di atas. Dalam fatawa syekh Abdulloh bin Umar terdapat tambahan keterangan : Dan siapa saja yang bertaklid dalam satu masalah, kepada imam yang madzhabnya sah atau boleh diikuti, maka sholatnya sah menurut dia bahkan sah menurut kita, karena kita tidak menganggap dia berbuat fasiq dan kita tidak menganggapnya meninggalkan sholat. Lalu apabila orang tersebut tidak taqlid terhadap salah satu Mujtahid namun kita tahu bahwa amalnya tersebut cocok dengan salah satu Madzhab yang diakui, maka amalnya tersebut hukumnya sah berdasar pendapat yang menyatakan : "Orang awam itu tidak punya madzhab". Dan apabila kita tidak tahu apakah amal orang tersebut cocok atau tidak dengan salah satu madzhab maka kita tidak boleh ingkar dengan amal yang dia lakukan.



والله أعلم بالصواب

 و السلام عليكم ورحمة الله وبركاته


PENANYA

Nama : Rummanah 
Alamat : Kedungdung, Sampang, Madura
__________________________________

MUSYAWWIRIN

Anggota Grup BM Nusantara (Tanya Jawab Hukum Online)

PENASIHAT

Habib Ahmad Zaki Al-Hamid (Kota Sumenep, Madura)

PENGURUS

Ketua: Ustadz Suhaimi Qusyairi (Ketapang, Sampang, Madura)
Wakil: Ustadz Zainullah Al-Faqih (Umbul Sari, Jember, Jawa Timur)
Sekretaris: Ustadz Moh. Kholil Abdul Karim (Karas, Magetan, Jawa Timur)
Bendahara: Ustadz Supandi (Pegantenan, Pamekasan, Madura)

TIM AHLI

Kordinator Soal: Ustadz Qomaruddin (Umbul Sari, Jember, Jawa Timur), Ustadz Faisol Umar Rozi (Proppo, Pamekasan, Madura) 
Deskripsi Masalah: Ustadz Taufik Hidayat (Pegantenan, Pamekasan, Madura)
Moderator: Ustadz Hosiyanto Ilyas (Jrengik, Sampang, Madura)
Perumus: Ustadz Taufik Hidayat (Pegantenan, Pamekasan, Madura)
Muharrir: Kyai Mahmulul Huda (Bangsal Sari, Jember, Jawa Timur), K.H. Abdurrohim (Maospati, Magetan, Jawa Timur)
Editor: Ustadz Taufik Hidayat (Pegantenan, Pamekasan, Madura), Ustadzah Nuurul Jannah (Tegalrejo, Magelang, Jawa Tengah) 
Terjemah Ibarot : Ustadz Rahmatullah Metuwah (Babul Rahmah, Aceh Tenggara, Aceh), Gus Robbit Subhan (Balung, Jember, Jawa Timur), Ustadzah Lusy Windari (Jatilawang, Banyumas, Jawa Tengah)
Mushohhih terjemahan : K.H. Abdurrohim (Maospati, Magetan, Jawa Timur)

________________________________________

Keterangan:

1) Pengurus adalah orang yang bertanggung jawab atas grup ini secara umum.

2) Tim ahli adalah orang yang bertugas atas berjalannya grup ini.

3) Bagi para anggota grup yang memiliki pertanyaan diharuskan untuk menyetorkan soal kepada koordinator soal dengan via japri, yakni tidak diperkenankan -sharing- soal di grup secara langsung.

4) Setiap anggota grup boleh usul atau menjawab walaupun tidak berreferensi. Namun, keputusan tetap berdasarkan jawaban yang berreferensi.

5) Dilarang -posting- iklan/video/kalam-kalam hikmah/gambar yang tidak berkaitan dengan pertanyaan, sebab akan mengganggu berjalannya diskusi.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Profil Group BM Nusantara (Tanya Jawab Hukum Online)

Hukum Penyembelihan Hewan Dengan Metode Stunning Terlebih Dahulu Halalkah ?

Hukum Menjima' Istri Sebelum Mandi Besar ?