Solusi Ketika Wali Tidak Mau Menikahkan Anaknya dengan Laki-laki Pilihan Anak karena Tidak Sekufu

HASIL KAJIAN BM NUSANTARA
(Tanya Jawab Hukum Online)

السلام عليكم و رحمة الله وبركاته


DESKRIPSI:

Badriyah sangat mencintai Badrun (keduanya nama samaran) meskipun Badrun sebetulnya tidak sekufu dengan Badriyah, karena Badrun anak seorang penjahit kecil-kecilan, sedangkan Badriyah merupakan putri seorang saudagar kaya raya. Oleh sebab itu, ayah Badriyah tidak mau menikahkannya karena Badrun tidak sekufu dengan Badriyah. 

PERTANYAAN:

Bagaimana solusinya jika Badriyah tetap ingin menikah dengan Badrun, sedangkan ayahnya bersikukuh tidak mau menikahkannya dengan Badrun? 

JAWABAN:

Solusinya adalah menunggu izin orang tua, karena hak perwaliannya tidak berpindah kepada yang lain baik hakim atau wali ab'ad


REFERENSI:

تحفة المحتاج في شرح المنهاج وحواشي الشرواني والعبادي، الجزء ٧، الصحفة ٢٧٧

فَيَجُوزُ أَنْ يَكُونَ زَوَّجَهَا وَلِيٌّ خَاصٌّ بِرِضَاهَا وَخَصَّ جَمْعٌ ذَلِكَ بِمَا إذَا لَمْ يَكُنْ تَزْوِيجُهُ لِنَحْوِ غَيْبَةِ الْوَلِيِّ أَوْ عَضْلِهِ أَوْ إحْرَامِهِ وَإِلَّا لَمْ يَصِحَّ قَطْعًا لِبَقَاءِ حَقِّهِ وَوِلَايَتِهِ وَعَلَى الْأَوَّلِ لَوْ طَلَبَتْ وَلَمْ يُجِبْهَا الْقَاضِي فَهَلْ لَهَا تَحْكِيمُ عَدْلٍ وَيُزَوِّجُهَا حِينَئِذٍ مِنْهُ لِلضَّرُورَةِ أَوْ يَمْتَنِعُ عَلَيْهِ كَالْقَاضِي؟

Artinya: Maka boleh jadi yang menikahkan Sayyidah Fatimah binti Qais adalah wali khoshnya dengan ridhanya bukan Baginda Nabi. Kemudian sekumpulan ulama mengkhususkan kebolehan sulthon menikahkan seorang perempuan dengan yang tidak sekufu karena permintaan perempuan ketika ia menikahkan bukan disebabkan tidak adanya wali, atau 'adlolnya wali, atau ihramnya wali. Jika tidak demikian, maka tidak sah pernikahan tersebut secara pasti disebabkan masih tetapnya haknya dan kewaliannya. Maka jika ikut pendapat yang pertama, yaitu tidak sah jika seorang perempuan minta dinikahkan dengan yang tidak sekufu kemudian qodhi tidak menurutinya, maka apakah boleh bagi perempuan untuk mengangkat seseorang yang adil untuk menikahkan dirinya ketika itu karena keadaan yang darurat atau tidak boleh seperti qodli?

مَحَلُّ نَظَرٍ وَلَعَلَّ الْأَوَّلَ أَقْرَبُ إنْ لَمْ يَكُنْ فِي الْبَلَدِ حَاكِمٌ يَرَى ذَلِكَ لِئَلَّا يُؤَدِّيَ ذَلِكَ إلَى فَسَادِهَا ولِأَنَّهُ لَيْسَ كَالنَّائِبِ بِاعْتِبَارَيْهِ السَّابِقَيْنِ ثُمَّ رَأَيْت جَمْعًا مُتَأَخِّرِينَ بَحَثُوا أَنَّهَا لَوْ لَمْ تَجِدْ كُفُؤًا وَخَافَتْ الْعَنَتَ لَزِمَ الْقَاضِيَ إجَابَتُهَا قَوْلًا وَاحِدًا لِلضَّرُورَةِ كَمَا أُبِيحَتْ الْأَمَةُ لِخَائِفِ الْعَنَتِ اهـ وَهُوَ مُتَّجَهٌ مُدْرَكًا وَاَلَّذِي يُتَّجَهُ نَقْلًا مَا ذَكَرْته أَنَّهُ إنْ كَانَ فِي الْبَلَدِ حَاكِمٌ يَرَى تَزْوِيجَهَا مِنْ غَيْرِ الْكُفُؤِ تَعَيَّنَ فَإِنْ فُقِدَ وَوَجَدَتْ عَدْلًا تُحَكِّمُهُ وَيُزَوِّجُهَا تَعَيَّنَ فَإِنْ فُقِدَا تَعَيَّنَ مَا بَحَثَهُ هَؤُلَاءِ

Artinya: Maka ini perlu pertimbangan, mungkin pendapat yang pertama lebih dekat kepada kebenaran jika tidak ada hakim di daerah tersebut yang berpendapat demikian agar perempuan tidak rusak dan dikarenakan muhakkam bukan seperti wakil dengan dua pertimbangan yang telah lewat. Kemudian aku melihat sekelompok ulama muta’akhir membahas bahwa seorang perempuan jika ia tidak mendapatkan laki-laki yang sekufu/setara dan dia khawatir berbuat zina maka seorang qodhi harus memenuhi permintaan perempuan untuk dinikahkan dengan yang tidak sekufu karena darurat tanpa ada khilaf sebagaimana seorang budak perempuan boleh dinikahi ketika seorang laki-laki khawatir akan berbuat zina. Pendapat ini unggul dari arah pengambilan hukum, tetapi dari segi penukilan yang unggul adalah yang telah aku sebutkan bahwa jika di daerah tersebut ada hakim yang berpendapat boleh menikahkannya dengan yang tidak sekufu, maka hakim tersebut harus menikahkannya. Akan tetapi, jikalau tidak ada hakim yang berpendapat demikian, tetapi hanya ada orang yang adil, maka perempuan tersebut harus mengangkatnya sebagai muhakkam untuk menikahkan dirinya. Jikalau kedua-duanya tidak ada, maka harus menggunakan pendapat yang telah dibahas oleh ulama muta’akhirin.


 -الى ان قال- أَمَّا الْقَاضِي فَلَا يَصِحُّ لَهُ تَزْوِيجُهَا لِغَيْرِ كُفْءٍ وَإِنْ رَضِيَتْ بِهِ عَلَى الْمُعْتَمَدِ إنْ كَانَ لَهَا وَلِيٌّ غَائِبٌ أَوْ مَفْقُودٌ لِأَنَّهُ كَالنَّائِبِ عَنْهُ فَلَا يُتْرَكُ الْحَظُّ لَهُ وَبَحَثَ جَمْعٌ مُتَأَخِّرُونَ أَنَّهَا لَوْ لَمْ تَجِدْ كُفُؤًا أَوْ خَافَتْ الْفِتْنَةَ لَزِمَ الْقَاضِيَ إجَابَتُهَا لِلضَّرُورَةِ 

Artinya: (-sampai pada ucapan-) Adapun seorang qodhi, maka tidak sah menikahkan seorang perempuan dengan laki-laki yang tidak sekufu walaupun wanita tersebut ridha menurut pendapat yang mu'tamad jika ia memiliki wali yang sedang tidak ada di tempat atau hilang. Dikarenakan seorang qodhi itu seperti wakil dari wali sehingga haknya wali tidak boleh ditinggalkan. Sekumpulan ulama muta’akhir membahas bahwa seorang perempuan yang tidak mendapati laki-laki yang sekufu dan ia khawatir akan timbul fitnah, maka seorang qodhi harus memenuhi permintaannya perempuan untuk dinikahkan dengan yang tidak sekufu karena darurat.


قَالَ شَيْخُنَا وَهُوَ مُتَّجَهٌ مُدْرَكًا أَمَّا مَنْ لَيْسَ لَهَا وَلِيٌّ أَصْلًا فَتَزْوِيجُهَا الْقَاضِيَ لِغَيْرِ كُفْءٍ بِطَلَبِهَا التَّزْوِيجَ مِنْهُ صَحِيحٌ عَلَى الْمُخْتَارِ خِلَافًا لِلشَّيْخَيْنِ اه

Artinya: Imam Ibnu Hajar mengatakan pendapat inilah yang unggul dilihat dari pengambilan dalil. Adapun yang sama sekali tidak memiliki wali, maka boleh bagi qodhi untuk menikahkannya dengan yang tidak sekufu sesuai permintaannya perempuan. Menurut pendapat yang kuat secara dalil berbeda dengan pendapatnya Imam Nawawi dan Imam Rofi'i.


وَعِبَارَةُ الْبُجَيْرِمِيِّ عَلَى الْمَنْهَجِ قَوْلُهُ: لَا إنْ زَوَّجَهَا لَهُ حَاكِمٌ فَلَا يَصِحُّ إلَخْ إلَّا حَيْثُ لَمْ يُوجَدْ مَنْ يُكَافِئُهَا أَوْ لَمْ يُوجَدْ مَنْ يَرْغَبُ فِيهَا مِنْ الْأَكْفَاءِ وَإِلَّا جَازَ أَنْ يُزَوِّجَهَا حِينَئِذٍ فِي جَمِيعِ الصُّوَرِ الَّتِي يُزَوِّجُ فِيهَا حَيْثُ خَافَتْ الْعَنَتَ وَلَمْ يُوجَدْ حَاكِمٌ يَرَى تَزْوِيجَهَا مِنْ غَيْرِ كُفْءٍ وَلَمْ تَجِدْ عَدْلًا تُحَكِّمُهُ فِي تَزْوِيجِهَا مِنْ غَيْرِ الْكُفْءِ وَإِلَّا قُدِّمَا عَلَى الْحَاكِمِ الْمَذْكُورِ حَلَبِيٌّ

Artinya: Adapun teks di dalam kitab Bujairomi 'ala Al-Manhaj bunyinya demikian: Tidak jika yang menikahkannya adalah seorang hakim, maka hukumnya tidak sah dan seterusnya, kecuali jika tidak ditemukan laki-laki yang setara dengannya atau tidak didapatkan laki-laki sekufu/setara yang ingin menikahinya. Jika tidak, maka boleh bagi hakim untuk menikahkannya ketika itu di setiap contoh kejadian bolehnya hakim menikahkan perempuan disebabkan ia khawatir jatuh dalam perzinaan, sedangkan tidak ada hakim yang berpendapat boleh menikahkannya dengan laki-laki yang tidak sekufu dan tidak ada orang adil yang bisa diangkat sebagai muhakkam untuk menikahkannya dengan yang tidak sekufu. Jika tidak, maka keduanya diserahkan kepada hakim yang telah disebutkan, demikianlah penjelasan Imam Halabi. 

قرة العين فى التسهيل والتكملة الألفاظ فتح المعين الجزء ٤، الصحفة ٦٣

أما القاضي فَلَا يَصِحُ لَهُ تَزويجُهَا مِنْ غير كفء برضاها به عَلَى الْمُعْتَمَدِ إِنْ كَانَ لَهَا وَلِيٌّ غَائِبٌ مَرحَلَتَيْنِ أَو مَفقُودٌ أَو عَاضِلٌ أو مُحْرِم, لأنه كالنائب عنه فلا يَترُكُ الْحَظَّ لَهُ فِي الْكَفَاءَةِ . نَعَمْ, بَحَثَ جَمْعٌ مُتَأَخِّرُونَ أَنَّهَا لَوْ لَمْ تَجِدْ كُفُؤًا وَخَافَتْ الزنا لَزِمَ القَاضِيَ إِجَابَتُهَا قَوْلاً وَاحِدًا لِلضَّرُورَةِ٠ 

Artinya: Adapun qodhi, maka tidak sah baginya menikahkan seorang perempuan dengan laki-laki-laki yang tidak sekufu walaupun dengan ridhanya perempuan menurut pendapat yang mu'tamad. Ini jika perempuan memiliki wali yang sedang berada di tempat lain yang jaraknya 2 (dua) marhalah, atau walinya hilang, atau tidak ingin menikahkan (adlol), atau sedang dalam keadaan ihram. Dikarenakan qodhi berstatus sebagai wakilnya wali, maka qodhi tidak boleh meninggalkan haknya wali di dalam kafa’ah. Memang sekelompok ulama muta’akhir membahas bahwa seorang perempuan jika tidak menemukan laki-laki sekufu untuk dia nikahi dan dia khawatir terjatuh dalam perbuatan zina, maka seorang qodhi harus memenuhi permintaannya untuk dinikahkan dengan yang tidak sekufu tanpa ada khilaf karena alasan darurat.


قال ابن حجر: وهو مُتَّجَةٌ مُدْرَكًا٠وأَمَّا مَنْ ليسَ لَهَا وَلِيٌّ أَصْلاً فَلِلقَاضِي أَنْ يُزَوِّجَهَا مِنْ غَيْرِ كُفَءٍ بِطَلَبِهَا التزويج منه عَلَى مَا اختَارَهُ الْمُؤَلِّفُ، خلافًا للشيخين٠ ٥١

Artinya: Imam Ibnu Hajar mengatakan: "Pendapat ini unggul dari sisi pengambilan dalil." Adapun perempuan yang tidak memiliki wali sama sekali, maka seorang qodhi boleh menikahkannya dengan laki-laki yang tidak sekufu sesuai permintaannya perempuan menurut pendapat yang dipilih oleh muallif dan ini bertentangan dengan pendapatnya imam nawawi dan imam rafi'i. 51
__________________________________

٥١ ) أي في قولهما بأنه لا فرق في إجراء القولين بين أن لا يكون لها ولي أصلاً وبين أن يكونَ لَهَا وَلِيُّ غَائبٌ أو مفقود أو عاضل أو محرم ، فالأظهر : لا يصح، والثاني : يَصِحُ كَالْوَلِي الخاص، وَصَحْحَهُ الْبُلْقِينِي وَقَالَ : إِنَّ مَا صَحْحَهُ النووي لَيْسَ بِمُعْتَمَدٍ ، وَلَيْسَ لِلشَّافِعِي نص شَاهِدٌ لَهُ وَلا وجه له٠ أى فلذا اختاره المؤلف٠ كذا في الإعانة والتحفة والمغني٠ 

Artinya: 51) Yaitu perkataannya Imam Nawawi dan Imam Rofi'i bahwa tidak ada perbedaan dalam memberlakukan dua perkataan Imam Syafi'i baik perempuan tidak memiliki wali sama sekali ataupun walinya sedang tidak ada di tempat atau hilang atau adlol (tidak mau menikahkan) atau sedang dalam keadaan ihram. Akan tetapi, pendapat yang atsar tidak sah pernikahannya, dan pendapat yang kedua pernikahannya sah sebagaimana jikalau yang menikahkan perempuan adalah wali khoshnya langsung. Pendapat ini telah dibenarkan oleh Imam Al-Bulkini dan beliau mengatakan: "Sesungguhnya pendapat yang telah dibenarkan oleh Imam Nawawi bukanlah pendapat yang mu'tamad dikarenakan tidak ada keterangan langsung dari Imam Syafi'i juga tidak ada pendapat ashab yang yang berbunyi demikian. Oleh karena itulah muallif menjadikannya pendapat yang dipilih. Demikianlah keterangan di dalam kitab I'anah, Tuhfah, dan Mughni.


اسنى المطالب، الجزء ،٣ الصحفة ١٢٩

٠( فَإِنْ عَضَلَ الْوَلِيُّ ) وَلَوْ مُجْبَرًا أَيْ مَنَعَ ( بَالِغَةً ) عَاقِلَةً مِنْ تَزْوِيجِهَا (أَمَرَهُ الْقَاضِي) بِهِ (فَإِنْ امْتَنَعَ) مِنْهُ (أَوْ سَكَتَ) بِحَضْرَتِهِ (زَوَّجَهَا) كَمَا فِي الْغَائِبِ وَيَأْثَمُ بِالْعَضْلِ لِقَوْلِهِ تَعَالَى { فَلَا تَعْضُلُوهُنَّ أَنْ يَنْكِحْنَ أَزْوَاجَهُنَّ }

Artinya: Jika seorang wali sekalipun wali mujbir melakukan adl-lu (menolak menikahkan) perempuan yang sudah baligh, maka qodli wajib memberi perintah kepadanya agar mau menikahkannya. Kemudian jika wali tetap menolak atau diam di hadapan qodli, maka qodli bisa menikahkan perempuan tersebut, sebagaimana dalam kasus wali yang tidak berada di wilayah daerah lokasi pernikahan. Dan seorang wali berdosa sebab perbuatan dia tidak mau menikahkan tersebut, berdasarkan firman Allah yang artinya: "Maka janganlah kalian (para wali) menghalangi mereka untuk menikah dengan calon suami mereka."


٠(وَكَذَا) يُزَوِّجُهَا ( إنْ اخْتَفَى أَوْ تَعَزَّزَ ) أَوْ غَابَ غَيْبَةً لَا يُزَوِّجُ فِيهَا الْقَاضِي (وَأَثْبَتَتْ) أَيْ أَقَامَتْ (بِعَضْلِهِ) حِينَئِذٍ بَيِّنَةٌ كَمَا فِي سَائِرِ الْحُقُوقِ (وَلَهُ الِامْتِنَاعُ) مِنْ التَّزْوِيجِ (لِعَدَمِ الْكَفَاءَةِ) فَلَا يَكُونُ امْتِنَاعُهُ مِنْهُ عَضْلًا ؛ لِأَنَّ لَهُ حَقًّا فِي الْكَفَاءَةِ وَيُؤْخَذُ مِنْ التَّعْلِيلِ أَنَّهَا لَوْ دَعَتْهُ إلَى عِنِّينٍ أَوْ مَجْبُوبٍ بِالْبَاءِ فَامْتَنَعَ كَانَ عَاضِلًا

Artinya: Begitu juga boleh bagi qodli untuk menikahkan perempuan sudah baligh tersebut jika walinya bersembunyi, menolak secara terang-terangan, atau pergi ke daerah yang bukan area menikahkan bagi qodli, sedangkan pihak perempuan memiliki bukti bahwa wali melakukan adl-lu seperti dalam kasus hak-hak dia yang lain. Bagi seorang wali boleh menolak menikahkan karena alasan calon suaminya tidak sekufu. Maka penolakan wali dalam hal ini tidak dianggap adl-lu, karena wali memiliki hak dalam menuntut sekufu. Dari alasan ini, maka jika pihak perempuan meminta dinikahkan dengan laki-laki yang impotensi atau terpotong dzakarnya kemudian wali menolak, maka dianggap melakukan adl-lu.


نهاية الزين، الصحفة ٣٠٩

 ٠(أو عضل) أي الولي أي منع (مكلفة) ولو سفيهة (دعت إلى كفء) وإن كان منعه لنقص المهر بخلاف ما لو دعت إلى غير الكفء ولا بد من ثبوت العضل عند الحاكم٠

Artinya: (Adlolnya wali) artinya menolaknya wali kepada anak perempuan mukallaf walaupun keadaan bodoh yang mengajak nikah kepada laki-laki yang sekufu sekalipun karena kurangnya maskawin. Beda halnya dengan apabila mau menikah dengan orang yang tidak sekufu. Dan adlol ditetapkan oleh keputusan hakim.


الفقه على المذاهب الأربعة، الجزء ٤ الصحفة ٣٧

ولكن الولي المجبر يعتبر عاضلًا برد أول كفء سواء كان أبًا بالنسبة لبنته الثيب والبكر المرشدة أو كان غير أب بالنسبة للجميع

Artinya: Akan tetapi, seorang wali mujbir dihukumi adlol ketika penolakannya yang pertama untuk menikahkan mauliyahnya dengan laki-laki yang sekufu. Jika wali mujbirnya adalah ayah, maka dihukumi adlol ketika mauliyahnya adalah anakya yang sudah janda atau anak perawannya yang sudah rosyidah (sudah baligh serta bagus agama dan muamalahnya). Adapun jika wali mujbirnya selain ayah, maka langsung dihukumi adlol siapapun mauliyahnya.


أما الولي المجبر سواء كان أبًا أو وصيًا فإنه لا يعتبر عاضلًا ولو رد الكفء ردًا متكررًا، وإنما يعتبر عاضلًا إذا ثبت عليه أنه فعل ذلك قصدًا للمنع لأن مجرد رد الخاطب لا يدل على العضل بل قد يكون لمصلحة يعلمها الولي وهو أشفق الناس على بنته فإن تحقق قصد الضرر ولو مرة أمره الحاكم بالتزويج

Artinya: Adapun wali mujbir baik itu ayah ataupun washiy (orang yang diwasiati oleh mendiang ayah untuk menikahkan), maka tidak dihukumi adlol jika dia menolak seorang laki-laki yang sekufu berkali-kali. Karena wali mujbir tersebut hanyalah dianggap adlol jika ia melakukannya bertujuan untuk mencegah mauliyahnya untuk menikah. Adapun penolakan wali terhadap orang yang melamar mauliyahnya ini tidak menunjukkan ia bersifat adlol karena terkadang penolakannya ini disebabkan ia mengetahui suatu maslahat untuk mauliyahnya dan juga seorang wali adalah orang yang paling sayang terhadap anaknya. Maka jika dapat dipastikan tujuan wali adalah membahayakan mauliyahnya walaupun hanya sekali, maka hakim langsung memerintahkannya untuk menikahkan.


الموسوعة الفقهية الكويتية، الجزء ٣٠ الصحفة ١٤٤

وَلاَ يُعْتَبَرُ الْوَلِيُّ عَاضِلًا إِذَا امْتَنَعَ مِنْ تَزْوِيجِهَا مِنْ غَيْرِ كُفْءٍ
لَكِنْ قَال الْمَالِكِيَّةُ: إِنَّ الأَْبَ الْمُجْبِرَ لاَ يُعْتَبَرُ عَاضِلًا بِرَدِّ الْخَاطِبِ، وَلَوْ تَكَرَّرَ ذَلِكَ، لِمَا جُبِل الأَْبُ عَلَيْهِ مِنَ الْحَنَانِ وَالشَّفَقَةِ عَلَى ابْنَتِهِ، وَلِجَهْلِهَا بِمَصَالِحِ نَفْسِهَا، إِلاَّ إِذَا تَحَقَّقَ أَنَّهُ قَصَدَ الإِْضْرَارَ بِهَا

Artinya: Seorang wali tidak dianggap adlol ketika menolak untuk menikahkan perempuan (yang di bawah perwaliannya) dengan laki-laki yang tidak sekufu. Akan tetapi, ulama Malikiyah berpendapat bahwa seorang bapak yang memiliki hak ijbar tidak dianggap adlol dengan sebab menolak pelamar meski sampai berulang kali. Hal ini dikarenakan oleh watak seorang ayah yang mengasihi dan menyayangi putrinya, dan karena ketidak tahuan putrinya atas hal-hal yang maslahat baginya. Kecuali jika terbukti penolakan tersebut dikarenakan tujuan yang merugikan putrinya.


الموسوعة الفقهية الكويتية، الجزء ٣٠ الصحفة ١٤٥
 
أَثَرُ الْعَضْل
٥ - ذَهَبَ الْفُقَهَاءُ إِلَى أَنَّهُ إِذَا تَحَقَّقَ الْعَضْل مِنَ الْوَلِيِّ وَثَبَتَ ذَلِكَ عِنْدَ الْحَاكِمِ، أَمَرَهُ الْحَاكِمُ بِتَزْوِيجِهَا إِنْ لَمْ يَكُنِ الْعَضْل بِسَبَبٍ مَقْبُولٍ، فَإِنِ امْتَنَعَ انْتَقَلَتِ الْوِلاَيَةُ إِلَى غَيْرِهِ.

Artinya: Efek dari adlol (penolakan seorang wali untuk menikahkan perempuan yang berada dalam perwaliannya)
Para fuqaha berpendapat bahwa ketika wali terbukti adlol (tidak mau menikahkan mauliyahnya) dan hal tersebut telah ditetapkan oleh hakim, maka selanjutnya hakim memerintahkan wali tersebut untuk menikahkan mauliyahnya. Ini apabila adlolnya wali tersebut terjadi tanpa ada alasan yang bisa diterima. Kemudian apabila wali tetap tidak mau menikahkannya, maka hak perwalian pindah ke wali yang lain.


لَكِنَّ الْفُقَهَاءَ اخْتَلَفُوا فِيمَنْ تَنْتَقِل إِلَيْهِ الْوِلاَيَةُ، فَعِنْدَ الْحَنَفِيَّةِ، وَالشَّافِعِيَّةِ وَالْمَالِكِيَّةِ - عَدَا ابْنَ الْقَاسِمِ - وَفِي رِوَايَةٍ عَنْ أَحْمَدَ أَنَّ الْوِلاَيَةَ تَنْتَقِل إِلَى السُّلْطَانِ لِقَوْل النَّبِيِّ ﷺ: فَإِنِ اشْتَجَرُوا فَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لاَ وَلِيَّ لَهُ، وَلأَِنَّ الْوَلِيَّ قَدِ امْتَنَعَ ظُلْمًا مِنْ حَقٍّ تَوَجَّهَ عَلَيْهِ فَيَقُومُ السُّلْطَانُ مَقَامَهُ لإِزَالَةِ الظُّلْمِ، كَمَا لَوْ كَانَ عَلَيْهِ دَيْنٌ وَامْتَنَعَ عَنْ قَضَائِهِ -الى ان قال-

Artinya: Akan tetapi, para fuqaha berselisih mengenai siapakah wali yang selanjutnya yang berhak untuk menikahkan. Menurut mazhab Hanafi, Syafi'i dan Maliki (selain Imam Ibnu Qasim) dan di dalam satu riwayat dari Imam Ahmad bin Hanbal bahwa: Hak perwalian berpindah ke sulthon dengan dasar hukum sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam: "Maka apabila mereka berselisih, maka sulthonlah wali bagi perempuan yang tidak memiliki wali.” Dan dikarenakan wali dengan dzolim (tanpa alasan yang diterima) tidak mau menunaikan hak yang telah dibebankan kepadanya. Maka dalam kejadian ini sulthon menggantikan kedudukan wali tersebut untuk menghilangkan kezaliman tersebut, sebagaimana seseorang yang memiliki hutang dan tidak mau membayarnya -sampai pada ucapan-


وَقَال الشَّافِعِيَّةُ: إِذَا تَكَرَّرَ الْعَضْل مِنَ الْوَلِيِّ الأَْقْرَبِ، فَإِنْ كَانَ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ انْتَقَلَتِ الْوِلاَيَةُ لِلْوَلِيِّ الأَْبْعَدِ، بِنَاءً عَلَى مَنْعِ وِلاَيَةِ الْفَاسِقِ؛ لأَِنَّهُ يَفْسُقُ بِتَكَرُّرِ الْعَضْل مِنْهُ

Artinya: Ulama madzhab Syafi'i mengatakan bahwa: Apabila adlol terjadi berkali-kali dari wali yang dekat, maka hak perwalian berpindah ke wali yang lebih jauh. Hal ini berdasarkan peraturan larangan orang fasik untuk menjadi wali nikah, dikarenakan adlol yang terjadi berkali-kali menyebabkan seorang wali menjadi fasik.



غاية تلخيص المراد من فتاوى ابن زياد، الصحفة ١٠٢
 
٠(مسألة): أخذ رجل امرأة عن أهلها قهراً وبعدها عن وليها إلى مسافة القصر وكذا دونه، إن تعذرت مراجعته لنحو خوف صح نكاحها بإذنها إن زوّجها الحاكم من كفء، إذ لم يفرق الأصحاب بين غيبة الولي وغيبتها، ولا في غيبتها بين أن تكون مكرهة على السفر أو مختارة

Artinya: (Satu permasalahan): Apabila ada seorang laki-laki yang mengambil paksa seorang perempuan, lalu ia membawanya menjauh dari walinya sampai jarak diperbolehkannya qashar, (dan begitu pula jika jaraknya tidak sampai sejauh jarak yang membolehkan qashar), maka jika perempuan tersebut tidak bisa dikembalikan ke keluarganya dikarenakan takut atau semisalnya, maka hukum menikahi perempuan tersebut sah apabila ada izin dari wanita dan hakim menikahkannya dengan laki-lakinya yang sekufu. Keputusan hukum yang demikian ini dikarenakan para ulama madzhab Syafi'i tidak membedakan siapa yang pergi, sama saja itu wali ataupun mempelai perempuan. Dan mereka juga tidak membedakan ketika mempelai perempuan yang pergi, sama saja perempuan tersebut pergi dengan dipaksa ataupun secara sukarela.


 بل أقول: لو كان لها وليّ بالبلد وعضلها بعد أن دعته إلى كفء وتعسر لها إثبات عضله فسافرت إلى موضع بعيد عن الوليّ وأذنت لقاضي البلد الذي انتقلت إليه في تزويجها من الكفء صح النكاح

Artinya: Bahkan saya pribadi berpendapat: "Seumpama perempuan memiliki wali di kotanya, kemudian wali tersebut tidak mau menikahkannya dengan laki-laki yang sekufu, padahal perempuan telah memintanya, kemudian perempuan kesulitan untuk menetapkan adlol (penolakan) wali di depan qodhi, hingga akhirnya perempuan pergi pindah ke tempat yang jauh dari walinya, kemudian dia memberikan izin ke hakim tempat ia pindah untuk menikahkannya dengan laki-laki yang sekufu, maka hukum pernikahannya sah.


 وليس تزويج الحاكم في الأوّل من رخص السفر التي لا تناط بالمعاصي كما يتخيل ذلك، نعم قد ارتكب المتعاطي لذلك بقهره الحرة والسفر بها وتغريبها عن وطنها ما لا يحل في الدين ولا يرتضى، بل ذلك من الكبائر العظام التي تردّ بها الشهادة ويحصل بها الفسق

Artinya: Hukum bolehnya hakim menikahkan perempuan dengan laki-laki sekufu dalam permasalahan pertama bukan termasuk rukhsah (keringanan) sebab safar, sehingga tidak bisa dikaitkan dengan kemaksiatan, sebagaimana anggapan sebagian orang. Ya benar, hanya saja seseorang yang melakukan pemaksaan terhadap seorang perempuan untuk bepergian, kemudian ia mengasingkannya dari tanah kelahirannya, maka itu termasuk perkara yang tidak diperbolehkan dalam agama dan tidak diridhai, bahkan ini bisa termasuk dalam dosa besar, yang dengannya persaksian pelakunya bisa tertolak dan dia dihukumi sebagai orang fasik.


والله أعلم بالصواب

والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته


PENANYA

Nama: Taufik Hidayat
Alamat: Pegantenan, Pamekasan, Madura
__________________________________

MUSYAWWIRIN

Anggota Grup BM Nusantara (Tanya Jawab Hukum Online)

PENASIHAT

Habib Ahmad Zaki Al-Hamid (Kota Sumenep, Madura)
Habib Abdullah bin Idrus bin Agil (Tumpang, Malang, Jawa Timur)
Gus Abdul Qodir (Balung, Jember, Jawa Timur)

PENGURUS

Ketua: Ustadz Suhaimi Qusyairi (Ketapang, Sampang, Madura)
Wakil: Ustadz Zainullah Al-Faqih (Umbul Sari, Jember, Jawa Timur)
Sekretaris: Ustadz Moh. Kholil Abdul Karim (Karas, Magetan, Jawa Timur)
Bendahara: Ustadz Syihabuddin (Balung, Jember, Jawa Timur)

TIM AHLI

Kordinator Soal: Ustadz Qomaruddin (Umbul Sari, Jember, Jawa Timur), Ustadz Faisol Umar Rozi (Proppo, Pamekasan, Madura) 
Deskripsi Masalah: Ustadz Taufik Hidayat (Pegantenan, Pamekasan, Madura)
Moderator: Ustadz Hosiyanto Ilyas (Jrengik, Sampang, Madura)
Perumus: Kyai Mahmulul Huda (Bangsal Sari, Jember, Jawa Timur)
Muharrir: Kyai Mahmulul Huda (Bangsal Sari, Jember, Jawa Timur), K.H. Abdurrohim (Maospati, Magetan, Jawa Timur)
Editor: Ustadz Taufik Hidayat (Pegantenan, Pamekasan, Madura), Ustadzah Nuurul Jannah (Tegalrejo, Magelang, Jawa Tengah) 
Terjemah Ibarot: Ustadz Rahmatullah Metuwah (Babul Rahmah, Aceh Tenggara, Aceh)

________________________________________

Keterangan:

1) Pengurus adalah orang yang bertanggung jawab atas grup ini secara umum.

2) Tim ahli adalah orang yang bertugas atas berjalannya grup ini.

3) Bagi para anggota grup yang memiliki pertanyaan diharuskan untuk menyetorkan soal kepada koordinator soal dengan via japri, yakni tidak diperkenankan sharing soal di grup secara langsung.

4) Setiap anggota grup boleh usul atau menjawab walaupun tidak berreferensi. Namun, keputusan tetap berdasarkan jawaban yang berreferensi.

5) Dilarang posting iklan/video/kalam-kalam hikmah/gambar yang tidak berkaitan dengan pertanyaan, sebab akan mengganggu berjalannya diskusi.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Profil Group BM Nusantara (Tanya Jawab Hukum Online)

Hukum Penyembelihan Hewan Dengan Metode Stunning Terlebih Dahulu Halalkah ?

Hukum Menjima' Istri Sebelum Mandi Besar ?