Syarat-Syarat Menjadi Anak Susuan ?


HASIL KAJIAN BM NUSANTARA 
(Tanya Jawab Hukum Online)

 السلام عليكم و رحمة الله وبركاته

DESKRIPSI:

Zainab (nama samaran) seorang wanita yang menikah saat berumur 16 tahun. Setahun kemudian dia mempunyai anak perempuan yang diberi nama Aisyah Icha (nama samaran). Setelah berumur 17 tahun, Aisyah dipersunting oleh Fajar Syahid (nama samaran). Dan setelah satu tahun pernikahan, Aisyah-Fajar dikaruniai anak yang bernama Alfian (nama samaran). Sedangkan Zainab yang sudah berumur 35 thn ternyata juga hamil bersamaan dengan hamilnya anaknya, yaitu Aisyah. Setelah berselang waktu, secara disengaja, Zainab juga sering menyusui Alfian, anak dari Aisyah-Fajar yang berstatus sebagai cucunya, sedangkan Alfian masih berumur satu tahun.

PERTANYAAN:

Apakah syarat-syarat menjadi anak susuan?

JAWABAN:

Syarat-syarat agar menjadi anak susuan yaitu:

1) Syarat Murdli'ah (Orang yang menyusui) ;
a) Perempuan Bani Adam (Manusia)
b) Masih hidup
c) Berusia minimal sekitar 9 tahun qomariyah.

2) Syarat rodli' (orang yang menyusu):
a) Masih hidup
b) Usia bayi tidak melampaui 2 tahun qomariyah

3) Lima (5) kali menyusu artinya bayi menyusu terhadap puting dan bayi berpaling atau melapas isapannya dengan sendirinya, ini dihitung satu kali susuan. Kecuali berpaling atau melepasnya karena bernafas atau untuk sekedar menelan susu.

REFERENSI:

الفقه على المذاهب الأربعة، الجزء ٤ الصحفة ص ٢٢٥

شروط الرضاع : يشترط لتحقيق الرضاع الشرعي الموجب لتحريم النكاح، كما توجبه القرابة والمصاهرة، شروط؛ بعضها يتعلق بالمرضعة، وبعضها يتعلق بالرضيع، وبعضها يتعلق بلبن الرضاعة، وفيها كلها اختلاف المذاهب


Artinya: Syarat-syarat penyusuan
Disyaratkan untuk pemenuhan penyusuan secara syar'i yang menyebabkan terhadap haramnya nikah sebagaimana yang menyebabkan terjadinya kekerabatan dan mushoharah (kekerabatan melalui pernikahan) yaitu dengan beberapa syarat: yang sebagian berhubungan dengan orang yang menyusui, kemudian berhubungan dengan orang yang disusui dan sebagiannya lagi berhubungan dengan asi, adapun ini semua ada perbedaan para madzhab.


الشافعية - قالوا: يشترط في المرضعة شروط ؛
 أحدها أن تكون أنثى آدمية، فلو رضع طفل وطفلة من ثدي بهيمة فإن رضاعها لا يعتبر ولا يوجب التحريم بينهما وكذا لو رضع طفل من لبن رجل أو لبن خنثى مشكل لم يتبين كونه امرأة فإن رضاعه لا يتعلق به تحريم، ولكن إذا رضعت طفلة لبن رجل أو خنثى مشكل ثم تبين أنه رجل فإنه يكره لهما التزوج من التي رضعت منهما٠

Ulama' syafiiyah berkata ; "Disyaratkan bagi orang yang menyusui dengan beberapa syarat : Yang pertama orang yang menyusui harus perempuan dari anak adam, maka apabila bayi laki-laki dan bayi perempuan menyusu pada puting hewan, maka menyusunya tersebut tidak dianggap dan tidak menyebabkan mahram antara keduanya begitu juga apabila bayi laki-laki menyusu pada orang laki-laki atau khunsa muskil yang belum jelas apakah perempuan atau tidak, maka menyusunya tersebut tidak menyebabkan adanya hubungan mahram, akan tetapi apabila bayi perempuan menyusu pada orang laki-laki atau khunsa muskil kemudian jelas bahwa sesungguhnya dia adalah laki-laki, maka bagi keduanya dimakruhkan untuk menikahi orang yang menyusu dari keduanya.

ثانيهما؛ أن تكون المرضعة على قيد الحياة، فإذا دب الطفل إلى ميتة ورضع من ثديها فإن رضاعه لا يعتبر ولا ينشر الحرمة، ومثل الميتة من كادت تفارق الحياة ولم يبق فيها سوى حركة مذبوح. 

Yang kedua : orang yang menyusui harus ada pada batas kehidupan, maka apabila bayi merangkak pada orang mati kemudian menyusu pada putingnya (orang mati), maka sesungguhnya susuannya tidak dianggap dan tidak menyebabkan mahram, dan seumpamanya bangkai adalah orang yang hampir mati dan tidak tersisa kecuali seperti bergeraknya hewan yang disembelih.

ثالثها؛ أن تكون المرضعة سن تسع سنين قمرية تقريبية، وهذه السن هي سن الحيض، فيعتبر الرضاع منها ولو لم يحكم ببلوغها لأن سن الحيض يجعلها تحتمل أن تلد٠

Yang ketiga : orang yang menyusui harus berumur sembilan tahun qomariyah dengan secara perkiraan, dan umur ini adalah umur haid, sehingga menyusuinya orang yang umur sembilan tahun itu tetap dianggap walaupun balighnya tidak dihukumi, karena sesungguhnya umur haid itu bisa menjadikan orang perempuan melahirkan.

والحاصل أن الشافعية يشترطون في المرضع أن تبلغ تسع سنين تقريباً، فلا يضر نقصها بما يسع الحيض والطهر منه، ولو لم تحض بالفعل، وقد يرد على هذا أن اللبن إنما ينشأ عن الولادة، والتي لم تحض بالفعل لا يتصور منها ولادة، ومقتضى هذا أن لبنها لا يحرم، وأجيب هذا بأن بلوغ هذا السن - وهو سن الحيض - يترتب عليه احتمال كونها تحيض وتحبل وتلد، وهذا الاحتمال كاف في اعتبار اللبن الذي نزل في للصغيرة في هذا السن

Alhasil Sesungguhnya Ulama' Syafi'iyah mensyaratkan bagi orang yang menyusui harus sampai umur sembilan tahun, maka tidak dianggap berbahaya apabila kurang dari sembilan tahun yang kurangnya tersebut masih memuat pada waktu haid dan suci, walaupun tidak haid dengan sebab perbuatan / tindakan, dan terkadang asi itu bisa keluar disebabkan melahirkan sedangkan orang perempuan tersebut tidak pernah haid dengan sebab perbuatan yang kelahirannya tidak dapat digambarkan, maka hal sedemikian sesungguhnya asinya tidak bisa menyebabkan mahram, dan dijawab sesungguhnya sampainya umur ini -yaitu umur haid- masih memungkinkan terjadinya haid, hamil dan melahirkan, dan kemungkinan ini sudah dianggap cukup dengan adanya asi yang keluar dari anak perempuan kecil di umur ini.

وذلك لأن التحريم بالرضاع تابع للتحريم بالنسب لأن اللبن جزء من المرضعة، وهو ناشئ بسبب الولد المتولد من مني الرجل ومني المرأة، فإذا امتصه الصبي كان كأنه جزء من المرأة والرجل، فاللبن نزل منزلة المني الذي ثبت به نسب الولد فثبوت التحريم بالرضاع تابع لثبوت التحريم بالنسب، ومعلوم أن النسب يثبت بالاحتمال، فكذلك فرعه المشابه له يكفي في ثبوته الاحتمال، ولهذا لا يشترط أن تكون المرضعة ثيباً، فلو كانت بكراً ونزل لها اللبن في هذه السن فإنه يعتبر ويحرم، فلا يشترط أن يكون اللبن ينشأ عن الحبل بالفعل، فإذا كانت في سن لا تحتمل فيه الولادة فإن لبنها لا يعتبر ولا يحرم٠

Maka dari itu, sesungguhnya mahram sebab susuan itu mengikuti pada mahram dengan nasab, alasan nya karena sesungguhnya ASI itu bagian dari perempuan yang menyusui. Dan ASI itu sendiri keluar disebabkan anak yang dilahirkan dari pertemuan sperma laki-laki dan spermanya orang perempuan, sehingga apabila bayi mengisapnya, maka seakan-akan bayi itu menjadi bagian dari orang perempuan dan laki-laki tersebut. Adapun ASI tersebut berstatus seperti statusnya sperma yang dapat menetapkan nasabnya anak, maka tetapnya mahram sebab susuan itu ikut pada tetapnya mahram sebab nasab. Dan diketahui sesungguhnya nasab itu bisa tetap sebab ihtimal (yakni kemungkinan wanita mengalami kehamilan), begitu juga dengan menyusui yang hukumnya diserupakan dengan nasab, maka cukup ditetapkan dengan ihtimal (yakni sudah bisa menyusui). Karena hal inilah, tidak disyaratkan bagi orang yang menyusui harus janda, maka seandainya yang menyusui itu masih perawan dan ASI-nya sudah keluar di umur yang dimungkinkan bisa keluar air susunya, maka hal ini bisa dianggap dan menyebabkan mahram. Maka tidak disyaratkan ASI tersebut harus keluar dari orang yang benar-benar real (nyata) dalam kondisi hamil, maka apabila orang yang menyusui itu memiliki usia yang tidak memungkinkan untuk melahirkan, maka asinya tidak bisa dianggap dan tidak bisa menyebabkan mahram. 

ويشترط في الرضيع أن يكون حياً، فلو فرض وصب في حلق طفل ميت لبن امرأة فإنه لا يعتبر، وأن يكون صغيراً لم يتجاوز الحولين، فإن تجاوزهما، ولو بلحظة، فإن رضاعه لا يحرم، وإذا شك في أنه تجاوز الحولين أو لا فإنه لا يحرم، لأن الشك في سبب التحريم يسقط التحريم، فإذا رضع الطفل أربع رضعات وفي أول الرضعة الخامسة تم حولان يقيناً، وهو يرضعها فإنه لا يعتبر، وما مضى من الرضعات الأربع يلغى خلافاً للحنابلة في هذه الحالة

Dan disyaratkan bagi orang yang menyusu (Bayi) itu harus: Dalam keadaan hidup, maka jika susu seorang wanita dipaksakan dan dituangkan ke dalam tenggorokan bayi yang meninggal, maka tidak dianggap. juga harus masih kecil yang tidak lebih dari dua tahun, maka apabila melebihi dua tahun walaupun sebentar maka menyusuinya tidak menjadikan mahram, dan apabila ragu bahwa umurnya melebihi dua tahun atau tidak, maka tetap tidak bisa menjadikan mahram, karena ragu dalam sebab mahram bisa menggugurkan mahram, maka apabila bayi menyusu dengan empat kali susuan dan di dalam permulaan susuan yang kelima sudah yakin sempurna dua tahun, maka menyusunya tidak dianggap dan susuan yang telah lewat dari susuan yang ke empat kalinya dianggap hilang berbeda dengan pendapatnya Imam Hanabilah dalam keadaan ini.

ويشترط في اللبن شرطان؛ أحدهما يتعلق بكميته ومقداره، وثانيهما يتعلق بحالته وكيفية وصوله إلى جوف الصبي. فأما الأول، فإنه يشترط أن يرضع الطفل من المرضعة خمس مرات يقيناً، بحيث لو شك في أنه رضع خمس مرات أو لا، فإنه لا يعتبر، ثم إن الرضعة لا تحسب إلا إذا عدت في العرف رضعة كاملة، بحيث يتناول الطفل الثدي ولا ينصرف عنه إلا لضرورة تنفس، أو بلع ما في فمه، أو الانتقال من ثدي إلى ثدي آخر، أما إذا قطعه ولم يعد إليه فإنها تحسب رضعة، ولو لم يأخذ سوى مصة واحدة

Artinya: disyaratkan dalam asi yaitu dua syarat: Yang pertama, berhubungan dengan banyak (kuantitas) dan kadar (kualitas)nya asi. Yang kedua berhubungan dengan keadaan dan cara sampainya asi ke dalam lambung bayi. Adapun yang pertama disyaratkan bagi bayi yang menyusu harus yakin dengan lima kali susuan, sehingga apabila ragu bahwa sesungguhnya bayi tersebut menyusu dengan lima kali susuan atau tidak, maka susuannya tidak dianggap, maka sesungguhnya susuan tersebut tidak dihitung kecuali apabila kembali menyusu dengan sempurna menurut urf (adat kebiasaan), dengan sekiranya bayi tersebut memperoleh puting dan tidak berpaling kecuali karena dlorurat seperti mengambil nafas, atau sampainya sesuatu yang ada di dalam mulutnya atau berpindah dari satu puting ke puting yang lain. Adapun apabila bayi tersebut melepas susuannya dan tidak kembali lagi, maka dihitung satu kali susuan walaupun tidak mengambil selain satu susuan. 

 وكذا إذا قطعته المرضعة ولم تعد إليه، أما إذا قطعته لشغل خفيف ولو عادت إليه سريعاً فإنها تحسب رضعة واحدة، وقد وافق الشافعية في هذا العدد الحنابلة، وإن خالفوهم في بعض التفصيل المذكور، كما ستعرفه، وأما الحنفية والمالكية فإنهم خالفوا هذا ولم يشترطوا عدداً، بل قالوا؛ كل ما وصل إلى جوف الصبي من لبن المرضعة ولو قليلاً يوجب التحريم، وقد عرفت اختلافهم في التفصيل المتقدم

Begitu juga (dihitung satu kali susuan) apabila orang yang menyusui melepas susuannya dan tidak mengembalikannya, apabila melepasnya karena ada kesibukan yang ringan walaupun mengembalikan dengan secara cepat, maka tetap dihitung satu kali susuan. Ulama' Syafi'iyah telah sepakat dengan Ulama' Hanabilah dalam hitungan susuan ini, walaupun di sebagian perincian yang telah disebutkan ada perbedaan pendapat, sebagaimana keterangan yang akan diketahui. Adapun Ulama' Hanafiyah dan Malikiyah berbeda pendapat mengenai hitungan susuan karena Ulama' Hanafiyah dan Malikiyah tidak mensyaratkan adanya hitungan, bahkan beliau berkata : "Setiap sesuatu yang sampai pada lambung bayi dari asi orang perempuan yang menyusui walaupun sedikit itu menyebabkan adanya mahram, dan sungguh telah diketahui perbedaanya dalam perincian yang lebih awal.


والله أعلم بالصواب

 و السلام عليكم ورحمة الله وبركاته

 PENANYA:

Nama : Ach. Muchlis 
Alamat : Kota Sampang Madura
____________________________________

MUSYAWWIRIN :

Member Group WhatsApp Tanya Jawab Hukum

PENASEHAT :

Habib Ahmad Zaki Al-Hamid (Kota Sumenep Madura)
Habib Abdullah bin Idrus bin Agil (Tumpang Malang Jawa Timur)
Gus Abdul Qodir (Balung Jember Jawa Timur)

PENGURUS :

Ketua : Ust. Suhaimi Qusyairi (Ketapang Sampang Madura)
Wakil : Ust. Zainullah Al-Faqih (Umbul Sari Jember Jawa Timur)
Sekretaris : Ust. Moh. Kholil Abdul Karim (Karas Magetan Jawa Timur)
Bendahara : Ust. Syihabuddin (Balung Jember Jawa Timur)

TIM AHLI :

Kordinator Soal : Ust. Qomaruddin (Umbul Sari Jember Jawa Timur)
Deskripsi masalah : Ust. Taufik Hidayat (Pegantenan Pamekasan Madura)
Moderator : Ust. Zainul Al-Qudsy (Sumber Sari Jember Jawa Timur )
Perumus + Muharrir : Ust. Mahmulul Huda (Bangsal Jember Jawa Timur)
Editor : Hosiyanto Ilyas (Jrengik Sampang Madura)
Terjemah Ibarot : Ust. Ibrahim Al-Farisi (Tambelangan Sampang Madura)

LINK GROUP TANYA JAWAB HUKUM :
https://chat.whatsapp.com/ELcAfCdmm5AFXhPJdEPWT3
____________________________________________

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Profil Group BM Nusantara (Tanya Jawab Hukum Online)

Hukum Anak Zina Lahir 6 Bulan Setelah Akad Nikah Apakah Bernasab Pada Yang Menikai Ibunya ?

Hukum Menjima' Istri Sebelum Mandi Besar ?