Hukum Mengkijing Makam dengan Tujuan Tertentu Bolehkah ?



HASIL KAJIAN BM NUSANTARA 
(Tanya Jawab Hukum Online)

 السلام عليكم و رحمة الله وبركاته

DESKRIPSI:

Sudah menjadi tradisi di sebagian wilayah Indonesia. Apabila seseorang telah meninggal dan telah selesai 40 hari, maka makamnya akan dikijing (dibangun diatasnya) dan diberi nama, tanggal lahir dan wafatnya pada batu nisannya. Selain untuk menjaga makam / kuburan agar tidak tergerus/ terkikis air hujan, karena tanah perkuburan umum di daerah tersebut mudah tergerus / terkikis air saat hujan deras, hal ini juga dilakukan agar famili terutama keturunan (cucu-cicitnya) dari al-marhum mudah mengetahui letak makamnya si al-marhum dan tidak lupa agar senantiasa mengirim doa ataupun mengaji Al-Qur'an di makam (kuburan) al-marhum, karena al-marhum dimakamkan di perkuburan umum yang sangat luas.

Hal ini juga dilakukan oleh keluarga dari Jarwo (nama samaran) setelah meninggalnya Jarwo. Namun perbuatan yang dilakukan oleh keluarga Jarwo tersebut dianggap haram dan bid'ah dholalah oleh Pak Wahab (nama samaran). Karena menurut Pak Wahab, Rasulullah Saw tidak pernah mengkijing makam Sayyidah Khodijah dan makam para sahabat yang terlebih dahulu meninggal di Madinah dan juga Rasulullah Saw tidak pernah mengaji Al-Qur'an dan berdoa di kuburan para sahabat untuk para sahabat yang telah meninggal di kuburan yang ada di Madinah. Lagi pula karena Manusia akan menerima balasan amal sesuai apa yang diperbuatnya di dunia dahulu seperti firman Allah SWT ;
وَاَنۡ لَّيۡسَ لِلۡاِنۡسَانِ اِلَّا مَا سَعٰىۙ

Artinya : Dan bahwa manusia hanya memperoleh apa yang telah diusahakannya.

Itulah pemahaman agama yang dimiliki oleh Pak Wahab, sehingga Pak Wahab tidak pernah mengkijing apalagi mengaji Al-Qur'an dan berdoa di kuburan para familinya di pemakaman umum tersebut.

PERTANYAAN:

Bagaimana hukum mengkijing makam dengan tujuan seperti deskripsi diatas?

JAWABAN:

Hukum mengkijing makam dengan tujuan sebagaimana deskripsi ;

1) Apabila tempat penguburan wakaf atau umum, maka hukumnya haram.

2) Apabila tempat penguburan pribadi/milik sendiri, maka hukumnya makruh.

3) Apabila ada hajat (kebutuhan) seperti agar tidak tergerus banjir yang menyebabkan mayitnya hilang, maka hukum mengijingnya boleh walaupun di perkuburan umum.

4) Apabila kuburan para nabi, syuhada dan orang-orang sholeh, maka hukumnya boleh walaupun di perkuburan umum.

Adapun memberi nama pada batu nisannya, maka hukumnya makruh kecuali ada hajat (kebutuhan) seperti agar diketahui untuk diziarahi khusus makam para Aulia (kekasih Allah SWT), Ulama' dan orang-orang Sholih.

REFERENSI:

أسنى المطالب، الجزء ٤ الصحفة ٣٣٦

 ويكره تجصيص  أي تبييض القبر بالجص أي الجبس ويقال هو النورة البيضاء ( وكتابة وبناء عليه ) قال جابر : { نهى رسول الله صلى الله عليه وسلم أن يجصص القبر ، وإن يبنى عليه وأن يقعد } رواه مسلم زاد الترمذي { وأن يكتب عليه وأن يوطأ } وقال حسن صحيح وسواء في البناء القبة أم غيرها وسواء في المكتوب اسم صاحبه أم غيره في لوح عند رأسه أم في غيره قاله في المجموع وكما يكره البناء عليه يكره بناؤه ففي رواية صحيحة نهى أن يبنى القبر ( بل يهدم ) البناء الذي بني ( في ) المقبرة ( المسبلة ) بخلاف ما إذا بني في ملكه٠

Artinya : Dimakruhkan : Menembok kuburan yaitu memutihkan kuburan dengan semen yang disebut juga dengan Naurotul Baidho'. Menulisi batu nisan kuburan. Membangun sesuatu di atas kuburan. Sayyidina Jabir Radhiyallahu Anhu berkata : "Rasulullah melarang seseorang menembok kuburan, membangun dan duduk di atas kubur. (H.R. Imam Muslim) Dalam riwayat At-Tirmidzi ada tambahan : Baginda Nabi juga melarang kuburan ditulis di atasnya dan dilangkahi. Dan berpendapat bahwa hadist ini Hasan Shohih. Kemakruhan tersebut baik berbentuk bangunan kubbah atau selainnya, dalam penulisan baik ditulis nama penghuni kubur atau orang lain pada papan yang diletakkan di bagian kepala kubur atau tempat yang lain, pendapat ini ada di dalam kitab al-Majmu'. Sebagaimana dimakruhkan membuat bangunan di atas kubur, maka dimakruhkan juga membangun kuburan. Dalam riwayat yang shohih Baginda Nabi melarang seseorang membangun kuburan, bahkan disunnahkan untuk menghancurkan bangunan tersebut apabila terletak di perkuburan umum, berbeda halnya jika terletak di tanah pribadi.

وصرح في المجموع وغيره بتحريم البناء فيها وفي كلام المصنف كأصله إشارة إليه قال الأذرعي ويقرب إلحاق الموات بالمسبلة ؛ لأن فيه تضييقا على المسلمين بما لا مصلحة ولا غرض شرعي فيه بخلاف الإحياء ( ولا بأس بتطيينه ) ؛ لأنه ليس للزينة بخلاف التجصيص وقيل لا يطين والترجيح من زيادته ، وهو مقتضى كلام الرافعي وصرح بتصحيحه في المجموع ونقله الترمذي عن الشافعي٠

Imam Nawawi menjelaskan dalam kitab majmu' dan lainnya tentang keharaman membangun perkuburan. Dan di dalam perkataan mushonnif, seperti asalnya ada isyarat ke arah tersebut. Imam adzra'i berkata : "Dan yang lebih dekat adalah meng ilhaqkan (menyamakan) hukum tanah tanpa pemilik dengan tanah yang disediakan untuk pekuburan umum, karena dalam hal ini ada unsur penyempitan ruang untuk muslimin dengan perkara yang tidak ada maslahahnya, dan tidak ada tujuan syar'i di dalamnya, hal ini berbeda dengan orang yang hidup. Boleh menstrep kuburan dengan tanah liat, karena dalam hal ini tidak ada unsur hiasan berbeda dengan menembok. Dan ada juga pendapat yang mengatakan tidak boleh menstrep kuburan dengan tanah liat. Pentarjihan tersebut merupakan tambahan pendapat dari Imam Nawawi dan itu merupakan kesimpulan dari perkataan Imam Rofi'i, kemudian Imam Nawawi mensohihkannya dalam kitab Majmu', dan hal itu dinukil oleh Imam Tirmidzi dari Imam Syafi'i.


المجموع شرح المهذب، جز ٥ صح ٢٦٠

قال الشافعي والأصحاب: يكره أن يجصص القبر، وأن يكتب عليه اسم صاحبه أو غير ذلك، وأن يبنى عليه، وهذا خلاف فيه عندنا، وبه قال مالك وأحمد وداود وجماهير العلماء، وقال أبو حنيفة: لا يكره، دليلنا الحديث السابق، قال أصحابنا رحمهم الله: ولا فرق في البناء بين أن يبنى قبة أو بيتاً أو غيرهما، ثم ينظر فإن كان مقبرة مسبلة حرم عليه ذلك؛ قال أصحابنا ويهدم هذا البناء بلا خلاف٠

Artinya : Imam syafi'i dan para pengikutnya berpendapat : "Dimakruhkam memplester kuburan, atau menulis nama di atasnya atau perkara lainnya, juga makruh membangun di atas kuburan, dan ini ada perbedaan pendapat di kalangan kita (pengikut Imam Syafi'i). Pendapat itu pula yang telah di katakan Imam Malik, Imam Ahmad, Imam Daud dan para pembesar Ulama'. Dan Imam Abu Hanifah berpendapat : "Tidak makruh !" Adapun  dalil kami (Syafiiyah) adalah hadits di atas, para pengikut Madzhab Syafi'i berpendapat : "Tidak ada bedanya di dalam membangun antara bangunan kubah dengan rumah atau yang lainnya. Kemudian dilihat, jika di pemakaman umum, maka haram membangun. Para pengikut Madzhab Syafi'i berpendapat : "Bangunan ini harus dirobohkan tanpa ada silang pendapat.

قال الشافعي في «الأم»: ورأيت من الولاة من يهدم ما بنى فيها، ولم أر الفقهاء يعيبون عليه ذلك، ولأن في ذلك تضييقاً على الناس، قال أصحابنا: وإن كان القبر في ملكه جاز بناء ما شاء مع الكراهة، ولا يهدم عليه، قال أصحابنا: وسواء كان المكتوب على القبر في لوح عند رأسه كما جرت عادة بعض الناس أم في غيره، فكله مكروه لعموم الحديث، قال أصحابنا وسواء في كراهة التجصيص للقبر في ملكه أو المقبرة المسبلة

Berkata Imam Syafi'i dlm kitab al Um, saya melihat beberapa Pemimpin merobohkan bangunan di atas kuburan, dan tidak ada celaan dari kalangan ahli fiqih, karena dibangunnya kuburan akan membuat sempit pada orang lain. Golongan Syafi'iyah berpendapat : "Jika kuburan di tanah miliknya, maka boleh membangun apa saja tapi makruh, dan tidak usah dirobohkan. Kalangan kita (golongan Syafi'iyyah) berkata ; "meskipun ditulis pada kertas di atas kepala mayit seperti adatnya sebagian manusia atau ditulis diatas bagian lainnya, maka kesemuanya makruh karena bersifat umumnya hadits, kalangan kita (golongan Syafi'iyyah) berkata ; "Meskipun dalam kemakruhan memplester kuburan di tanah sendiri atau di tanah pemakaman umum".

وأما تطيين القبر، فقال إمام الحرمين والغزالي يكره ونقل أبو عيسى الترمذي في جامعه المشهور أن الشافعي قال: لا بأس بتطيين القبر، ولم يتعرض جمهور الأصحاب له؛ فالصحيح أنه لا كراهة فيه، كما نص عليه. ولم يرد فيه نهي٠

Adapun membalur kuburan dengan tanah, maka menurut Imam Haromain dan Imam Ghozali hukumnya makruh. Abu 'Isa at Tirmidzi telah menukil dalam kitab jami'nya yang masyhur, sesungguhnya Imam Syafi'i telah berkata : "Tidak mengapa membalur kuburan dengan tanah, dan tidak ada pertentangan dari kalangan sahabatnya tentang hal tersebut, yang benar adalah tidak makruh seperti yang telah ditetapkan oleh Imam Syafi'i, dan tidak ada penolakan sama sekali.


حاشية الجمل ، الجزء ٤ الصحفة ٣٨-٣٩

أنه يستحب وضع ما تعرف به القبور أنه لو احتاج إلى كتابة اسم الميت للزيارة كان مستحبا بقدر الحاجة لا سيما قبور الأولياء والصالحين فإنها لا تعرف إلا بذلك عند تطاول السنين وما ذكره الأذرعي من أن القياس تحريم كتابة القرآن على القبر لتعرضه للدوس عليه والنجاسة والتلويث بصديد الموتى عند تكرر النبش في المقبرة المسبلة مردود بإطلاقهم لا سيما والمحذور غير محقق ويكره أن يجعل على القبر مظلة ا ه

Artinya : Bahwasanya disunnahkan meletakkan sesuatu yang menjadikan kubur bisa dikenali seandainya diperlukan menulis nama mayit agar dikenal oleh penziarah, maka hukumnya disunnahkan sesuai kebutuhan, apalagi kubur para wali dan orang-orang sholih yang tidak bisa dikenali kecuali dengan tulisan tersebut ketika lamanya terkubur. Dan adapun pendapat yang disebutkan oleh Imam Adzra'i tentang qiyas keharaman menuliskan Al-Qur'an pada kubur guna menghindari diinjak, terkena najis atau berlumuran dengan nanah mayit disaat berulang kalinya penggalian kuburan di perkuburan umum, merupakan pendapat yang tertolak dengan kemutlakan pendapat Ulama' Syafiyyah lainnya, hal ini karena perkara yang dikhawatirkan tidak bisa dipastikan. Dan Makruh hukumnya membuat naungan diatas kubur (selesai).

شرح م ر قوله وبناء عليه وليس من البناء ما اعتيد من توابيت الأولياء ثم رأيت في سم على ابن حجر استغرب أنها مثل البناء لوجود العلة وهي التضييق إلخ

Imam Ramli menjelaskan ungkapan beliau : berdasarkan pendapat ini, dan tidak termasuk bangunan apa yang biasa dijadikan tungkup pada kuburan para wali, kemudian aku melihat pendapat Ibnu Qosim Al-Ubadi dari Imam Ibnu Hajar bahwasanya tungkup para wali itu termasuk bangunan karena adanya illat yang sama yaitu penyempitan area perkuburan.

ومن البناء ما جرت به العادة من وضع الأحجار المسماة بالتركيبة ثم رأيت حج صرح بحرمة ذلك وينبغي أن محل الحرمة حيث لم يقصد صونه عن النبش ليدفن غيره قبل بلاه ولا يجوز زرع شيء في المسبلة وإن تيقن بلى من بها لأنه لا يجوز الانتفاع بها بغير الدفن فيقلع وقول المتولي يجوز بعد البلى محمول على المملوكة ا هـ حج ا هـ ع ش على م ر

Dan termasuk katagori membangun makam yakni apa yang biasa berlaku di masyarakat seperti meletakkan batu yang dinamakan dengan tarkibah, kemudian aku melihat Imam Ibnu Hajar menjelaskan tentang keharaman itu, seharusnya sisi keharaman itu sekiranya di mana dia tidak berniat melindunginya dari penggalian untuk mengubur orang lain sebelum hancurnya si mayyit. Dan tidak diperbolehkan menanam tanaman di pemakaman umum walaupun dia yakin orang yang terkubur di pemakaman umum itu jasadnya sudah hancur dikarenakan tidak boleh memanfaatkan pemakaman selain untuk penguburan, maka tanaman tersebut harus dicabut / dipindahkan. Dan ungkapan Imam Mutawali yang menyatakan boleh menanam tanaman di tanah makam, kemungkinan yang dimaksud adalah di tanah yang sudah dimiliki (bukan makam umum) (selesai). Dikutip dari pendapat Imam Ibnu Hajar, Ali Syibromalisy dan Imam Romli.


الباجورى، الجزء ١ الصحفة ٢٥٧

ولا يكتب عليه ولو في لوح عند رأسه، لكن قال في شرح البهجة: وفي كراهة كتاب اسم الميت عليه نظر، بل قال الزركشي: لا وجه لكراهة كتابة اسمه وتاريخ وفاته خصوصا إذا كان من العلماء ونحوهم كما جرت بذلك عادة الناس

Artinya: Dan tidak boleh ditulis diatas kuburan meskipun pada papan kayu yang ada di sisi kepala si mayyit. Akan tetapi di dalam kitab Syarah Al-Bahjah, Syekh Ibnul Wardi berkata : "Pendapat yang menyatakan makruh menulis nama Mayyit di atas kuburan, perlu diteliti lagi, bahkan Syekh Az-Zarkasyi berkata : "Tidak ada alasan pada makruhnya menulis nama dan tanggal wafatnya, khususnya apabila yang meninggal termasuk katagori Ulama' maupun orang setingkat mereka, seperti halnya yang sudah berlaku kebiasaan di Masyarakat.


والله أعلم بالصواب

و السلام عليكم ورحمة الله وبركاته 

 PENANYA

Nama : Moh. Zainur Roziqin
Alamat : Klabang Bondowoso Jawa Timur
____________________________________

MUSYAWWIRIN :

Member Group WhatsApp Tanya Jawab Hukum

PENASEHAT :

Habib Ahmad Zaki Al-Hamid (Kota Sumenep Madura)
Habib Abdullah bin Idrus bin Agil (Tumpang Malang Jawa Timur)
Gus Abdul Qodir (Balung Jember Jawa Timur)

PENGURUS :

Ketua : Ust. Suhaimi Qusyairi (Ketapang Sampang Madura)
Wakil : Ust. Zainullah Al-Faqih (Umbul Sari Jember Jawa Timur)
Sekretaris : Ust. Moh. Kholil Abdul Karim (Karas Magetan Jawa Timur)
Bendahara : Ust. Syihabuddin (Balung Jember Jawa Timur)

TIM AHLI :

Kordinator Soal : Ust. Qomaruddin (Umbul Sari Jember Jawa Timur)
Deskripsi masalah : Ust. Taufik Hidayat (Pegantenan Pamekasan Madura)
Moderator : Ust. Zainul Al-Qudsy (Sumber Sari Jember Jawa Timur )
Perumus + Muharrir : Ust. Mahmulul Huda (Bangsal Jember Jawa Timur)
Editor : Hosiyanto Ilyas (Jrengik Sampang Madura)
Terjemah Ibarot : Ust. Muntahal A'la Hasbullah (Gili Genting Sumenep Madura), Ust. Achmad Marzuqi (Cikole Sukabumi Jawa Barat), Ust. Robit Subhan (Balung Jember Jawa Timur)

LINK GROUP TANYA JAWAB HUKUM :
https://chat.whatsapp.com/ELcAfCdmm5AFXhPJdEPWT3
____________________________________________ 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Profil Group BM Nusantara (Tanya Jawab Hukum Online)

Hukum Anak Zina Lahir 6 Bulan Setelah Akad Nikah Apakah Bernasab Pada Yang Menikai Ibunya ?

Hukum Menjima' Istri Sebelum Mandi Besar ?