Hukum Menggunakan Barang Gadai


HASIL KAJIAN BM NUSANTARA 
(Tanya Jawab Hukum Online)

 السلام عليكم ورحمة الله وبركاته 

DESKRIPSI:

Badrun (nama samaran) karena sangat butuh uang, akhirnya Dia menggadaikan tanah sawah dan kendaraannya ke Qomar (nama samaran). Kemudian barang yang digadai itu dipakai atau dimanfaatkan oleh Qomar (Pemilik uang) selama Badrun (Pemilik barang) belum bisa mengembalikan uang yang diterima.
                  
Agar tidak bertentangan dengan hukum Agama dalan memanfaatkan barang gadai berupa tanah sawah dan kendaraan ini, maka diakad lagi yaitu dengan akad "Pinjam Meminjam" antara kedua pihak (Badrun dan Qomar) untuk ditanami atau dikendarai oleh Qomar.

PERTANYAAN:

Bolehkah barang gadai tersebut dimanfaatkan oleh Qomar selama Badrun belum mengembalikan uang, dengan akad Pinjam seperti pada kasus dalam Deskripsi diatas.

JAWABAN:

Hukum memanfaakan barang gadai dengan akad pinjam seperti deskripsi diatas adalah ditafsil.

a. Tidak boleh apabila akad pinjam meminjam tersebut adalah akad yang berdiri sendiri. Karena orang yang menggadaikan tidak mampu menyerahkan barangnya secara syar'i, karena tidak berada dalam kekuasaannya.

b. Boleh apabila yang dimaksud dengan akad pinjam tersebut adalah akad istibahah (meminta kebolehan) terhadap pemanfaatan marhun (barang yang digadaikan), serta akad pinjam tersebut tidak terjadi didalam akad gadai.

REFERENSI:

فتح العزيز بشرح الوجيز، الجزء ١ الصحفة ٨٨

الاول جانب الراهن وهو ممنوع عن كل تصرف قولى يزيل الملك كالبيع والهبة أو يزاحم حقه كالرهن من غيره أو ينقص كالتزويج أو يقلل الرغبة كالاجارة التي لا تنقضي مدتها قبل حلول الدين

Artinya : Pertama, dari sisi orang yang menggadaikan (Rohin) tidak boleh : Mentasorrufkan barang gadai secara ucapan yang dapat menghilangkan hak milik sama sekali, seperti jual beli atau hibbah,  Atau mendesak atau menumpuk haknya seperti menggadai dari orang lain (masih status gadai digadaikan lagi). Atau tasorruf yang dapat mengurangi nilai harga seperti menikahkan Budak. Tasorruf yang bisa mengakibatkan kurangnya ketertarikan konsumen, contohnya barang masih dalam masa sewa yang belum habis ketika sudah jatuh masa tempo pelunasan hutang.


الفتاوى الفقهية الكبرى، الجزء ٢ الصحفة ٢٨٠

وَسُئِلَ) إذَا قُلْتُمْ إنَّ الرَّهْنَ أَمَانَةٌ فِي يَدِ الْمُرْتَهِنِ وَلَا يَسْقُطُ بِذَلِكَ شَيْءٌ مِنْ دَيْنِهِ وَكَانَ الْمَرْهُونُ مَثَلًا غِرَاسًا وَالْمُرْتَهِنُ يَأْكُلُ ثِمَارَهَا مُدَّةً مَدِيدَةً  فَهَلْ لِلرَّاهِنِ مُطَالَبَةُ الْمُرْتَهِنِ بِمَا أَكَلَ مِنْ الثِّمَارِ أَمْ لَا ؟

Artinya : Jika Anda berpendapat bahwasanya barang gadai merupakan amanah yang ada ditangan penggadai (Murtahin), namun disisi lain piutang murtahin tadi tidak berkurang sama sekali, dan barang gadai berupa sawah / kebun, kemudian Murtahin itu memakan hasil tanah gadai selama beberapa waktu.
Apakah orang yang menggadaikan (Rohin) boleh menuntut kembali apa yang telah dimakan / diambil oleh penggadai (Murtahin) atau tidak ?

فَأَجَابَ إنْ أَبَاحَ الرَّاهِنُ لِلْمُرْتَهِنِ الثِّمَارَ إبَاحَةً صَحِيحَةً لَمْ يَكُنْ لَهُ الرُّجُوعُ عَلَيْهِ بِشَيْءٍ وَإِلَّا رَجَعَ عَلَيْهِ بِمِثْلِهَا إنْ كَانَتْ مِثْلِيَّةً وَقِيمَتِهَا إنْ كَانَتْ مُتَقَوِّمَةً، وَاَللَّهُ أَعْلَمُ

Ibnu Hajar menjawab ; "Apabila Rohin (orang yang menggadaikan) memperbolehkan pada Murtahin (Penggadai) mengambil hasil tanah tadi secara Ibahah Shohihah (mengizinkan penggunaan dan pemanfatan barang gadai secara benar), maka Rohin tidak boleh menuntut sedikitpun pada Murtahin.
Namun apabila Rohin tidak mengizinkan pada Murtahin, maka Murtahin wajib mengembalikan apa yang telah Murtahin ambil/ manfaatkan dari barang gadai tersebut sebanyak atau seharga apa yang Murtahin ambil/manfaatkan.


بغية المسترشدين، الصحفة ١٣٦

مسألة ش:  إِرْتَهَنَ أَرْضًا فَوَضَعَ يَدَهُ عَلَيْهَا يَسْتَغِلُّهَا مِنْ غَيْرِ نَذْرٍ وَلاَ إِبَاحَةٍ مِنَ الْمَالِكِ لَزِمَهُ أَقْصَى أَجْرِ مَنَافِعِ مَا وَضَعَ يَدَهُ عَلَيْهِ مِنْهَا فَإِنْ تَلِفَتِ الأَرْضُ حِيُنَئِذٍ لَزِمَهُ أَقْصَى الْقِيَمِ لأَِنَّ فَائِدَةَ الَرَّهْنِ إِنَّمَا هُوَ التَوَثُّقُ بِالدَّيْنِ لِيَسْتَوْفِيْهِ مِنَ الْمَرْهُوْنِ عِنْدَ تَعَذُّرِ الإِيْفَاءِ وَالتَّقَدُّم بِهِ عَلَى غَيْرِهِ فَقَطْ٠


Artinya : Seseorang menggadai tanah kemudian Dia menggarap tanah itu dengan tanpa akad nadzar ataupun akad ibahah (izin pembolehan menggarap sawah) dari sang Pemilik (orang yang menggadaikan), maka Murtahin (Penggadai) wajib mengembalikan harga sewa sawah yang Dia garap itu. Apabila tanah itu rusak, maka Dia wajib mengganti rugi kerusakan tanah itu dengan harga tertinggi. Hal ini disebabkan karena fungsi dari gadai itu adalah sebagai jaminan hutang yang digunakan untuk melunasi hutang, ketika orang yang menggadaikan tidak bisa melunasi hutangnya, dan mendahulukan / mengutamakan pelunasan pada penggadai dan mengakhirkan yang lainnya saja.


الفقه على المذاهب الأربعة، الجزء ٢ الصحفة ٣٠٠

ولكن الأكثر على أنه يجوز انتفاع المرتهن بالمرهون إذا أذنه الراهن بشرط أن لا يشترط ذلك في العقد، لأنه إذا شرطه يكون قرضاً جر نفعاً وهو ربا٠

Artinya: Namun kebanyakan Ulama' memperbolehkan Murtahin (Penggadai) memanfaatkan barang gadai apabila orang yang menggadaikan mengizinkannya, dengan syarat izin bolehnya pemanfaatan tadi tidak disebutkan / dimasukkan dalam akad. Karena jika hal itu disyaratkan ketika akad, maka akan masuk dalam katagori riba.


الفقه المنهجي، الجزء ٧ الصحفة ١٢٧

 وبالتالي: فليس للمرتهن أن ينتفع بالعين المرهونة بدون إذن الراهن مطلقاً، فإذا فعل ذلك كان متعدِّياً وضامناً للمرهون٠

Artinya: Dari hal berikut difahami bahwa : "Tidak boleh bagi Penggadai memanfaatkan barang gadai tanpa seizin orang yang menggadaikan secara mutlak, maka apabila Penggadai melakukan hal itu, maka Dia termasuk sudah melewati batas haknya dan Dia wajib mengganti rugi pada orang yang menggadaikan barang tersebut.

وهل له أن ينتفع به إذا أذن له الراهن بذلك؟
ينبغي ان نفرِّق هنا بين أن يكون الإذن بالانتفاع لاحقاً لعقد الرهن وبعد تمامه ودون شرط له، وبين أن يكون مع العقد ومشروطاً فيه؛

Lalu bolehkan Penggadai memanfaatkan barang gadai jika diizinkan oleh orang yang menggadaikan barang itu ? Dalam hal ini hendaknya Kita membedakan antara izin pemanfaatan itu terjadi setelah akad gadai sempurna dan bukan merupakan syarat dalam akad gadai. Dengan izin tersebut disebutkan dalam akad dan menjadi syarat gadai.

 فإن كان ذلك مع العقد ومشروطاً فيه كان شرطاً فاسداً، ويفسد معه عقد الرهن على الأظهر

Apabila izin tersebut ada dalam akad gadai dan disyaratkan dalam gadai itu, maka itu termasuk sarat yang rusak dan dapat merusak keabsahan akad gadai menurut qoul Adhhar.

وذلك لأنه شرط يخالف مقتضى العقد، إذ مقتضى العقد التوثّق - كما علمت - لا استباحة المنفعة وكذلك هو شرط فيه منفعة لأحد المتعاقِدَيْن وإضرار بالآخر، إذ به منفعة للمرتهن وإضرار بمصلحة الراهن٠


Hal itu disebabkan syarat tersebut tidak sesuai dengan fungsi akad gadai. Karena fungsi gadai itu sendiri adalah sebagai jaminan saja seperti yang telah diketahui, bukan akad pembolehan pemanfaatan suatu barang. Dan juga sarat tersebut merupakan pemanfaatan pada salah satu pihak yang berakad, dan merugikan pada pihak yang lain, sebab itu merupakan bentuk pengambilan manfaat oleh Penggadai yang justru merugikan pihak orang yang menggadaikan.


  والله أعلم بالصواب

 و السلام عليكم ورحمة الله وبركاته 

 PENANYA

Nama : Juriyanto Badruni
Alamat : Semboro Jember Jawa Timur
_______________________________

MUSYAWWIRIN :

Member Group WA Tanya  Jawab Hukum.

PENGURUS :

Ketua : Ust. Zainullah Al-Faqih
Wakil : Ust. Suhaimi Qusyairi
Sekretaris : Ust. Sholihin
Bendahara : Ust. Syihabuddin

TIM AHLI :

Kordinator Soal : Ust. Qomaruddin
Deskripsi masalah : Taufik Hidayat
Moderator : Ust. Zainullah Al-Faqih
Perumus : Ust. Zainul Qudsiy, Ust. Robit Subhan
Muharrir : Ust. Mahmulul Huda, Ust. Anwar Sadad
Editor : Hosiyanto Ilyas
Terjemah Ibarot : Ust. Abd. Lathif, Ust. Robit Subhan

PENASEHAT : 

Gus Abd. Qodir

LINK GROUP TANYA JAWAB HUKUM :
https://t.me/joinchat/ER-KDnY2TDI7UInw

_________________________

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Profil Group BM Nusantara (Tanya Jawab Hukum Online)

Hukum Penyembelihan Hewan Dengan Metode Stunning Terlebih Dahulu Halalkah ?

Hukum Menjima' Istri Sebelum Mandi Besar ?