Hukum Menikah ke Wali Muhakkam Sedangkan Masih Ada Kua



HASIL KAJIAN BM NUSANTARA
(Tanya Jawab Hukum Online) 

 السلام عليكم ورحمة الله وبركاته 

DESKRIPSI:

Badrun dan Badriyah (nama samaran) merupakan dua insan yang saling mencintai. Keduanya sudah sekian lama saling mengenal. Sejatinya si Badrun ingin melamar dan menikahi si Badriyah, tapi apalah daya cinta keduanya terbentur oleh penolakan dari Ayah Badriyah, karena Ayah Badriyah tidak menyukai Badrun disebabkan dia dari keluarga yang tidak mampu (miskin).

Akhirnya si Badrun membawa Badriyah ke seseorang dan membayar orang tersebut untuk jadi Wali Muhakkam agar supaya menikahkan keduanya. Setelah beberapa tahun, keduanya sudah dikarunia dua Anak Putri.

PERTANYAAN:

Bolehkan seseorang menikah dengan Wali Muhakkam, sedangkan masih ada Hakim (KUA) ?

JAWABAN:

Pernikahan menggunakan Wali Muhakkam adalah tidak sah kecuali memenuhi persyaratannya, akan tetapi berdosa karena melanggar aturan atau ketentuan pernikahan yang ditetapkan oleh Pemerintah. Sedangkan syarat Wali tahkim (urusan pernikahan) adalah apabila :

1. Perempuan tersebut tidak memiliki Wali dan tidak ada Hakim, atau...

2. Memiliki Wali tetapi Wali bepergian jauh dengan jarak masafatul qosri serta Hakim tidak mau menikahkan kecuali dengan biaya.

3. Wali Muhakkam harus diangkat oleh kedua calon mempelai laki laki dan perempuan.

4. Menurut pendapat al ashah, Muhakkam tidak harus Mujtahid melainkan harus orang yang ‘adil.

5. Dalam keadaan dhorurot atau terpaksa dan tidak memungkinkan untuk melakukan pernikahan ke KUA.

REFERENSI:

مغني المحتاج إلى معرفة ألفاظ المنهاج، الجزء ١٢ الصحفة ١٢٦-١٢٧

لَوْ عُدِمَ الْوَلِيُّ وَالْحَاكِمُ فَوَلَّتْ مَعَ خَاطِبِهَا أَمْرَهَا رَجُلًا مُجْتَهِدًا لِيُزَوِّجَهَا مِنْهُ صَحَّ ؛ لِأَنَّهُ مُحَكَّمٌ وَالْمُحَكَّمُ كَالْحَاكِمِ ، وَكَذَا لَوْ وَلَّتْ مَعَهُ عَدْلًا صَحَّ عَلَى الْمُخْتَارِ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ مُجْتَهِدًا لِشِدَّةِ الْحَاجَةِ إلَى ذَلِكَ. الى ان قال- وَأَمَّا الَّذِي اخْتَارَهُ النَّوَوِيُّ أَنَّهُ يَكْفِي الْعَدَالَةُ ، وَلَا يُشْتَرَطُ أَنْ يَكُونَ صَالِحًا لِلْقَضَاءِ فَشَرْطُهُ السَّفَرُ وَفَقْدُ الْقَاضِي٠ وَقَالَ الْأَذْرَعِيُّ : جَوَازُ ذَلِكَ مَعَ وُجُودِ الْقَاضِي بَعِيدٌ مِنْ الْمَذْهَبِ وَالدَّلِيلُ ؛ لِأَنَّ الْحَاكِمَ وَلِيٌّ حَاضِرٌ ، وَيَظْهَرُ الْجَزْمُ بِمَنْعِ الصِّحَّةِ إذَا أَمْكَنَ التَّزْوِيجُ مِنْ جِهَتِهِ ، وَكَلَامُ الشَّافِعِيِّ مُؤْذِنٌ بِأَنَّ مَوْضِعَ الْجَوَازِ عِنْدَ الضَّرُورَةِ ، وَلَا ضَرُورَةَ مَعَ إمْكَانِ التَّزْوِيجِ مِنْ حَاكِمِ أَهْلٍ حَاضِرٍ بِالْبَلَدِ وَبَسَطَ ذَلِكَ ، وَهَذَا يُؤَيِّدُ مَا جَرَى عَلَيْهِ الْوَلِيُّ الْعِرَاقِيُّ ، وَهُوَ الْمُعْتَمَدُ

Artinya: Berkata Asy-Syafi'iyah ; Jika Wali Khos dan Hakim tidak ada kemudian si Wanita dan tunangannya memasrahkan urusan perwaliannya kepada seorang lelaki yang mencapai derajat Mujtahid untuk menikahkannya maka hukumnya sah, karena orang tersebut menjadi pengganti Hakim, sehingga hukumnya sama dengan Hakim. Dan Demikian juga, jika Wanita tersebut bersama tunangannya memasrahkan urusan perwaliannya kepada seorang yang adil meskipun dia bukan Mujtahid, maka menurut Qoul Mukhtar hukumnya sah, karena hal ini termasuk kebutuhan yang mendesak. Adapun pendapat yang dipilih oleh Imam Nawawi adalah seorang Muhakkam cukup bersifat adil, tidak disyaratkan harus patut menjadi Qodli, namun yang terpenting adalah walinya safar dan tidak adanya seorang Qodli (pihak KUA). Imam Al Adzrai berkata : Kebolehan melakukan tahkim sementara masih ada Qodli adalah sangat jauh kebenarannya dari Madzhab, dan dalilnya Hakim adalah Wali yang ada, Namun jelas bahwa penegasan tidak sah itu apabila memungkinkan pernikahannya menempuh jalan itu. Ungkapan Imam Syafi'i memberi penjelasan bahwa kebolehan itu dalam kondisi terpaksa dan tidak ada keterpaksaan apabila memungkinkan pernikahan dilakukan pada Hakim yang ada di Daerah itu. Ini pendapat yang dikuatkan oleh Al Wali Al Iraqi dan termasuk pendapat yang bisa dijadikan pegangan.



بغية المسترشدين، الجزء ١ ،الصحفة ٤٣٥

زاد في ب: وشرط ابنا حجر وزياد في التحكيم فقد الولي الخاص، فلا يجوز مع غيبته وجوّزه الأذرعي والرداد

Artinya: Imam Ibnu Hajar dan Ibnu Ziyad mensyaratkan kebolehan mengangkat Wali Hakim ketika tidak adanya Wali Khos sebab itu tidak boleh ketika walinya tidak ada di tempat. Dan Imam Adzro’ai dan Imam Ar Roddan membolehkannya hal tersebut.



بغية المسترشدين، الجزء ١ الصحفة ٤٣٥

مسألة: ي غاب وليها مرحلتين ولم يكن ثم قاض صحيح الولاية بأن يكون عدلاً فقيهاً، أو ولاه ذو شوكة مع علمه بحاله بمسافة القصر حكَّمت هي والزوج عدلاً يقول كل منهما : حكمتك تزوجني من فلانة أو فلان، ولا بد من قبول المحكم على المعتمد ثم تأذن له في تزويجها

Artinya : Wali seorang Perempuan pergi dengan jarak 2 marhalah/ masafah al qosri dan di Daerah itu tidak ada Qodli yang sah kewaliannya misalnya hanya adil dan ahli fiqh. Atau diangkat oleh Pemerintah (seperti saat ini) serta diketahuinya keadaan Wali pada jarak perjalanan qosor, maka seorang perempuan tersebut dan suami (calon) mengangkat orang adil sebagai wali hakim dengan ucapan mereka berdua : "Aku mengagkat Hakim kepadamu untuk mengawinkan Ku" dari pihak laki dan perempuan. Dan harus ada penerimaan dari pihak Muhakkam menurut Qoul mu'tamad. Kemudian meminta izin dalam mengawinkannya.



نهاية الزين، الصحفة ٣٠٩ - ٣١٠

نعم لو كان القاضي يأخذ دراهم لها مقدار عظيم لا تحتمل عادة النسبة للزوجين جاز لهما تولية أمرهما حرا عدلا مع وجود القاضي فعلم أنه لا يجوز للمرأة أن توكل مطلقا

Artinya: Benar begitu tetapi seandainya Qodli memungut uang dengan jumlah besar yang secara kebiasaan tidak bisa dipenuhi oleh dua calon suami istri, maka boleh keduanya memasrahkan urusannya kepada Lelaki merdeka lagi adil walaupun terdapat Qodli. Namun dapat diketahui bahwa seorang perempuan tidak boleh mewakilkan untuk menikahkan secara mutlak.


بغية المسترشدين، الجزء ١ ، الصحفة ١٨٦

وتردد فيه في التحفة، ثم مال إلى الوجوب في كل ما أمر به الإمام ولو محرماً لكن ظاهراً فقط، وما عداه إن كان فيه مصلحة عامة وجب ظاهراً وباطناً وإلا فظاهراً فقط أيضاً، والعبرة في المندوب والمباح بعقيدة المأمور، ومعنى قولهم ظاهراً أنه لا يأثم بعدم الامتثال، ومعنى باطناً أنه يأثم اهـ

Artinya: Shohibul al Thufah bimbang dalam masalah ini, kemudian Beliau condong kepada wajib dalam setiap perintah Imam sekalipun perkara haram tetap secara dhohir saja. Sementara selain perkara haram jika didalamnya mengandung kemaslahatan umum, maka wajib mentaatinya secara dhohir dan bathin, jika tidak begitu secara bathin saja. Dan yang diperhatikan dalam masalah sunnah dan mubah tergantung itiqadnya yang diperintah. Maksud perkataan Dhohir adalah tidak berdosa dengan tidak mematuhi dan sedangkan Bathin adalah berdosa bila tidak mematuhi.


 شرح الياقوت النفيس، الصحفة ٥٨٧ دار المنهاج

فالتحكيم هو ان يتفق الزوج والزوجة او غيرهما في دعوى على تحكيم شخص ليحكم في دعواهما .  وهذاالتحكيم له شروط. تارة يكون في البلد الذي هما فيه قاض مجتهد موجود فلا يجوز التحكيم  وتارة يكون القاضي قاض ضرورة كما اليوم فيجوز لهما ان يحكما رجلا مجتهدا او فقيها  وتارة يكون ببلد ليس به قاض فلهما ان يحكما عدلا ويشهدا شاهدين ويتمّ العقد واما التولية فهي تولية المرأة وحدها عدلا في تزويجها ويشترط فيها فقد الولي الخاص والعام

Artinya: Tahkim adalah kesepakatan Suami dan Istri atau lainnya untuk mengangkat seseorang sebagai Hakim dalam kepentingannya. Tahkim (mengangkat Muhakkam) memiliki beberapa ketentuan sebagai berikut : Jika di suatu Daerah terdapat seorang Qodli yang mencapai derajat Mujtahid, maka tidak boleh mengangkat Muhakkam. Jika di suatu Daerah terdapat seorang Qodli dlorurat (belum mencapai derajat mujtahid) seperti yang ada pada zaman sekarang maka boleh mengangkat Muhakkam seorang mujtahid atau faqih (orang ahli fiqh beserta dalilnya)  Jika di suatu Daerah tidak terdapat Qodli sama sekali, maka boleh mengangkat Muhakkam seseorang yang adil, dan mengangkat dua saksi maka sah aqadnya. Adapun tauliyah adalah mengangkat seseorang sebagai Wali yang dilakukan oleh seorang Wanita untuk menikahkan dirinya. Dalam hal ini disyaratkan tidak adanya Wali Khos (kerabat) dan Wali 'Am (Pemerintah). Namun apabila yang dilakukan karena taqlid kepada Imam yang menghalalkan pernikahan tersebut, maka hukumnya tidak diharamkan. Dan disebut dengan Syubhatul Al-Thariq.

______________________________

HIMBAUAN:

(1).  Jika Suami Istri telah mengetahui bahwa aqadnya tidak sah, maka ia harus segera berbenah diri. Kalau masih mungkin dinikahkan maka harus akad kembali. Namun bila tidak mungkin dinikahkan (seperti ternyata suami istri itu masih se-mahrom) maka mereka harus berpisah.

(2). Dalam permasalahan nikah dan nasab harus berhati-hati betul, karena bila salah maka bisa berkelanjutan salahnya.


   والله أعلم بالصواب

و السلام عليكم ورحمة الله وبركاته 


PENANYA

Nama : Waki Santoso
Alamat : Tempeh Lumajang Jawa Timur

_______________________________

MUSYAWWIRIN :

Member Group WhatsApp Tanya  Jawab Hukum.

PENGURUS :

Ketua : Ust. Zainullah Al-Faqih
Wakil : Ust. Suhaimi Qusyairi
Sekretaris : Ust. Sholihin
Bendahara : Ust. Syihabuddin

TIM AHLI :

Kordinator Soal : Ust. Qomaruddin
Deskripsi masalah : Ust. Taufik Hidayat
Moderator : Ust. Zainullah Al-Faqih
Perumus : Ust. Zainul Qudsiy, Ust. Robit Subhan
Muharrir : Ust. Mahmulul Huda, Ust. Anwar Sadad
Editor : Ust. Hosiyanto Ilyas
Terjemah Ibarot : Ust. Abd. Lathif, Ust. Robit Subhan

PENASEHAT : Gus Abd. Qodir

_________________________

Komentar

  1. هذا هوالصحيح.ان قلت كذالك يجب عليّ ان اعمله.شكرا كثير

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Profil Group BM Nusantara (Tanya Jawab Hukum Online)

Hukum Penyembelihan Hewan Dengan Metode Stunning Terlebih Dahulu Halalkah ?

Hukum Menjima' Istri Sebelum Mandi Besar ?