Apakah Durriyah Nabi Termasuk Ma'shum atau Terjaga dari Dosa?


HASIL KAJIAN BM NUSANTARA 
(Tanya Jawab Hukum Online)

 السلام عليكم و رحمة الله وبركاته

DESKRIPSI:

Sopo dan Jarwo (nama samaran) suatu malam mempunyai tugas menjaga keamanan di Desanya. Saat keduanya sedang duduk di Poskamling, lalu Sopo memulai pembicaraan terkait Fenomena pada Durriyah Nabi di Medsos dengan mengatakan; "Enaknya menjadi Durriyah Nabi, karena bisa berbuat semaunya sendiri tanpa takut dosa seperti mencela, memaki, menghina sehingga meskipun banyak yang membencinya, tetapi toh akhirnya tetap saja Durriyah Nabi tersebut dijamin masuk surga karena keutamaannya sebagai Durriyah Nabi yang Ma'shum, masak iya neraka mau nyiksa Durriyah Nabi.

PERTANYAAN:

Apakah Durriyah Nabi termasuk orang yang Ma'shum (terjaga dari dosa)?

JAWABAN:

Tidak maksum, karena yang ma'shum adalah para Anbiya'.

REFERENSI:

الشرف المؤبد لآل محمد، الجزء  ١ الصحفة ٥٧

وفسق أحدهم لا يخرجه عن بيت النبوة، وهم بشر غير معصومين، فلا يطرأ بذلك خلل فى نسبهم، وان كان يشين قدرهم الرفيع، ويحط بين الصالحين من رتبهم٠

Artinya : Kefasikan seorang ahlul bait, tidak mengeluarkan Mereka dari status ahlul bait. Mereka adalah Manusia biasa yang tidak maksum (tidak terjaga dari berbuat dosa). Kefasikan tersebut tidak menjadikan cacat yang bisa merubah status nasab mereka, meskipun hal itu mencemarkan nama baik / kedudukan mulia Mereka, dan menurunkan derajat Mereka diantara orang-orang Sholeh.


دليل الفالحين لطرق رياض الصالحين، الجزء ٥ الصحفة ١٤٣

والمعصوم من عصم الله) قال الشيخ أكمل الدين: أراد به نفسه لأنه بين في حديث آخر أن كل واحد وكل به قرينه من الجنة وقرينه من الملائكة إلا أن الله تعالى أعان نبينا فأسلم قرينه من الجن ولم يبق له داع إلى الشرّ اهـ

Artinya : Adapun orang yang ma'shum adalah orang yang dijaga oleh Allah. Syekh Akmaluddin berkata : "Yang dimaksud orang yang ma'shum dalam hadist tersebut adalah diri pribadi Rosululloh, karena dalam hadist yang lain Beliau menjelaskan bahwasanya : "Setiap orang itu disertai oleh satu qorin dari golongan Jin dan satu Qorin dari golongan Malaikat, namun Allah memberikan pertolongan kepada Rosululloh sehingga Jin Qorin yang menyertai Beliau masuk Islam dan tunduk, akhirnya Jin Qorin tadi tidak bisa mempengaruhi Rosululloh untuk mengarah kepada perbuatan yang jelek.

أقول» إن أريد من العصمة منع الوقوع في الذنب مع استحالته فهو كما قال من قصر الأمر عليه إذ لا عصمة لأحد من الأمة، وإن أريد منها الحفظ من الذنب مع جواز الوقوع فيه فلا اختصاص به

Saya berpendapat : "Apabila yang dimaksud dengan ishmah (terjaga) itu dilindungi dari berbuat dosa dalam arti tidak mungkin berbuat dosa, maka hal itu sesuai dengan apa yang di sabdakan Nabi, yang memberikan pengertian terbatasinya kema'suman tersebut khusus bagi Nabi. Karena tidak ada seorangpun dari umat Nabi yang ma'sum. Dan apabila yang dimaksud ishmah itu adalah terjaga dari dosa, namun ada kemungkinan terjerumus ke dalam perbuatan dosa (atau istilah lainnya Mahfudz), maka tentunya penjagaan tersebut tidak ada pengkhususan.

والمراد من قوله والمعصوم من عصم الله، إما المنع من الوسواس ابتداء بمنع قرينه من ذلك وإن كان باقياً على كفره والله على كل شيء قدير، أو عدم قراره في نفسه، ومثله غير مؤاخذ بذلك لحديث «إن الله تجاوز لأمتي ما حدّثت به أنفسها ما لم تتكلم أو تعمل» أو صرف نفسه عن العمل بقضية ذلك الوسواس والله أعلم

Adapun yang dimaksud sabda Nabi : "Adapun orang yang ma'shum adalah orang yang dijaga oleh Allah" adalah : Dijaga dari was-was sejak awal mula, dengan cara mencegah Jin Qorin Beliau sehingga Jin Qorin itu tidak dapat membisikan waswas tersebut, meskipun Jin Qorin tadi masih berstatus kafir. Dan Allah Maha Kuasa atas segak sesuatu. Atau was-was tersebut hanya terlintas sekilas saja dalam diri Beliau, hal seperti itu tidak masuk katagori catatan, hal ini berdasar hadist : "Sesungguhnya Allah memgampuni ummatku dari apa yang sekilas terlintas dalam hatinya selagi Dia tidak mengatakan atau melakukan nya". Beliau dipalingkan dari melakukan perbuatan yang bersumber dari bisikan was-was tersebut.
Wallahu A'lam.


إحياء علوم الدين، الجزء ٢ الصحفة ٣١٣

هل يشترط في الاحتساب أن يكون متعاطيه معصوماً عن المعاصي كلها فإن شرط ذلك فهو خرق للإجماع ثم حسم لباب الاحتساب إذ لا عصمة للصحابة فضلاً عمن دونهم

Artinya : Apakah disyaratkan dalam menegakkan amar makruf nahi munkar, bagi pelaksananya harus maksum dari semua maksiat ? Apabila kemaksuman tersebut memang menjadi syarat bagi penegak / pelaku amar makruf nahi munkar, maka pensyaratan itu merupakan perkara yang menyalahi Ijma' Ulama' dan dapat memutus pintu penegakan amar ma'ruf nahi munkar. Mengapa demikian ? Karena para sahabat saja tidak maksum apalagi orang setelah mereka.

والأنبياء عليهم السلام قد اختلف في عصمتهم عن الخطايا والقرآن العزيز دال على نسبة آدم عليه السلام إلى المعصية وكذا جماعة من الأنبياء

Bahkan para Nabipun dalam kema'shuman mereka dari bentuk kesalahan masih dipertentangkan (ikhtilaf), dan al-Qur'an sendiri menunjukkan atas penisbatan pelanggaran yang dilakukan nabi Adam (karena memakan buah khuldi) kepada kemaksiatan. Begitu juga yang terjadi pada segolongan Nabi yang lainnya.

ولهذا قال سعيد بن جبير إن لم يأمر بالمعروف ولم ينه عن المنكر إلا من لا يكون فيه شيء لم يأمر أحد بشيء فأعجب مالكاً ذلك من سعيد بن جبير

Karena inilah Said bin Zubair berkata : "Kalau memang amar makruf nahi mungkar hanya boleh dilakukan oleh orang yang tidak punya dosa / kesalahan sama sekali, tentunya tidak akan ada orang yang melakukana amar ma'ruf nahi mungkar tersebut". Maka Imam Malik merasa takjub terhadap kebenaran perkataan Said bin Zubair ini.


روح البيان، الجزء ٥ الصحفة ٤٣٨

والزلة ليست بمعصية ممن صدرت عنه لانها اسم لفعل حرام غير مقصود فى نفسه للفاعل ولكن وقع عن فعل مباح قصده

Artinya : Adapun sebuah kesalahan itu tidak termasuk maksiat yang timbul dari orang yang melakukannya. Mengapa demikian ? karena yang disebut dengan kesalahan adalah melakukan perbuatan harom yang tanpa disengaja oleh pelaku, tetapi kesalahan tersebut timbul akibat Dia melakukan perbuatan mubah yang Dia sengaja, (lalu tanpa sengaja Dia justru terjerumus ke dalam keharaman).

فاطلاق اسم المعصية على الزلة فى هذه الآية مجاز لان الأنبياء عليهم السلام معصومون من الكبائر والصغائر لا من الزلات عندنا 
وعند بعض الاشعرية لم يعصموا من الصغائر

Adapun penggunaan kata "maksiat" dengan arti "kesalahan / kekeliruan" dalam ayat ini, merupakan bentuk kata majaz. Karena para Nabi itu bersifat ma'shum / terlindungi dari perbuatan dosa besar maupun kecil, namun tidak terlindungi dari kesalahan / kekeliruan yang tanpa sengaja. Ini menurut pendapat Kita. Adapun menurut sebagian Ulama' Asy'ariyah : "Para Nabi tersebut tidak terlindungi dari berbuat dosa kecil".

وذكر فى عصمة الأنبياء: ليس معنى الزلة انهم زلوا عن الحق الى الباطل ولكن معناها انهم زلوا عن الأفضل الى الفاضل وانهم يعاتبون به لجلال قدرهم ومكانتهم من الله تعالى

Dan dijelaskan dalam bab ke ma'shuman para Nabi bahwasanya : "Yang dimaksud Kesalahan itu bukan berarti mereka menyimpang dari kebenaran kepada kebatilan, bukan seperti itu. Tetapi maknanya adalah mereka melakukan amal yang utama namun justru meninggalkan amal yang lebih utama. Meskipun demikian mereka tetap diperingatkan oleh Allah, karena mereka adalah orang-orang yang memiliki kemuliaan pangkat dan derajat disisi Allah."


والله أعلم بالصواب

 و السلام عليكم ورحمة الله وبركاته 

 PENANYA

Nama : Habib Abdullah bin Idrus bin Agil
Alamat : Tumpang Malang Jawa Timur
_______________________________

MUSYAWWIRIN :

Member Group WhatsApp Tanya Jawab Hukum. 


PENGURUS :

Ketua : Ust. Zainullah Al-Faqih
Wakil : Ust. Suhaimi Qusyairi
Sekretaris : Ust. Sholihin
Bendahara : Ust. Syihabuddin


TIM AHLI :

Kordinator Soal : Ust. Qomaruddin
Deskripsi masalah : Ust. Taufik Hidayat
Moderator : Ust. Zainullah Al-Faqih
Perumus : Ust. Asep Jamaluddin, Ust. Anwar Sadad, Ust. Zainul Qudsiy
Muharrir : Ust. Mahmulul Huda,
Editor : Hosiyanto Ilyas
Terjemah Ibarot : Ust. Robit Subhan, Ust. Abd. Lathif

PENASEHAT :

Habib Abdullah bin Idrus bin Agil
Gus Abd. Qodir

LINK GROUP TANYA JAWAB HUKUM :
https://t.me/joinchat/ER-KDnY2TDI7UInw
_________________________

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Profil Group BM Nusantara (Tanya Jawab Hukum Online)

Hukum Anak Zina Lahir 6 Bulan Setelah Akad Nikah Apakah Bernasab Pada Yang Menikai Ibunya ?

Hukum Menjima' Istri Sebelum Mandi Besar ?