Seorang Istri Sudah 5 Tahun Tidak Dinafkahi Dhohir-Bathin Apakah Secara Otomatis Tertalak ?

HASIL KAJIAN BM NUSANTARA 
(Tanya Jawab Hukum Online)

 السلام عليكم و رحمة الله وبركاته

DESKRIPSI:

Badrun dan Badriyah (nama samaran) merupakan Suami-Istri yang sejak 5 tahun lalu tidak akur diantara keduanya. Bahkan Badriyah yang sudah pulang kerumahnya sejak 5 tahun yang lalu tidak pernah dinafakahi dhohir-bathin sama Badrun, padahal Badrun belum menjatuhkan talaq pada Badriyah.

Akhirnya baru-baru ini, Badrun mengatakan kepada Badriyah dengan mengatakan; "Jika kamu mau memfasakh, maka uruslah sendiri". Kemudian selang beberapa hari, Badriyah memfasakh pernikahanya ke Pengadilan dan akhirnya turunlah surat fasakh tersebut.

PERTANYAAN:        

Apakah Badriyah secara otomatis tertelaq oleh Badrun karena sudah 5 tahun tidak dinafakahi dhohir-bathin?

JAWABAN:

Badriyah yang tidak dinafkahi dhohir batin selama 5 tahun tidak secara otomatis tertalak. Tetapi menurut Qoul Qodim boleh melakukan fasakh nikah apabila tidak diketahui kabar beritanya dan tidak diketahui tempatnya. Sementara menurut Qoul Jadid tidak boleh melakukan fasakh sampai diyakini meninggalnya Suami.

REFERENSI:

حاشيتا قليوبي وعميرة، الجرء ٤ الصحفة ٥١

ومن غاب بسفر أوغيره وانقطع خبره ليس لزوجته نكاح لغيره حتى يتيقن موته أو طلاقه لأن النكاح معلوم بيقين فلا يزال إلا بيقين وعن القفال لو أخبرها عدل بوفاته حل لها أن تنكح غيره فيما بينها وبين الله تعالى وفي القديم تتربص أربع سنين ثم تعتد لوفاة نكاح غيره٠

Artinya : Barang siapa menghilang sebab pergi maupun yang lainnya dan tidak diketahui kabarnya, maka tidak boleh si Istri menikah dengan orang lain hingga yakin bahwa Suami sudah mati atau mentalaqnya. Dan pendapat Imam Qoffal menyatakan; "Apabila ada seseorang yang adil memberi kabar pada si Istri atas kematian Suaminya, maka halal si Istri menikah lagi dengan orang lain dan hal ini merupakan urusan Dia dengan Allah SWT. Adapun dalam Qoul Qodim dijelaskan bahwa Wanita tadi menanti selama 4 tahun, kemudian melakukan iddah wafat lalu menikah dengan Laki-laki lain.


البيان في مذهب الامام الشافعي، الجزء ١١ الصحفة ٤٢ -٤٥

إذا غاب الزوج عن زوجته٠ نظرت؛ فإن كانت غيبته غير منقطعة، بأن يأتيها خبره، أو تعلم مكانه.. فليس لها أن تفسخ النكاح، بل إن كان له مال حاضر.. أنفق عليها الحاكم منه، وإن لم يكن له مال حاضر.. كتب الحاكم إلى حاكم البلد الذي فيه الزوج ليطالبه بحقوقها٠

Artinya : Apabila Suami pergi menghilang meninggalkan Istri maka dilihat: Apabila Dia pergi namun kondisinya dan keberadaannya masih bisa diketahui, maka Istri tidak boleh meminta fasakh nikah, bahkan jika Suami punya harta disitu, maka Hakim memberikan harta Suami kepada si Istri. Apabila Suami tidak punya harta, maka Hakim Daerah Istri mengirim surat pada Hakim Daerah Suami agar menuntut Suami memberi nafkah pada si Istri.

وإن كانت غيبته منقطعة، بأن لا تسمع بخبره، ولا تعلم مكانه الذي هو فيه.. فإن ملكه لا يزول عن ماله، بل هو موقوف أبدا إلى أن يتيقن موته

b) Apabila Suami tidak diketahui sama sekali kabar kondisi dan tempat keberadaannya, maka hak milik Suami atas harta tidak hilang. Harta tersebut tetap selamanya hingga yakin Suami benar-benar menghilang.


وأما زوجته٠ ففيها قولان 

١- قال في القديم ؛ (لها أن تتربص أربع سنين، ثم تعتد، ثم تتزوج إن شاءت) ولأن الضرر يلحقها بذلك، فثبت لها الفسخ، كما لو كان عنينا، أو أعسر بالنفقة٠

٢- قال في الجديد ؛ (ليس لها أن تتربص ولا تفسخ، بل تصبر إلى أن تتيقن موت زوجها) ولأنه زوج جهل موته، فلم يحكم بوقوع الفرقة، كما لو لم تمض أربع سنين

Adapun hukum bagi si Istri ada 2 pendapat;

1) Dalam Qoul Qodim Imam Syafi'i berpendapat; "Bagi Istri hendaknya menunggu hingga 4 tahun, kemudian melakukan iddah, lalu menikah jika memang si Istri ingin menikah berdasar atsar Sayyidina Umar Ra. Juga karena si Istri mengalami dloror sebab hal itu, maka tetap bagi seorang Istri boleh fasakh sebagaimana jika Suami mengalami impoten atau tidak mampu menafkahi.

2) Dalam Qoul Jadid Imam Syafi'i berpendapat si Istri tidak perlu menanti dan juga tidak meminta fasakh akan tetapi Dia bersabar hingga Dia yakin bahwa Suaminya benar-benar telah mati.
Dan juga karena mati-tidaknya Suami tidak jelas statusnya, maka tidak bisa dihukumi jatuhnya furqoh (cerai) sebagaimana hukum Istri menanti belum melewati masa 4 tahun.

إذا ثبت هذا ؛ فإذا قلنا بقوله القديم.. فإنها تتربص أربع سنين من حين انقطع خبره، ثم تعتد عدة الوفاة؛ لما رويناه عن عمر رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ

Apabila ketentuan diatas ini telah menjadi ketetapan: Jika kita berpendapat dengan Qoul Qodim Imam Syafi'i, maka seorang Perempuan harus menunggu 4 tahun sejak dari terputusnya berita Suami, kemudian beriddah dengan hitungan iddah wafat, karena berdasar pada hadits riwayat Sayyidima Umar Ra.

وهل يفتقر ابتداء مدة التربص إلى الحاكم؟ فيه وجهان

Lalu apakah permulaan penantian itu butuh pada keputusan Hakim atau tidak ? dalam hal ini ada 2 pendapat ;

أحدهما - وهو قول أبي إسحاق المروزي، واختيار صاحب المهذب ؛ أنها تفتقر إلى ذلك؛ لأنها مدة مجتهد فيها، فافتقرت إلى حكم الحاكم، كمدة العنين٠

Pertama, yaitu pendapat Abu Ishaq al-Maruzi dan juga dipilih as-Syairizi pengarang Muhadzdab menyatakan bahwa; Penghitungan permulaan itu butuh pada keputusan hakim, karena masa waktu tersebut merupakan produk ijtihad, sehingga butuh pada keputusan Hakim sebagaimana dalam masalah masa impotensi (satu tahun).

والثاني؛ لا تفتقر إلى حكم الحاكم، قال الشيخ أبو حامد؛ وهو المنصوص في القديم؛ لأنها مدة تعلم بها براءة رحمها، فلم تفتقر إلى الحاكم، كما قلنا في المعتدة إذا انقطع دمها لغير عارض

Kedua, penghitungan permulaan penantian itu tidak butuh pada keputusan hakim, Syekh Abu Hamid al- Ghozali berkata; "Itu merupakan nash pendapat Imam Syafi'i dalam Qoul Qodim, hal ini disebabkan karena masa penantian tersebut merupakan masa penentuan hamil dan tidaknya si Istri (hasil hubungan dengan Suami tersebut), maka hal itu tidak butuh pada keputusan Hakim sebagaimana pendapat Kami dalam masalah Wanita yang habis masa haidlnya tanpa disebabkan sesuatu hal baru.

وهل يفتقر إلى حكم الحاكم بالفرقة بعد أربع سنين ؟ فيه وجهان، حكاهما في المهذب

Apakah permulaan masa penantian butuh pada keputusan Hakim untuk keputusan furqoh (pisah dengan Suami) setelah melebihi masa 4 tahun ? Dalam masalah ini ada 2 pendapat sebagaimana disebutkan oleh As-Syairozi dalam kitab Muhadzdab yaitu :

أحدهما ؛ لا يفتقر إلى حكم الحاكم بالفرقة؛ لأن الحكم بتقدير المدة حكم بالموت بعد انقضائها٠

Salah satunya, hal itu tidak butuh kepada keputusan Hakim yang menentukan furqoh (pisah), karena hukum yang ditentukan berdasar waktu itu merupakan hukum status kematian si Suami setelah habisnya masa penantian (4 tahun).

والثاني - ولم يذكر الشيخ أبو حامد في "التعليق"، وابن الصباغ غيره أنه يفتقر إلى حكم الحاكم بالفرقة؛ لأنها فرقة مجتهد فيها، فافتقرت إلى الحاكم، كفرقة العنين

Kedua, Syekh Abu Hamid dalam kitab Ta'liq tidak menyebutkan hal ini, sedangkan Ibnu Shibagh dan selainnya menyatakan bahwa hal itu butuh pada keputusan Hakim untu masalah furqoh (pisah), karena dalam kasus ini status furqohnya berdasar ijtihad, sehingga butuh pada keputusan Hakim sebagaimana penentuan hukum masalah impotensi.


   والله أعلم بالصواب

 و السلام عليكم ورحمة الله وبركاته 

 PENANYA

Nama : Mubarok
Alamat : Jrengik Sampang Madura Jawa Timur 
___________________________

MUSYAWWIRIN :

Member Group Telegram Tanya Jawab Hukum. 

PENASEHAT :

Habib Abdullah bin Idrus bin Agil (Tumpang Malang Jawa Timur)
Habib Abdurrahman Al-Khirid (Kota Sampang Madura)

PENGURUS :

Ketua : Ust. Suhaimi Qusyairi (Ketapang Sampang Madura)
Wakil : Ust. Zainullah Al-Faqih (Umbul Sari Jember Jawa Timur)
Sekretaris : Ust. Moh. Kholil Abdul Karim (Karas Magetan Jawa Timur)
Bendahara : Ust. Syihabuddin (Balung Jember Jawa Timur)

TIM AHLI :

Kordinator Soal : Ust. Qomaruddin (Batu Licin Kalimantan Selatan)
Deskripsi masalah : Ust. Taufik Hidayat (Pegantenan Pamekasan Madura)
Moderator : Ust. Jefri Ardian Syah (Sokobanah Sampang Madura)
Perumus + Muharrir : Ust. Mahmulul Huda (Bangsal Jember Jawa Timur)
Editor : Hosiyanto Ilyas (Jrengik Sampang Madura)
Terjemah Ibarot : Ust. Robit Subhan (Balung Jember Jawa Timur)

LINK GROUP TANYA JAWAB HUKUM :
___________________________

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Profil Group BM Nusantara (Tanya Jawab Hukum Online)

Hukum Penyembelihan Hewan Dengan Metode Stunning Terlebih Dahulu Halalkah ?

Hukum Menjima' Istri Sebelum Mandi Besar ?