Hukum Hidangan Tahlil Diniatkan Bayar Fidyah

HASIL KAJIAN BM NUSANTARA 
(Tanya Jawab Hukum Online)


 السلام عليكم ورحمة الله وبركاته 

DESKRIPSI:

Sariman (nama samaran) wafat 2 hari yang lalu. Bulan Ramadlan yang lalu, sebulan penuh Dia tidak berpuasa karena sakit yang dideritanya. Padahal sehari setelah Idul Fitri Dia sembuh dan punya kesempatan meng-qodlo', bahkan Dia sempat bekerja sebagai tukang becak. Namun Sariman tidak meng-qodlo'nya sampai Dia wafat kemarin tanggal 2 Dzulhijjah.

PERTANYAAN:

Bolehkah makanan yang diberikan pada orang-orang yang mengikuti acara tahlilan diniatkan untuk membayar fidyah Puasa Ramadhan yang ditinggalkan oleh Al-Marhum Sariman?

JAWABAN:

Hukum memberi makan orang-orang yang mengkuti tahlilan diniatkan membayar fidyah Puasa Ramadhan adalah tidak sah. Karena fidyah harus berupa makanan pokok dan harus diberikan kepada orang faqir dan miskin. Dan pemberian makan pada acara tahlil biasanya adalah shodaqoh.

REFERENSI:

الحاوي في فقه الشافعي، الجزظ ١٣ الصحفة ٤٤  دار الفكر

مَسْأَلَةٌ : قَالَ الشَّافِعِيُّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ : ”وَلَا يُجْزِئُهُ أَنْ يُعْطِيَهُمْ دَقِيقًا وَلَا سَوِيقًا وَلَا خُبْزًا حَتَّى يُعْطِيَهُمُوهُ حَبًّا في الكفارة"٠

Artinya: Persoalan Hukum. Imam Syafi'i berkata; "Tidak mencukupi (tidak boleh) bagi orang tersebut memberikan pada mereka berupa tepung, atau sawiq ataupun roti, hingga mereka memberikan pada mereka biji-bijian didalam membayar kafaroh". 


قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ : وَهَذَا صَحِيحٌ لِأَمْرَيْنِ أَحَدُهُمَا : أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – نَصَّ عَلَى الْحُبُوبِ فَلَا يُجْزِيهِ غَيْرُهَا وَالثَّانِي : أَنَّ الْحَبَّ أَكْثَرُ مَنْفَعَةً ؛ لِأَنَّهُ يُمْكِنُ ادِّخَارُهُ وَزَرْعُهُ وَاقْتِنَاؤُهُ ، فَإِذَا صَارَ دَقِيقًا أَوْ سَوِيقًا أَوْ خُبْزًا نَقَصَتْ مَنَافِعُهُ، وَإِخْرَاجُ النَّاقِصِ فِي مَوْضِعِ الْكَامِلِ غَيْرُ مُجْزِئٍ٠ وَقَالَ أَبُو الْقَاسِمِ الْأَنْمَاطِيُّ يَجُوزُ إِخْرَاجُ الْخُبْزِ لِأَنَّهُ مُهَيَّأٌ لِلِاقْتِيَاتِ، مُسْتَغْنٍ عَنْ مَؤُونَةٍ وَعَمَلٍ،٠ وَهَذَا فَاسِدٌ لِأَنَّ الِاقْتِيَاتَ أَحَدُ مَنَافِعِهِ، وَإِذَا كَمُلَ اقْتِيَاتُهُ بِالْخُبْزِ فَقَدْ فَوَّتَ كَثِيرًا مِنْ مَنَافِعِهِ الَّتِي رُبَّمَا كَانَتِ الْحَاجَةُ إِلَيْهَا أَدْعَى وَالنَّفْسُ إِلَيْهَا أَشْهَى٠

Imam Mawardi menjelaskan ini benar dilihat dari dua hal : Nabi SAW menentukan kafaroh dalam bentuk biji-bijian, maka selainnya tidak mencukupi (tidak boleh) Biji-bijian lebih banyak manfaatnya karena bisa disimpan atau ditanam ataupun dibuat makanan. Apabila biji-bijian tersebut sudah menjadi tepung atau sawiq atau roti, maka kemanfaatannya berkurang, dan menempatkan kedudukan barang yang kurang pada barang yang sempurna itu tidak dianggap mencukupi. Abul Qosim al-Anmathi berpendapat; "Boleh hukumnya mengeluarkan kafaroh berupa roti, karena roti itu sudah siap santap, dan tidak butuh biaya dan tenaga lagi (sehingga lebih praktis dan ekonomis). Pendapat seperti ini tidak benar, karena fungsi sebagai makanan siap santap hanyalah salah satu diantara beberapa manfaatnya, apabila biji tersebut sudah diolah jadi roti, maka banyak manfaat yang lain hilang yang terkadang manfaat-manfaat yang lain tersebut lebih dibutuhkan, dan lebih sesuai dengan keinginan penerima kafaroh.


المجموع شرح المهذب، الجزء ٦ الصحفة ٣٧٢

وهى مد من طعام لكل يوم جنسه جنس زكاة الفطر فيعتبر غالب قوت بلده في اصح الاوجه وفى الثاني قوت نفسه وفى الثالث يتخير بين جميع الاقوات ويجئ فيه الخلاف والتفريع السابق هناك ولا يجزئ الدقيق ولا السويق ولا الحب المعيب ولا القيمة ولا غير ذلك مما سبق هناك ومصرفها الفقراء أو المساكين

Artinya: Fidyah itu jumlahnya satu mud makanan untuk tiap-tiap hari (sejumlah hari puasa yang wajib diqodlo'i). Jenis makanannya semisal jenis zakat fitrah, maka standarnya adalah : Harus berupa bahan makanan pokok Daerahnya menurut pendapat yang paling kuat. Menurut pendapat ke dua adalah berupa makanan pokok dirinya. Menurut pendapat ketiga silahkan memilih berbagai jenis bahan makanan pokok. Dalam masalah ini terjadi khilaf dan percabangan hukum sebagaimana yang telah dijelaskan didepan. Dan tidak boleh fidyah berupa tepung, sawiq (makanan yang dibuat dari tepung gandum), dan biji-bijian yang rusak ataupun dengan uang (seharga satu mud) ataupun yang lain semisalnya seperti yang telah disebutkan. Dan penerima fidyah tersebut adalah orang-orang fakir miskin.


مغني المحتاج،  الجزء ٥  الصحفة ٢٨٥

‏(‏وَمَصْرِفُ الْفِدْيَةِ الْفُقَرَاءُ وَالْمَسَاكِينُ‏)‏ فَقَطْ دُونَ بَقِيَّةِ الْأَصْنَافِ الثَّمَانِيَةِ الْآتِيَةِ فِي قَسْمِ الصَّدَقَاتِ لِقَوْلِهِ تَعَالَى‏:‏ ‏{‏وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ‏}‏ وَالْفَقِيرُ أَسْوَأُ حَالًا مِنْهُ، فَإِذَا جَازَ صَرْفُهَا إلَى الْمِسْكِينِ فَالْفَقِيرُ أَوْلَى، وَلَا يَجِبُ الْجَمْعُ بَيْنَهُمَا‏٠

Artinya: Adapun yang berhak menerima fidyah hanyalah faqir - miskin saja, bukan golongan lain yang masuk dalam 8 golongan orang yang berhak menerima zakat, karena dalam al Qur'an disebutkan; "Dan bagi orang yang tidak mampu berpuasa, wajib membayar fidyah sebagai makanan untuk orang miskin". Adapun faqir, kondisinya itu lebih parah dari miskin, maka apabila memberikan fidyah tersebut pada orang miskin boleh, maka tentunya orang fakir lebih utama untuk menerima fidyah. Dan tidak wajib hukumnya memberikan fidyah kepada keduanya secara bersama (boleh pilih salah satu, tidak harus diberi semuanya).


  والله أعلم بالصواب

 و السلام عليكم ورحمة الله وبركاته 

 PENANYA

Nama :  Farhan AM
Alamat : Semboro Jember Jawa Timur
_______________________________

MUSYAWWIRIN :

Member Group WhatsApp Tanya  Jawab Hukum.

PENGURUS :

Ketua : Ust. Zainullah Al-Faqih
Wakil : Ust. Suhaimi Qusyairi
Sekretaris : Ust. Sholihin
Bendahara : Ust. Syihabuddin

TIM AHLI :

Kordinator Soal : Ust. Qomaruddin
Deskripsi masalah : Ust. Taufik Hidayat
Moderator : Ust. Zainullah Al-Faqih
Perumus : Ust. Zainul Qudsiy, Ust. Robit Subhan
Muharrir : Ust. Mahmulul Huda, Ust. Anwar Sadad
Editor : Ust. Hosiyanto Ilyas
Terjemah Ibarot : Ust. Abd. Lathif, Ust. Robit Subhan

PENASEHAT
Gus Abd. Qodir 
_________________________

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Profil Group BM Nusantara (Tanya Jawab Hukum Online)

Hukum Anak Zina Lahir 6 Bulan Setelah Akad Nikah Apakah Bernasab Pada Yang Menikai Ibunya ?

Hukum Menjima' Istri Sebelum Mandi Besar ?