Iri Pada Status Durriyah Nabi Karena Kita Bukan Termasuk Durriyah Nabi Bolehkah ?


HASIL KAJIAN BM NUSANTARA 
(Tanya Jawab Hukum Online)

 السلام عليكم و رحمة الله وبركاته

DESKRIPSI:

Sopo dan Jarwo (nama samaran) suatu malam mempunyai tugas menjaga keamanan di Desanya. Saat keduanya sedang duduk di Poskamling, lalu Sopo memulai pembicaraan terkait Fenomena pada Durriyah Nabi di Medsos dengan mengatakan; "Enaknya menjadi durriyah Nabi, karena bisa berbuat semaunya sendiri tanpa takut dosa seperti mencela, memaki, menghina sehingga meskipun banyak yang membencinya, tetapi toh akhirnya tetap saja durriyah Nabi tersebut dijamin masuk surga karena keutamaannya sebagai durriyah Nabi yang Ma'shum, masak iya neraka mau nyiksa Ahlil Bait Rasulullah SAW. Sedangkan Saya (Sopo) sendiri sebagai orang Pribumi Jawa Asli, kalau mencuri Ayam saja bisa kekal selamanya didalam Neraka. Makanya Saya iri kepada para durriyah Nabi itu. 

Kemudian Jarwo mengatakan; "Hus jangan berkata seperti itu, Kita yang bodoh ini diam saja. 

PERTANYAAN:

Bolehkah kita iri pada status durriyah Nabi karena kita bukan termasuk durriyah Nabi?

JAWABAN:

Boleh seseorang Iri dalam artian hanya sebatas Ghibthoh (Tidak menyukai hilangnya nikmat dan tidak pula membenci adanya dan kekalnya nikmat tersebut pada orang lain, tetapi juga menyukai nikmat yang serupa untuk dirinya sendiri). Namun apabila sampai hasad atau dengki, maka hakumnya haram.

REFERENSI:

إحياء علوم الدين، الجزء ٣ الصحفة ١٨٩-١٩٠

اعلم أنه لا حسد إلا على نعمة فإذا أنعم الله على أخيك بنعمة فلك فيها حالتان

Artinya : Perlu diketahui bahwa tiada hasud / iri kecuali atas suatu kenikmatan. Ketika Allah SWT memberikan kenikmatan kepada saudaramu, maka bagimu terdapat dua keadaan :

إحداهما أن تكره تلك النعمة وتحب زوالها وهذه الحالة تسمى حسداً فالحسد حده كَرَاهَةُ النِّعْمَةِ وَحُبُّ زَوَالِهَا عَنِ الْمُنْعَمِ عَلَيْهِ

a) Engkau membenci kenikmatan tersebut dan suka hilangnya nikmat itu dari saudaramu. Maka inilah yg dinamakan hasud / iri. Jadi batasan hasud adalah membenci nikmat dan suka jika nikmat itu hilang dari orang yang diberi kenikmatan.

الحالة الثانية أن لا تحب زوالها ولا تكره وجودها ودوامها ولكن تشتهي لنفسك مثلهاوهذه تسمى غبطة وقد تختص باسم المنافسة وقد تسمى المنافسة حسداً والحسد منافسة ويوضع أحد اللفظين موضع الآخر ولا حجر في الأسامي بعد فهم المعاني

b) Engkau tidak menyukai hilangnya nikmat dan tidak pula membenci adanya dan kekalnya nikmat tersebut, tetapi engkau juga menyukai nikmat yang serupa untuk dirimu sendiri (seperti kasus dalam status Habaib). Maka ini dinamakan ghibtoh / iri yang baik, dan terkadang dikhususkan dengan nama munafasah. Terkadang munafasah disebut dengan hasad atau sebaliknya atau digunakan secara bergantian. Penyebutan seperti ini tidak dilarang asalkan sudah faham maknanya.

وقد قال صلى الله عليه وسلم إن المؤمن يغبط والمنافق يحسد

Nabi bersabda : "Sesungguhnya orang Mukmin itu ghibtoh (berkeinginan untuk mendapat kebaikan / kenikmatan seperti apa yang dicapai saudaranya) sedangkan orang Munafik itu hasud (iri dengki terhadap saudaranya)".

فأما الأول فهو حَرَامٌ بِكُلِّ حَالٍ إِلَّا نِعْمَةً أَصَابَهَا فَاجِرٌ أو كافر وهو يستعين بها على تهييج الفتنة وإفساد ذات البين وإيذاء الخلق فلا يضرك كراهتك لها ومحبتك لزوالها فإنك لا تحب زوالها من حيث هي نعمة بل من حيث هي آلة الفساد. الي ان قال- وأما المنافسة فليست بحرام بل هي إما واجبة وإما مندوبة وإما مباحة

Adapun yang awal (hasud / iri dengki) dalam kondisi bagaimanapun hukumnya haram kecuali kenikmatan yang didapatkan oleh orang fajir atau kafir dan kenikmatan tersebut digunakan untuk mengobarkan fitnah, mengadu domba orang yang punya masalah, dan menyakiti makhluk, maka dalam kondisi seperti ini tidak menjadi masalah jika engkau membenci nikmat itu dan suka jika nikmat tersebut hilang dari pemiliknya. Karena pada hakikatnya engkau tidak membenci nikmat tersebut dari sisi nikmatnya, tapi membencinya karena nikmat tersebut digunakan sebagai alat untuk merusak. sampai perkataan. Sedangkan yang kedua (Ghibthoh / munafasah), maka hukumnya tidak haram bahkan bisa saja wajib, mandub ataupun mubah.


تحفة الأحوذي، الجزء ٦ الصحفة ٥٦
 
قوله - صلى الله عليه وسلم : ( لا حسد إلا في اثنتين ) قال العلماء : الحسد قسمان : حقيقي ومجازي فالحقيقي : تمني زوال النعمة عن صاحبها ، وهذا حرام بإجماع الأمة مع النصوص الصحيحة٠ وأما المجازي فهو الغبطة وهو أن يتمنى مثل النعمة التي على غيره من غير زوالها عن صاحبها ، فإن كانت من أمور الدنيا كانت مباحة ، وإن كانت طاعة فهي مستحبة والمراد بالحديث لا غبطة محبوبة إلا في هاتين الخصلتين وما في معناهما٠

Artinya : Sabda Nabi Muhammad Saw ; "Tidak ada Hasad kecuali dalam dua perkara". Para Ulama' membagi hasad menjadi dua macam, yang pertama ialah hasad hakiki dan yang kedua hasad majazi. Hasad hakiki adalah seseorang berharap nikmat orang lain hilang. Hasad seperti ini diharamkan berdasarkan ijma’ para Ulama'. Adapun hasad majazi, yang dimaksudkan adalah ghibthoh. Ghibthoh adalah berangan-angan agar mendapatkan nikmat seperti yang ada pada orang lain tanpa mengharapkan nikmat tersebut hilang darinya. Jika ghibthoh ini dalam urusan keduniayan maka hukumnya boleh, jika dalam hal ketaatan, maka itu dianjurkan (sunnah). Sedangkan maksud dari hadits di atas adalah tidak ada ghibtoh (hasad yang disukai) kecuali pada dua hal atau yang semakna dengan itu.


مجمع الزوائد ، الجزء ٤ الصحفة ٣٢١

حدثنا عبد الله بن عمرو الواقفي قال حدثنا شريك عن محمد بن زيد عن معاوية بن حديج عن الحسن بن علي أنه قال له يا معاوية بن حديج: إِيَّاكَ وَبُغْضَنَا. فَاِنَّ رَسُوْلَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: لاَ يُبْغِضُنَا وَلَا يَحْسُدُنَا أَحَدٌ إِلَّا ذِيْدَ عَنِ الْحَوْضِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِسِيَاطٍ مِنْ نَّارٍ. رواه الطبراني وفيه عبدالله بن عمر الواقفى وهو كذاب

Artinya : Menceritakan kepada kami Abdullah bin Umar Al Waqifi, menceritakan kepada kami Syarik dari Muhammad bin Zaid dari Mu’awiyah bin Hudaij dari Hasan bin Ali bin Abi Tholib. Hasan bin Ali berkata kepada Mu’awiyah bin Hudaij : "Hai Muawiyah bin Hudaij !, Janganlah engkau membenci kami, karena sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda: “Tidaklah seseorang membenci dan hasad kepada kami, kecuali akan diusir dari telaga Rasulullah dengan cambuk dari api neraka”. (HR. Ath Thabrani, di dalamnya ada Abdullah bin Umar Al Waqifi, dia adalah pendusta.

والله أعلم بالصواب

 و السلام عليكم ورحمة الله وبركاته 

 PENANYA

Nama : Habib Abdullah bin Idrus bin Agil
Alamat : Tumpang Malang Jawa Timur
_______________________________

MUSYAWWIRIN :

Member Group WhatsApp Tanya Jawab Hukum. 


PENGURUS :

Ketua : Ust. Zainullah Al-Faqih
Wakil : Ust. Suhaimi Qusyairi
Sekretaris : Ust. Sholihin
Bendahara : Ust. Syihabuddin


TIM AHLI :

Kordinator Soal : Ust. Qomaruddin
Deskripsi masalah : Ust. Taufik Hidayat
Moderator : Ust. Zainullah Al-Faqih
Perumus : Ust. Asep Jamaluddin, Ust. Anwar Sadad, Ust. Zainul Qudsiy
Muharrir : Ust. Mahmulul Huda,
Editor : Ust. Hosiyanto Ilyas
Terjemah Ibarot : Ust. Robit Subhan, Ust. Abd. Lathif


PENASEHAT :

Habib Abdullah bin Idrus bin Agil
Gus Abd. Qodir
_________________________ 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Profil Group BM Nusantara (Tanya Jawab Hukum Online)

Hukum Anak Zina Lahir 6 Bulan Setelah Akad Nikah Apakah Bernasab Pada Yang Menikai Ibunya ?

Hukum Menjima' Istri Sebelum Mandi Besar ?