Apa Ada Kewajiban Untuk Meluruskan Isi Ceramahnya, Karena Salah Dalam Penyebutan Tokoh Dalam Sejarah ?

HASIL KAJIAN BM NUSANTARA 
(Tanya Jawab Hukum Online)

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته 

DESKRIPSI:

Sahwan (nama samaran) adalah seorang Ustadz yang suatu ketika diundang acara Tabligh Akbar untuk berceramah dalam rangka memperingati Maulid Nabi Muhammad Saw. Dalam ceramahnya, Sahwan yang sudah setengah tua ini salah saat menyebut nama tokoh sejarah dalam kisah peristiwa kelahiran Sang Nabi yang Mulia. Dia sebut nama Abu Jahal memerdekakan budaknya yang bernama Tsuwaibah agar menyusui sang Nabi yg Mulia, karena Abu Jahal merasa senang akan kelahiran Nabi Muhammad Saw. Oleh karenanya, Abu Jahal yang kafir ini diberi keringanan siksa di setiap hari Senin yang merupakan hari kelahiran Nabi Muhammad Saw. 

Baru setelah pengajian usai dan para pengunjung sudah pulang, ada Ustadz lain yang mengingatkan ustadz Sahwan, bahwa yang memerdekakan budak itu adalah Abu Lahab, bukan Abu Jahal. Pernah juga si Sahwan ini menjelaskan dalam ceramahnya, bahwa Abu Jahal merupakan paman Asli dari Nabi Muhammad Saw.

PERTANYAAN:

Apa ada kewajiban bagi Ustadz Sahwan untuk meluruskan isi ceramahnya, karena ini menyangkut Sejarah kelahiran Nabi yang Agung ?

JAWABAN:

Tidak wajib secara syar'i, karena kesalahan yang dilakukan tidak melanggar aturan Syariat. Tetapi secara moral harus meluruskan ceramahnya yang salah.

REFERENSI:

مراقي العبودية، الصحفة ٨٨

والثالث عشر الانقياد للحق بالرجوع اليه الحق عند الهفوة اى الزلة في القول والاعتقاد وان صدر ممن هو اسفل منك٠

Artinya : Adab orang Alim yang ke-13 yaitu tunduk pada kebenaran, dengan cara kembali pada kebenaran tersebut saat terpeleset / keliru, baik dalam ucapan maupun keyakinan, meskipun kebenaran tersebut datang dari seorang yang kedudukannya lebih rendah darimu. 


الفتاوى الحديثية لابن حجر الهيتمي، الصفحة ١٦١

وَسُئِلَ رَضِي الله عَنهُ: عَن رجل فسر آيَة من آيَات الْقُرْآن الْمُبين بتفسير أبي الْحسن الواحدي وَابْن عَبَّاس والزجاج وَعَطَاء وَغَيرهم من الْعلمَاء الْمُجْتَهدين المعتبرين كَمَا فُسِّر فِي تفسيرهم، هَل يجوز لَهُ ذَلِك أم لَا ؟

Artinya : Ibnu Hajar ditanya tentang masalah seseorang menafsirkan salah satu ayat al-Qur'an berdasar tafsir Abul Hasan al-Wahidi, ataupun Ibnu Abbas, az-Zujaj, Imam Atho' maupun Ulama' lainnya dari golongan Ulama' Mujtahid yang diakui sebagimana tafsir yang ada di kitab-kitab mereka apakah hal itu boleh atau tidak ? 

فَأجَاب بقوله: إِنَّه لَا حرج على من ذكر تفاسير الْأَئِمَّة على وَجههَا من غير أَن يتصرَّف فِيهَا بِزِيَادَة أَو نقص، بل هُوَ مأجور مثاب على ذَلِك

Ibnu Hajar menjawab : "Orang tersebut tidak berdosa (tidak apa-apa) jika Dia menyampaikan tafsir para Ulama' tersebut sesuai yang dengan pemahaman Ulama' dengan tanpa menambahi atau mengurangi, bahkan hal itu berpahala.

لكنْ يَنْبَغِي لَهُ إِن كَانَ يذكر ذَلِك التَّفْسِير للعامة أَن يتحَرَّى لَهُم الْأَلْيَق بحالهم مِمَّا تحتمله عُقُولهمْ، فَلَا يذكر لَهُم شَيْئا من غرائب التَّفْسِير ومُشْكلاته الَّتِي لَا تحتملها عُقُولهمْ، لِأَن ذَلِك يكون فتْنَة لَهُم وضلالاً بَينا

Namun sebaiknya, keterangan yang disampaikan kepada Masyarakat dari tafsir-tafsir tersebut berupa keterangan yang sesuai dengan kondisi dan tingkat pemahaman Masyarakat. 
Maka hendaknya seorang penceramah / guru tidak menyampaikan tafsir yang langka (aneh-aneh), atau hal-hal pelik / sulit dalam tafsir tersebut yang tidak bisa difahami oleh Masyarakat, karena hal itu bisa menimbulkan fitnah dan kesesatan yang nyata. 

 ومِنْ ثمَّة يجب على الْحَاكِم أصلحه الله مَنْعَ من يفعل ذَلِك من جهلة الوعاظ لأَنهم يضِّلون ويُضلَّون

Berdasar hal itu, maka Hakim (semoga Allah menjadikannya sebagai Hakim yang Sholeh), wajib untuk mencegah orang yang melakukan hal tersebut dari golongan penceramah bodoh, karena mereka sesat dan menyesatkan.

وَكَذَلِكَ يجب عَلَيْهِ أَيْضا أَن يمْنَع من ينْقل التفاسير الْبَاطِلَة كتفسير من يتَكَلَّم فِي التَّفْسِير بِرَأْيهِ مَعَ عدم أَهْلِيَّته لذَلِك، وَمن يتَكَلَّم فِي التَّفْسِير بِمَا قَالَه الْأَئِمَّة لَكِن لَا يفهمهُ على وَجهه لعدم الْآلَات عِنْده

Begitu juga wajib bagi Hakim mencegah Orang yang menukil keterangan dari beberapa tafsir yang bathil seperti tafsir-tafsir yang dikarang berdasar pendapatnya sendiri, sedangkan si penafsir tersebut bukan ahli tafsir. Orang yang berbicara tentang tafsir para Ulama' ahli tafsir namun Dia tidak memahaminya sesuai dengan kaidah tafsir karena Dia tidak menguasai piranti yang dibutuhkan untuk memahami tafsir tersebut. 

فَإِن التَّفْسِير علم نَفِيس خطير، لَا يَلِيق بِكُل أحد أَن يتَكَلَّم فِيهِ، وَلَا أَن يَخُوض فِيهِ، إِلَّا إِذا أتقن آلاته الَّتِي يحْتَاج إِلَيْهَا كعلم السّنة وَالْفِقْه واللغة والنحو والمعاني وَالْبَيَان وَغَيرهَا من الْعُلُوم الْمُتَعَلّقَة بِلِسَان الْعَرَب

Sesungguhnya tafsir itu merupakan ilmu yang sangat berharga dan beresiko besar, tidak setiap Orang pantas untuk membicarakan tentang tafsir, atau terjun menggeluti bidang tafsir, kecuali apabila Dia benar - benar menguasai piranti yang dibutuhkan untuk menafsirkan ayat al-Qur'an semisal ilmu Hadis, Fiqih, Lughoh (bahasa), Nahwu, Ma'ani, Bayan maupun ilmu-ilmu lainnya yang berhubungan dengan lisan Arab.

فَمن أتقن ذَلِك يساغ لَهُ الْكَلَام فِيهِ وَمن لم يتقن ذَلِك اقْتصر على مُجَرّد نقل مَا قَالَه أَئِمَّة التَّفْسِير بِمَا ذكره الْأَئِمَّة الْمُتَأَخّرُونَ عَنْهُم كالواحدي وَالْبَغوِيّ والقرطبي وَالْإِمَام الْفَخر الرَّازِيّ والبيضاوي وَغَيرهم

Barang siapa yang menguasai ilmu-ilmu tersebut maka Dia boleh membicarakannya, namun barang siapa yang tidak menguasai ilmu-ilmu tersebut maka Dia hanya boleh menukil keterangan para ahli tafsir sebagaimana keterangan yang dijelaskan para ahli tafsir di era belakangan, semisal al-Wahidi, Al-Baghowi, al-Qurthubi, al Fahrur Rozi, al-Baidlowi dll. 

وَلَا يذكر من كَلَام هَؤُلَاءِ الْأَئِمَّة إِلَّا مَا يَلِيق بِمن يذكرهُ لَهُم من غير أَن يتَصَرَّف فِيهِ بِشَيْء٠

Dan orang tersebut tidak boleh menjelaskan pendapat para ahli tafsir kecuali pendapat yang sesuai dengan audien dengan tanpa merubah tafsir tersebut sedikitpun

وَالْحَاصِل أَن هَذَا مَسْلَك خطِر وَطَرِيق وعِر فَيَنْبَغِي التحرِّي فِي سلوكه حَذَراً من الضلال والإضلال، وَالله سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى أعلم٠

Jadi kesimpulannya, menafsirkan Al-Qur'an merupakan jalan yang penuh resiko dan jalan yang penuh rintangan, maka hendaknya sangat teliti saat melaluinya, karena khawatir sesat dan menyesatkan.
Wallaahu a'lam.


والله أعلم بالصواب

 و السلام عليكم ورحمة الله وبركاته 

 PENANYA

Nama : Farhan AM 
Alamat : Kaliwates Jember Jawa Timur
_______________________________

MUSYAWWIRIN :

Member Group WhatsApp Tanya Jawab Hukum. 

PENGURUS :

Ketua : Ust. Zainullah Al-Faqih
Wakil : Ust. Suhaimi Qusyairi
Sekretaris : Ust. Sholihin
Bendahara : Ust. Syihabuddin

TIM AHLI :

Kordinator Soal : Ust. Qomaruddin
Deskripsi masalah : Ust. Taufik Hidayat
Moderator : Ust. Zainullah Al-Faqih
Perumus : Ust. Asep Jamaluddin, Ust. Anwar Sadad, Ust. Zainul Qudsiy
Muharrir : Ust. Mahmulul Huda,
Editor : Ust. Hosiyanto Ilyas
Terjemah Ibarot : Ust. Robit Subhan, Ust. Abd. Lathif

PENASEHAT :

Habib Abdullah bin Idrus bin Agil
Gus Abd. Qodir
__________________________

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Profil Group BM Nusantara (Tanya Jawab Hukum Online)

Hukum Anak Zina Lahir 6 Bulan Setelah Akad Nikah Apakah Bernasab Pada Yang Menikai Ibunya ?

Hukum Menjima' Istri Sebelum Mandi Besar ?